This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

TRANSLATE THIS BLOG

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 28 Februari 2013

HUKUM LAFADZ SAYYIDINA



HUKUM LAFADZ SAYYIDINA

Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:

الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ

“Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).

Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).

Hadits ini menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani:

“Kata sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits 'saya adalah sayyidnya anak cucu adam di hari kiamat.' Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan ‘Adam di dunia dan akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi Fahmin Nushush bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)

Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.

Lalu bagaimana dengan “hadits” yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina di dalam shalat?

لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ

“Janganlah kalian mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”

Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan nama Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dhalalah, bid’ah yang tidak baik.

Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan سَادَ- يَسِيْدُ , akan tetapi سَادَ -يَسُوْدُ , Sehingga tidak bisa dikatakan لَاتُسَيِّدُوْنِي

Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu’. Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi SAW keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekuensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayyidina dalam shalat?

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.

HUKUM ADZAN JUM’AT DUA KALI



ADZAN JUM’AT DUA KALI

Adzan Jum’at Dua Kali
Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali.
Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jum'at hendak dilaksanakan. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dijelaskan :
عَنْ سَائِبٍ قَالَ, سَمِعْتُ السَائِبَ بنَ يَزِيْدٍ يَقُوْلُ إِنَّ الأَذَانَ يَوْمَ الجُمْعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ الإِمَامُ يَوْمَ الجُمْعَةِ عَلَى المِنْبَرِ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِيْ خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الجُمْعَةِ بِالأَذَانِ الثَّالِثِ فَأَذَانَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلَى ذَالِكَ
Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". ( Shahih al-Bukhari: 865)
Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :
وَيُسَنُّ أَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٍ قَبْلَ الفَجْرِ وَآخرِ بَعْدَهُ فَإِن اقَتَصَرَ فَالأَوْلَى بَعْدَهُ, وَأَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ أَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الخَطِيْبِ المِنْبَرَ وَالأَخَرُ الَّذِيْ قَبْلَهُ
"Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat ٍٍٍShubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15)
Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab al-Mawahib al-Ladunniyyah disebutkan :
ثُمَّ إِنَّ فِعْلَ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِجْمَاعاً سُكُوْتِياً لأَِنَّهُمْ لاَ يُنْكِرُوْنَهُ عَلَيْهِ
"Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249)
Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal)
Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT. Wallahu a’lam bis-shawab.[+/-] Selengkapnya...

Puasa (Niat)

BAB I

PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah

Dalam pembahasan ini saya akan menerangkan secara panjang lebar mengenai masalah-masalah puasa, tetapi dalam spesifikasinya seperti dalam pembahasan tentang masalah-masalah niat puasa yang banyak dikalangan fuqaha yang berbeda pendapat, selain itu juga saya menerangkan tentang persyaratan niat, waktu untuk niat, puasa dalam keadaan junub, musafir yang dalam keadaan berpuasa, dan juga qada’ puasa dan juga masih banyak lain yang kami bahas.

2.      Rumusan  Masalah

    Apa pengertian niat?

    Kapan niat tersebut wajib dilaksanakan pada puasa Ramadhan?

    Apa saja syarat-syarat niat?

    Kapan waktu niat?

    Bagaimana hukumnya orang yang berpuasa dalam keadaan junub?

    Bagaimana hukum puasa orang yang sedang musafir?

    Bagaimana cara mengqada puasa?

3.      Tujuan Penulisan

    Untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah fiqih.

    Untuk lebih memahami masalah-masalah yang ada dalam puasa yang meliputi masalah niat, waktu niat, syarat niat, hukum orang musafir dalam keadaan puasa, tentang qadha puasa dan lain sebagainya.

BAB II

PEMBAHASAN

PUASA

A.   Niat Puasa

      Pembicaraan mengenai niat mencakup beberapa persoalan. Antara lain, apakah niat itu merupakan salah satu syarat sahnya ibadah ini (yakni puasa) atau tidak. Jika menjadi syarat lalu bagaimana cara penentuan puasa yang mencukupi? Dan apakah niat ini harus selalu diperbaharui setiap hari selama bulan Ramadhan, ataukah cukup dengan niat yang terjadi pada hari pertama? Jika seorang mukalaf berniat puasa, maka waktu manakah yang apabila niat dilakukan padanya terjadi puasa menjadi sah dan jika tidak dilakukan pada waktu tersebut puasa menjadi batal? Dan apakah meninggalkan ini mengharuskan batalnya puasa atau tidak? Semua persoalan itu diperselisihkan oleh fuqoha.

