TRANSLATE THIS BLOG

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 16 Desember 2012

SEKILAS BIOGRAFI AHLI PENDIDIKAN ISLAM












SEKILAS BIOGRAFI AHLI PENDIDIKAN ISLAM
A.    Biografi Al-Ghozali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad abu Hamid Al-Ghozali/Ghozzali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di desa Ghozalah, Thusia, wilayah Khurosan, Persia. Atau sekarang yang lebih dikenal negara Iran. Ia juga keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja saljuk yang memerintah daerah Khurosan, Jibal Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwaz.
Al-Ghozali merupakan anak seorang yang kurang mampu. Ayahnya adalah seorang yang jujur, hidup dari usaha mandiri, pemintal benang dan bertenun kain bulu (wol). Ayahnya juga sering mengunjungi rumah alim ulama’, hal ini dilakukan ayah karena ia pada dasarnya juga sangat senang menuntutu ilmu serta berbuat jasa kepada mereka.
Dia (Al-Ghozali) adalah pemikir ulung islam yang mendapat gelar “pembela islam”(hujjatul islam), “hiasan agama”(zainuddin), ada pula orang yang memanggilnya dengan sebutan”samudra yang menghanyutkan”(bahrun mughriq), dan lain-lain. Gelar tersebut disenmatkan kepada Al-Ghozali karena ia seorang yang mengabdikan hidupnya pada agama dan masyarakat baik melalui pergaulannya ketika beliau masih hidup dan lewat karya-karyanya.
Kira-kira lima tahun sebelum beliau pulang ke hadirat Allah, beliau kembali ke tempat asalnya di Thusia. Ia mengahabiskan waktunya untuk menuntut dan menyebarkan ilmu. Hal ini terbukti setelah ia kembali ke Thusia beliau membangun sebuah madrasah disamping rumahnya. Beliau juga masih sempat untuk mengajar dan menuangkan gagasan-gagasannya kedalam bentuk tulisan. Al-Ghozali wafat pada hari Senin, tanggal 14 Jumadil al-tsani tahun 505 H/18 Desember1111 M. saat itu usia baru 55 tahun. Dan dimakamkan disebelah tempat khalwatnya. Al-Ghozali meninggalkan 3 orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya (Al-Ghozali), dan karena anaknya inilah, ia di panggil “Abu Hamid” (bapak si Hamid) .
Riwayat Pendidikan Al-Ghozali.
Sebelum ayahnya Al-Ghozali meninggal dunia, ia pernah menitipkan kedua anaknya(seorang diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Al-Ghozali), kepada seorang sufi (sahabat karib ayahnya). Ayahnya berwasiat kepada sahabatnya untuk memberikan pendidikan kepada kedua anaknya dengan menggunakan harta warisan yang di tinggalkannya.
Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi itu untuk menafkahi mereka berdua, karena pada dasarnya ia pun hidup dalam kekurangan. Namun, beliau memberikan masukan agar mereka melanjutkan belajar ke madrasah, salain karena disana mereka bisa mewujudkan cita-cita luhur mereka untuk menjadi orang yang alim, mereka juga akan mendapatkan makan untuk kelangsungan hidup mereka
Bersama saudaranya (Ghozali dan Ahmad) tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Memang, Pada saat itu masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu di tanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika pada saat itu bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah, menengah, sampai elit.
Di dalam madrasah tersebut, Al-Ghozali(seorang anak yang dititipkan tersebut) mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian Al-Ghozali memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, dan disinilah ia bertemu dengan imam Haromain.
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut :
“Al-Ghozali mempelajari ilmu fiqh, mantiq ,dan ushul, dan dipelajarinya antara lain: filsafat dari risalah-risalah dari ikhwanus shofakarang Al-farabi, Ibnu Miskawaih. Sehingga melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghozali dapat menyelami paham-paham Aristothelesdan pemikir Yuunani yang lain. Juga ajaran Imam Syafi’I, Harmalah, Jambad, Al-Muhasibi, dan lain-lain, bukan tidak membekas pada pendidikan Al-Ghozali. Begitu jugaImam Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid Al-Qusyairiyang terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam mengajar tasawuf kepada Al-Ghozali. Ia juga mempelajari agama-agama lain seperti masehi”.
Dan pada tahun 483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhomiyyah Bagdad. Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selama di Bagdad, selain mengajar ia juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismailliyah, filsafat, dan lain-lainnya.
B.     Biografi al-Zarnuji
Plessner mengatakan al-Zarnuji adalah salah seorang filosof Arab yang tidak diketahui nama dan waktu hidupnya secara pasti. Ada yang menyebutnya dengan Burhān al-Dīn, ada juga yang menyebutnya dengan Burhan al-Islam. Namun, kedua nama itu diperkirakan sebagai julukan saja atas jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam. Nama "al-Zarnuji" sendiri diyakini bukan nama asli, tetapi nama yang dinisbahkan kepada tempat, yakni Zurnuj atau Zaranj. Al-Qurasyi mengatakan Zurnuj adalah sebuah tempat di wilayah Turki. Sedangkan menurut Hamawi, Zurnuj adalah sebuah tempat yang terkenal di ma wara’a al-nahr wilayah Turkistan, tetapi menurut para pakar geografi daerah ma wara’a al-nahr itu bukan di Turkistan, melainkan di Turki. Dengan demikian diperkirakan bahwa ia berasal dari Turki. Mengenai masa hidupnya juga masih belum jelas, kecuali sebatas perkiraan-perkiraan saja. Satu-satunya penulis yang menunjuk tahun wafatnya adalah Fuad al-Ahwani. Menurut dia al-Zarnuji wafat tahun 591/1194. Namun, tahun yang ditunjuk oleh al-Ahwani ini terbantahkan, karena bila ditelusuri dari guru-gurunya ternyata al-Zarnuji merupakan salah seorang murid dari Syekh Burhān al-Dīn Ali bin Abi Bakar al-Farghani al-Marghinani (w. 1197), penulis Kitab al-Hidayah fî Furu’ al-Fiqh.
Hal ini dapat diketahui dari seringnya ia menyebut namanya dan mendoakan supaya Allah menyucikan ruhnya.
Menurut al-Qurasyi, al-Zarnuji adalah seorang pendidik abad ke-13, sedangkan G. E. Von Grunebaum dan Theodora M. Abel mengatakan bahwa ia seorang ulama yang hidup menjelang akhir abad ke-12 dan permulaan abad ke-13. Penunjukan tahun ini hampir sama dengan perkiraan Marwan Qabbani. Sedangkan al-Ahwani menyebutkan bahwa Muhammad al-Kafrawi menempatkan ia dalam generasi ke-12 dari ulama Hanafiyyah yang diperkirakan hidup pada sekitar tahun 620/1223. Terlepas dari kontroversi penunjukan tahun-tahun tersebut, yang jelas hampir dapat dipastikan bahwa ia hidup di ujung pemerintahan Abbasiyah di Baghdad.
Al-Zarnuji adalah orang yang diyakini sebagai satu-satunya pengarang kitab Ta’līm al-Muta’allim, akan tetapi ketenaran nama beliau tidak sehebat kitab yang dikarangnya. Dalam satu literatur disebutkan bahwa al-Zarnuji adalah seorang filosof arab yang namanya disamarkan, yang tidak dikenal identitas namanya secara pasti.
Seorang penulis muslim membuat spekulasi bahwa al-Zarnuji aslinya berasal dari daerah Afganistan, kemungkinan ini diketahui dengan adanya nama Burhān al-dīn, yang memang disetujui oleh penulis bahwa hal itu biasanya digunakan dinegara ini. Terkait dengan hal tersebut, beberapa peneliti berpendapat bahwa dilihat dari nisbahnya nama al-Zarnuji diambil berdasar pada daerah dari mana ia berasal yaitu daerah Zarand. Zarand adalah salah satu daerah diwilayah Persia yang pernah menjadi ibu kota Sijistan yang terletak disebelah selatan Herat.
Sedikit sekali dan dapat dihitung dengan jari bahwa ada sebuah buku atau kitab yang menulis tentang biografi/riwayat hidup penulis kitab Ta’līm al-Muta’allim tersebut. Dan beberapa kajian terhadap kitab Ta’līm al-Muta’allim, tidak dapat menunjukkan secara pasti mengenai waktu kehidupan dan karir yang dicapainya. Sehingga pengetahuan kita tentang al-Zarnuji sementara ini berdasar pada studi M. Plessner yang dimuat dalam Encyclopedia of Islam.