B.  Persyaratan Niat

      Pernyataan niat bagi sahnya saum merupakan pendapat jumhur fuqaha. Zufar membeda sendiri pandapatnya dengan mengatakan bahwa puasa Ramadhan tidak memerlukan niat, kecuali jika orang yang mengalami bulan Ramadhan dalam keadaan sakit atau bepergian, sedangkan ia bermaksud puasa.

      Silang pandapat ini disebabkan karena adanya kemungkinan yang mengenai puasa. Yakni, apakah puasa itu merupakan ibadah yang dapat dipahami maknanya ataukah tidak.

      Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa puasa itu tidak bisa dipahami maknanya, maka mereka diwajibkan niat.

      Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa puasa itu dapat dipahami maknanya, maka mereka mengatakan bahwa makna puasa telah tercapai apabila orang tersebut itu berpuasa, meski ia tidak berniat.

      Akan tetapi pendapat Zufar yang mengkhususkan puasa Ramadhan tidak memerlukan niat dari puasa-puasa lainnya memuat kelemahan. Seolah-olah,

 karena ia berpendapat bahwa pada hari-hari bulan Ramadhan itu tidak boleh berbuka (yakni tidak berpuasa), bahwa ia berpendapat bahwa tiap-tiap puasa yang dilakukan pada bulan Ramadhan  barulah menjadi puada syar’I (yakni puasa yang telah ditetapkan oleh syara’), dan ini hanya khusus berlaku kepada hari-hari bulan Ramadhan ini.

      Mengenai silang pendapat bekenaan dengan cara penentuan niat yang mencukupi, maka Imam Malik berpendapat bahwa dalam hal ini harus ditegaskan niat puasa Ramadhan, dan tidak cukup hanya dengan niat puasa secara mutlak,dan tidak pula niat puasa tertentu yang bukan puasa Ramadhan.

      Imam Abu Hanafi berpendapat bahwa apabila dilakukan niat secara mutlak,maka hal itu sudah mencukupi. Begitu pula apabila diniatkan puasa selain Ramadhan, maka sudah mencukupi, dan puasa tersebut akan berubah menjadi puasa Ramadhan. Kecuali jika seseorang dalam keadaan bepergiaan, maka apabila ia niat berpuasa selain Ramadhan pada hari bulan Ramadhan itu, maka yang terjadi adalah puasa yang diniatkannya itu, karena dalam bepergian itu ia tidak terkena kewajiban tertentu untuk melakukan puasa Ramadhan.

      Akan halnya dua orang pengikutnya, maka mereka membeda-bedakan antara bepergiaan dan tidak bepergian. Maka mereka berpendapat bahwa puasa apapun yang diniatkan pada bulan Ramadhan, berubah menjadi puasa Ramadhan.

      Silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan, apakah penentuan niat mencukupi pada ibadah (puasa) ini adalah penentuan jenis ibadah (secara mutlak) ataupu penentuan suatu persatuan ibadah ini, oleh karena kedua cara penentuan ini terdapat dalam syara’?

      Contohnya, niat pada wudhu’ sudah mencukupi dengan niat menghapuskan hadats untuk jenis ibadah apapun yang untuk sahnya ibadah itu disyaratkan adanya wudhu’ dan tidak dikhususkan utuk tiap-tiap ibadah tersebut wudhu’ tersendiri.

      Tidak demikian halnya dalam shalat, karena pada shalat itu harus ada penentuan atau persatunya ibadah. Maka apabila hendak melaksanakan shalat

Ashar, harus ditentukan niat shalat Ashar, dan apabila hendak melaksanakan shalat Zhuhur, maka harus ditentukan niat untuk shalat Zhuhur.

      Semua ini adalah persoalan-persoalan yang terkenal dikalangan ulama. Jadi menurut mereka, ketidak pastiaan kedudukan puasa itu berkisar diantara kedua jenis ibadah tersebut (yakni wudhu dan shalat). Bagi fuqaha yang mempersamakannya dengan jenis ibadah yang pertama (wudhu), maka mereka mengatakan bahwa pada puasa Ramadhan itu cukup diniatkan puasa secara mutlak. Sedangkan bagi fuqaha yang mempersamakannya jenis ibadah kedua (shalat), maka mereka mempersyaratkan penentuan niat satu persatunya puasa.

C.  Berniat Puasa Lain Pada Hari-hari Bulan Ramadhan

      Fuqaha juga berselisih pendapat tentang persoalan, apabila seseorang pada hari-hari bulan Ramadhan, berniat puasa selain Ramadhan, apakah puasanya itu berubah menjadi puasa Ramadhan atau tidak?

      Silang pendapat ini, menurut mereka jika disebabkan karena diantara ibadah-ibadah itu ada yang bisa menjadi ibadah lainnya, oleh karena waktu yang dipakai untuk dikerjakannya itu memang dikhususkan untuk ibadah lainnya itu, akan tetapi ada pula diantaranya yang tidak bisa berubah, dan ini adalah yang terbanyak.

      Akan halnya ibadah yang bisa berubah, maka berdasarkan kesepakatan pada fuqaha adalah ibadah haji. Demikian itu karena mereka berpendapat bahwa apabila seseorang memulai ibadah hajinya dengan niat haji tathawwu’ (sunat/ sukarela), padahal ia sudah terkena kewajiban haji, maka haji tathawwu’nya itu berubah menjadi haji fardu. Tetapi mereka tidak mengatakan terjadinya perubahan seperti itu pada ibadah shalat atau lainnya.

      Bagi fuqaha yang mempersamakan puasa dengan haji, maka mereka mengatakan bahwa puasa lain yang diniatkan pada bulan Ramadhan berubah menjadi puasa Ramadhan.

      Sedangkan bagi fuqaha yang mempersamakan puasa dengan ibadah lainnya, maka mereka mengatakan bahwa puasa tersebut tidak berubah menjadi puasa Ramadhan.

D.  Waktu Untuk Berniat

      Fuqaha berselisih pendapat tentang hal ini. Imam Malik berpendapat bahwa puasa tidak mencukupi kecuali dengan niat yang dilakukan sebelum fajar, dan ini berlaku untuk semua jenis puasa.

      Imam Syafi;I berpendapat bahwa untuk puasa sunnah niat boleh dilakukan sesudah fajar, tetapi tidak mencukupi untuk puasa fardu.

      Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa niat sesudah fajar mencakupi pada puasa-puasa yang wajibnya puasa itu berkaitan dengan waktu tetentu, seperti puasa Ramadhan dan puasa nazar beberapa hari tertentu, dan begitu pula puasa sunnah. Tetapi tidak mencakupi untuk puasa wajib dalam tanggungan (seperti puasa qadha).

      Silang pendapat ini disebabkan karena adanya pertentangan antara hadits-hadits yang bekenaan dengan masalah ini, yaitu:

      Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Hafshah, ra: yang artinya:

“Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “barang siapa tidak menetapkan hendak berpuasa sejak malam hari, maka tidak ada puasa untuknya”.

      Imam Malik juga meriwayatkan hadits tersebut secara mauquf (hanya sampai kata-kata sahabat). Abu Umar mengatakan bahwa hadits Hafsah terdapat keguncangan (ketidak tepatan) pada sanadnya.

            Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra:

“Aisyah berkata: bersabda Rasulullah kepadaku pada suatu hari, “wahai aisyah adakah engkau mempunyai sesuatu (makanan?) berkata Aisyah, aku berkata: “wahai Rasulullah, kami tidak mempunyai sesuatupun”. Berkatalah Rasulullah “kalau begitu aku akan berpuasa”.

            Ketiga, hadits Mu’awiyah berikut ini, yang artinya:

“sesungguhnya Mu’awiyah berkata dari atas mimbar, “wahai penduduk Madinah, mana ulama-ulama kamu, aku mendengar Rasulullah bersabda “hari ini adalah hari asyura dan tidak diwajibkan atas kita memusuhinya, tetapi aku berpuasa. Maka barang siapa diantara kamu mau berpuasa,

 hendaklah ia berpuasa, dan barang siapa yang mau berbuka (tidak berpuasa) maka hendaklah ia berbuka”.

      Bagi fuqaha menempuh madzhab tarjih, maka mereka akan mengambil hadits hafsah ra.

      Sedangkan bagi fuqaha yang menempuh madzhab jami’, maka mereka memisah-misahkan antara puasa sunnah dengan puasa fardu (wajib). Yakni mengartikan hadits hafsah ra. Kepada puasa wajib, dan hadits Aisyah ra. Dan Mu’awiyah ra. Kepada puasa sunnah.