Dalam buku Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk 70 tahun Prof. H. Munawir Sadjali, M.A., Affandi Muchtar mendapat informasi lain tentang al-Zarnuji berdasar pada data dari Ibn Khalilkan, adalah al-Zarnuji merupakan salah seorang guru Rukn al-Dīn Imām Zada (Wafat sekitar tahun 573 H) dalam bidang fiqih. Imām Zada juga berguru pada Syekh Ridha al-Dīn al-Nishapuri (wafat sekitar antara tahun 550 dan 600 H) dalam bidang Mujahadah. Kepopuleran Imām Zada diakui karena prestasinya dalam bidang Ushūluddin bersama dengan kepopuleran ulama lain yang juga mendapat gelar rukn (sendi). Mereka antara lain Rukn al-Dīn al- ‘Amidi (wafat : 615 H) dan Rukn al-Dīn al-Tawusi (wafat: 600 H). Dari data ini dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji hidup sezaman dengan Syekh Ridha al-Dīn al-Nisaphuri.
Kelahiran atau masa hidup al-Zarnuji hanya dapat diperkirakan lahir pada sekitar tahun 570 H, sedangkan tentang kewafatan al-Zarnuji terdapat perbedaan, ada yang menyatakan al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H (1195 M) dan menurut keterangan Plessner, bahwasannya ia telah menyusun kitab tersebut setelah tahun 593 H (1197), perkiraan tersebut berdasar adanya fakta bahwa al-Zarnuji banyak mengutip pendapat dari guru beliau yang yang ditulis dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim, dan sebagian guru beliau yang ditulis dalam kitab tersebut meninggal dunia pada akhir abad ke-6 H, dan beliau menimba ilmu dari gurunya saat masih muda. Al-Zarnuji merupakan ulama yang hidup satu periode dengan Nu’man bin Ibrahim al-Zarnuji yang meninggal pada tahun yang sama, diapun meninggal tidak jauh dari tahun tersebut karena keduanya hidup dalam satu periode dan generasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620 H, atau dalam kata lain al-Zarnuji hidup pada seperempat akhir abad ke-6 sampai pada dua pertiga pertama dari abad ke-7 H (abad XII – awal abad XIII Masehi).
C.    Biografi KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Ia berangkat dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Aminah, putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakartaa
Pada usia yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung denan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar.
KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo da Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta
D.    Biografi KH. M. Hasyim Asy’ari
Nama lengkap KH. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd al-Wahid ibn ‘Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abdur ar-Rohman yang dikenal dengan Jaka Tingkir, Sultan Hadiwijaya ibn Abdullah Ibn Abdul Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden Ainul Yaqin disebut Sunan Giri. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur pada hari Selasa kliwon 24 Dzulqa’dah 1287 H. bertepatan pada tanggal 14 Februari 1871. KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 pukul 03.45 dini hari bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.
Pada masa muda KH. Hasyim Asy’ari, ada dua sistem pendidikan bagi penduduk pribumi Indonesia, Pertama adalah sistem pendidikan uyang disediakan untuk para santri muslim di pesantren yang focus pengejarannya adalah ilmu agama. Kedua adalah sistem pendidikan barat yang dikenalkan oleh kolonial Belanda dengan tujuan menyiapkan para siswa untuk menempati posisi-posisi administrasi pemerintahan baik tingkat rendah maupun menengah.
Semasa hidupnya, KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, Abd al-Wahid, terutama pendidikan di bidang Al-qur’an dan penguasaan beberapa literature keagamaan.Setelah itu ia pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, Siwalan Baduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo. Setelah menimba ilmu di pondok pesantren Sidoarjo, ternyata KH. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada KH. Ya’kub yang merupakan kyai di pesantren tersebut. Kyai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan KH. Hasyim Asy’ari sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun.
Setelah menikah, KH. Hasyim Asy’ari bersama istrinya Segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertuanya menganjurkannya untuk menuntut ilmu di Makkah. Menuntut ilmu di kota mekkah sangat diidam-idamkan oleh kalangan santri saat itu, terutama dikalangan santri yang berasal dari Jawa, Madura,Sumatera dan kalimantan. Secara struktur sosial, seseorang yang mengikuti pendidikan di Makkah biasanya mendapat tempat lebih terhormat dibanding dengan orang yang belum pernah bermukim di Makkah, meski pengalaman kependidikannya masih dipertanyakan.