      Alasan Imam Abu Hanifah dalam memisah-memisahkan antara puasa wajib tertentu dengan puasa wajib dalam tanggungan (yakni puasa qadha), adalah karena puasa wajib tertentu itu mempunyai waktu tertentu yang dapat menggantikan kedudukan niat dalam penentuan macamnya ibadah. Sedangkan puasa wajib dalam tanggungan tidak mempunyai waktu tertentu, dan oleh karenanya penentuan semacamnya ibadah harus dilakukan dengan niat.

E.  Puasa Dalam Keadaan Junub

      Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa suci dari jinabat bukan merupakan syarat sah puasa, karena adanya hadits sahih dari Aisyah ra dan Ummu Salamah ra, dua orang istri Nabi SAW. Dimana keduanya berkata:

“Rasulullah SAW. Pernah berpagi-pagi dalam keadaan junub karena jima’, bukan karena mimpi mengeluarkan air mani pada bulan Ramadhan, kemudian beliau berpuasa”.

      Mereka juga beralasan dengan ijma’ ulama bahwa bermimpi, bahwa mimpi mengeluarkan air mani pada siang hari (pada bulan Ramadhan) tidak membatalkan puasa.

      Dari Ibrahim an-Nakha’I, Urwah bin Az-Zabir dan Thawus diriwayatkan bahwa apabila seseorang sengaja mengeluarkan air mani, maka batalah puasanya.

      Silang pendapat ini disebabkan karena adanya riwayat dari Abu Hurairah r.a bahwa ia berkata:

      “Barang siapa berpagi-pagi dalam keadaan junub, maka batalah puasanya”.

            Dan riwayatkan pula dari padanya bahwa ia berkata:

      “Apa yang ku katakan, Muhammad SAW, telah mengatakannya demi Tuhan ka’bah”.

      Ibnu’l-Majasyun salah seorang pengikut Imam Malik, berpendapat bahwa apabila orang yang haidh telah suci sebelum fajar, kemudian menunda mandi (hingga sesudah fajar) maka puasanya pada hari itu tidak sah.

      Pendapat-pendapat mereka itu ganjil dan bertolak berdasarkan hadits yang masyhur dan sahih.

F.  Berbuka (Tidak Berpuasa) dan Hukum-Hukumnya

      Menurut syara’ ada tiga golongan manusia yang diperbolehkan tidak berpuasa. Pertama, golongan yang boleh berbuka dan berpuasa berdasarkan ijma’. Kedua, golongan yang tidak wajib berpuasa, dengan masih diperselisihkan oleh kaum muslimin. Ketiga, golongan yang tidak boleh berbuka. Masing-masing dari ketiga golongan tersebut mempunyai hukum sendiri.

      Orang-orang yang boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa adalah orang yang sakit berdasarkan kesepakatan, orang berpergian dengan masih diperselisihkan, wanita hamil, wanita menyusui dan orang lanjut usia. Pembagian ini telah disepakati.

      Pembicaraan mengenai orang yang berpergian meliputi beberapa persoalan. Antara lain, apakah jika ia berpuasa, puasanya itu mencukupi atau tidak? Dan jika orang yang bepergian itu mencukupi puasa,maka manakah yang lebih utama, berpuasa ataukah tidak berpuasa, ataukah mereka boleh memilih salah satunya?

      Dan apakah kebolehan itu tidak berpuasa itu hanya dalam perjalanan tertentu saja atau pada semua yang disebut perjalanan (bepergian) menurut pengertian bahasa? Dan kapankan orang yang bepergian itu boleh tidak puasa dan kapan pula harus berpuasa? Kemudian apabila telah berlalu beberapa hari dari bulan Ramadhan, apakah ia boleh mengadakan perjalanan atau tidak? Dan jika ia tidak berpuasa, maka bagiamana hukumnya?

      Akan halnya orang sakit, maka pembicaraan tentangnya menyangkut sakit yang membolehkan tidak berpuasa dan tentang hukum tidak berpuasa.

G.  Orang Sakit Atau Orang Bepergian (Musafir)

      Jika orang sakit atau musafir berbuka, maka apakah puasa itu mencukupi wajibnya puasa atau tidak? Masalah ini diperselisihkan oleh para fuqaha.

      Jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila ia berpuasa, maka puasanya terjadi dan mencukupi. Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa puasa tidak mencukupi, karena kewajibannya terletak pada hari yang lain (selain Ramadhan). Silang pandapat ini berpangkal kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 184:

Artinya:

      “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

      Yakni ketidak jelasan firman Allah tersebut antara harus dibawa kepada arti hakiki, hingga karena dalam firman tersebut tidak perlu ada kata yang dibuang  (mahdzuf) atau harus dibawa arti majazi, sehingga berkaitan dengan firman Allah tersebut berbunyi: “….lalu ia berbuka, maka hendaklah ia memperhitungkan pada hari-hari yang lain. Pembuangan kata-kata dalam

kalimat inilah yang menurut pada ahli bahasa dikenal dengan nama lahnu’l-khitab.

      Bagi fuqaha yang mengartikan firman tersebut kepada makna hakiki, dan tidak mengartikan kepada makna majazi, maka mereka mengatakan bahwa wjibnya puasa bagi musafir adalah menunggu sampai hari-hari yang lain.

      Sedangkan bagi fuqaha yang memperkirakan adanya kata-kata “lalu ia berbuka”, maka mereka mengatakan bahwa wajibnya puasa bagi musafir adalah menunggu sampai datangnya hari-hari yang lain, jika ia berbuka (tidak berpuasa).

      Masing-masing golongan menguatkan penafsirannya dengan atsar-atsar yang membenarkan pemahamannya sendiri, meski pada dasarnya harus mengartikan suatu kepada makna hakiki, kecuali ketika terdapat dalil yang mengharuskan diartikannya sesuatu itu kepada makna majazi.

      Jumhur fuqaha menguatkan pendapatnya dengan hadits sahih yang diriwayatkan dari Anas ra, dimana ia berkata:

      “Kami pernah berpergian bersama Rasulullah SAW. Pada bulan Ramadhan, maka orang yang berpuasa (diantara kami) tidak mencela orang yang tidak berpuasa, dan orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa”.

      Dan beralasan kepada hadits sahih yang diriwayatkan oleh Anas ra juga berkata, yang artinya:

      “Para sahabat Rasulullah SAW, pernah bepergian bersama, maka sebagian mereka puasa dan sebagian lainnya tidak berpuasa”.

      Sedangkan fuqaha Zhahiri beralasan dengan hadits sahih dari Ibnu Abbas ra, yaitu yang artinya:

      “Sesungguhnya Rasulullah SAW, keluar ke Mekah pada bulan Ramadhan pada tahun kemenangan, maka beliau berpuasa hingga sampai ke al-Kadid. Kemudian beliau berbuka dan berbuka pula orang banyak. Dan mereka mengambil yang terbaru, dan yang terbaru adalah perintah dari Rasulullah SAW”.

      Mereka mengatakan: ini menunjukan atas hapusnya puasa bagi orang yang sedang bepergian. Abu Umar berkata: pendapat fuqaha Zhahiri ini justru menjadi lemah dengan adanya kesepakatan mereka bahwa orang sakit apabila ia berpuasa maka puasanya itu mencukupi.

H.  Mana Yang Lebih Utama, Puasa Atau Berbuka

      Jika kita katakana bahwa musafir itu termasuk orang yang tidak boleh berbuka berdasarkan pendapat jumhur fuqaha maka mereka berselisih pendapat dalam tiga golongan.

      Golongan pertama berpendapat bahwa puasa itu lebih utama. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah.

      Golongan kedua berpendapat bahwa buka itu lebih utama. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ahmad dan segolongan fuqaha.

      Golongan ketiga berpendapat bahwa hal itu diserahkan kepada pilihan orang yang bersangkutan, dan salah satunya tidak lebih utama ketimbang lainnya.

      Silang pendapat ini disebabkan karena adanya pertentangan antara mafhum hadits dengan lahir sebagai riwayat, dan pertentangan antara riwayat-riwayat itu sendiri satu dengan yang lainnya.

      Demikian itu karena pengertian yang dapat dipahami oleh akal dari kebolehan bagi orang yang dasarnya wajib berpuasa, adalah pemberian rukshah (kemurahan) untuknya dan pengahapusan kesulitan-kesulitan dari padanya. Terhadap perkataan yang merupakan rukhshah, maka yang lebih utama adalah meninggalkan rukhshah tersebut. Hal ini disebabkan oleh hadits Hamzah bin Amr al-Aslami yang diriwayatkan oleh Muslim berikut ini yang artinya:

      “Bahwasanya Hamzah berkata, “ya Rasulullah, ku dapatkan dalam diriku kesanggupan untuk berpuasa dalam perjalanan, maka apakah ada dosa atasku? Maka berkatalah Rasulullah “ia (tidak berpuasa) adalah suatu rukshah dari Allah. Barang siapa yang mengambilnya, maka itu baik baginya, dan barang siapa suka berpuasa, maka tidak ada dosa baginya”.