Dalam perjalanan pencarian ilmu pengetahuan di Makkah, KH.Hasyim Asy’ari bertemu dengan beberapa tokoh yang kemudian dijadikannya sebagai guru-gurunya dalam berbagai disiplin. Diantara guru-gurunya di Makkah yang terkenal adalah sebagai berikut. Pertama, Syaikh Mahfudh al-Tarmisi, seorang putera kyai Abdullah yang memimpin pesantren Tremas. Dikalangan kyai di Jawa, Syeikh mahfudh dikenal sebagai seorang ahli Hadist Bukhari. Kedua, Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau. Syaikh Ahmad Khatib menjadi ulama bahkan sebagai guru besar yang cukup terkenal di Makkah, di samping menjadi salah seorang imam  di Masjid al-Haram untuk para penganut Mazhab Syafi’i. Ketiga, KH. Hasyim Asy’ari berguru kepada sejumlah tokoh di Makkah, yakni Syaikh al-Allamah Abdul Hamid al-Darutsani dan Syaikh Muhammad Syuaib al-Maghribi. Selain iyu, ia berguru kepada Syaikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan al-Attar, Syaikh Sayid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad as-Saqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagatsani.
Diantara ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh KH M. Hasyim Asy’ari selama di Makkah, adalah Fiqh, dengan konsentrasi mazhab Syafi’i, ulum al-Hadist, tauhid, tafsir,  tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf,  mantiq, balaghah dan lain-lain). Dari beberapa disiplin ilmu itu,  yang menarik perhatian beliau adalah disiplin hadist imam Muslim. Hal ini didasarkan pada asumsi yang menyatakan bahwa untuk mendalami ilmu hukum Islam, disamping mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya secara mendalam, juga harus memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai hadis dengan syarh dan hasyiyah-nya. Untuk itulah, disiplimn hadist menjadi yang sangat penting untuk dipelajari.
Perjalanan intelektal KH. Hasyim Asy’ari di Makkah berlangsung selama 7 tahun. Masa ini tampaknya telah membuat beliau memiliki kecakapan-kecakapan sendiri, terutama dalam pengetahuan keagamaan. Oleh karena itu, pada tahun 1900 M, beliau pulang kampung halamannya. Dalam catatan Zamarkhsyi Dhofier, setelah beberapa bulan kembali ke Jawa, beliau mengajar di pesantren Gedang, sebuah pesantren yang didirikan oleh kakeknya KH. Usman. Setelah mengajar di pesantren ini, ia membawa 28 orang santri untuk mendirikan pesantren baru dengan seizin kyainya.
Dengan dukungan itulah, diantaranya KH. Hasyim Asy’ari berpindah tempat dengan memilih daerah yang penuh tantangan yang dikenal dengan daerah ”hitam”. Tepat pada tanggal 26Rabiul Awwal 1320 H. Bertepatan dengan 6 Februari 1906 M, KH Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah banyak melakukan aktivitas-akivitas sosial-kemanusiaan sehingga ia tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren secara formal, tetapi juga pemimpin kemasyarakan secara informal.
Sebagai pemimpin pesantren, beliau melakukan pengembangan instiusi pesantrenya, termask mengadakan pembaharuan sistem dan kurikulum. Jika pada saat itu pesantren hanya mengembangkan sistem halaqah, maka beliau mmperkenalkan sistem belajar madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, disamping pendidikan keagamaan.
Aktifitas KH. Hasyim Asy’ari di bidang sosial yang lain adalah mendirikan organisasi Nahdhaul Ulama, bersama dengan ulama besar lainnya, seperti Syaikh Abdul Wahab da Syaikh Bishri Syansuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi yang didirkannya ini memiliki tujuan untuk memperkokoh pengetahuan keagamaan di kalangan masyarakat, sebagaimana termaktub dalam Statuten Perkoempoelan Nahdlatoul-’Oelama,;. Fatsal 2.Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe:”memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an-Noeman, atau Imam bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam”.
Organisasi Nahdlatul Ulama’ ini didukung oleh para ulama, terutama ulama Jawa dan komunitas pesantren. Memang pada awalnya, organisasi ini dikembangkan untuk meresponi wacana negara khilafah dan gerakan purifikasi yang dimotori oleh Rasyid Ridla di Mesir. Akan tetapi, pada perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekontruksi social keagamaan yang lebih umum. Dewasa ini, Nahdlatul Ulama berkembang menjadi organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H di kediaman beliau, yaiu Tebuireng Jombang, dan dimakamkan di Pesantren yang beliau bangun.

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

Jalanku Untuk-MU