      Dan bahwa akhir dari perbuatan Nabi SAW, adalah tidak puasa, maka menimbulkan dugaan bahwa tidak berpuasa itu lebih utama. Akan tetapi, karena berbuka (tidak puasa) itu bukan merupakan suatu hukum, melainkan termasuk perbuatan mubah itu lebih utama dari pada hukum (berpuasa).

Fuqaha yang memberikan pilihan dalam hal ini,beralasan dengan hadits’aisyah ra:

      “Ia (aisyah )berkata :hamzah bin’amr al-aslami bertanya kepada Rasulullah saw.tentang puasa dalam perjalanan,maka beliau berkata,jika engkau mau,puasalah,dan jika engkau mau,berbukalah.”

I.  Jenis Perjanan

Fuqaha berselisih pendapat mengenai jenis perjalanan yang membolehkan berbuka bagi musafir,apakah perjanan tertentu saja ataukah semua perjalanan.

Jumhuhur fukaha berpendapat bahwa musafir boleh berbuka pada perjalanan jauh yang diperbolehkan padanya mengqashar shalat,berdasarkan silang pendapat mereka dalam masalah ini.

Segolongan fuqaha,yakni fuqaha Zhahiriberpendapat bahwa perkebolehan berbuka bagi musafir itu berlaku pada semua yang bisa disebut perjalanan.

Silang pendapat ini disebabkan karena adanya pertentangan antara lahir kata-kata dengan pengertian. Demikian itu karena menurut lahir kata-kata menghendaki bahwa setiap orang yang dapat disebut musafir boleh berbuka puasa, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 184:

Artinya:

      “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

J.  Sifat Sakit

      Fuqaha juga berselisih pendapat tentang sifat sakit yang menyebabkan dibolehkannya berbuka. Segolongan fuqaha berpendapat bahwa hal ini berlaku pada semua sakit yang mendatangkan kesulitan-kesulitan dalam berpuasa. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik.

      Fuqaha yang lain berpendapat bahwa hal itu berlaku pada sakit yang berat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ahmad.

      Fuqaha lainnya lagi berpendapat bahwa apabila telah dapat disebut sebagai orang yang sakit, maka boleh berbuka. Silang pendapat ini berpangkal pada sebab yang sama mengenai batas perjalanan.

K. Kapan Berbuka dan Kapan Berpuasa Bagi Musafir

      Mengenai hal ini segolongan fuqaha, berpendapat bahwa berbuka sejak hari keberangkatan perjalannya. Pendapat ini dikemukan oleh asy-Sya’bi, al-Hasan dan Ahmad.

      Golongan fuqaha lainnya, berpendapat bahwa ia tidak boleh berbuka pada hari tersebut, pendapat ini dikemukan oleh fuqaha amshar (negeri-negeri besar).

      Fuqaha lain yang berpendapat bahwa bagi orang yang mengetahui hendak memasuki sebuah kota, dianjurkan agar berpuasa pada hari pertama masuknya ke kota tersebut.   

      Fuqaha lainya lagi lebih keras pendapatnya ketimbang lainya.akan tetapi, mereka semua tidak mewajibkan kifarat bagi seorang yang memasuki sebuah kota, dalam keadaan berbuka.

Fuqaha juga berselisih pendapat mengenai seorang yang memasuki sebuah kota, sementara sebagin siang telah berlalu (yakni kesiangan).

Sedang imam abu hafifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa ia harus menahan makan (yakni berpuasa). Begitu pula pendapat mengenai perempuan yang sedang haidh-apabila telah suci maka ia harus menahan makan.

Silang pendapat fuqaha mengenai waktu dimana seorang musafir boleh berbuka, disebabkan oleh adanya pertentangan antara hadits (atsar) dengan pikiran. Karena dalam hadits shahih dari ibnu abbas ra. Diriwyatkan sebagai berikut:

Sesungguhnya Rasulullah saw. Berpuasa hingga sampai di alkadid, kemudian beliau berbuka, dan berbuka pula orang banyak bersamanya.

L. Mengadakan Perjalanan Pada Bulan Ramdhan

Apakah orang yang berpuasa itu boleh mengadakan perjalanan di bulan ramadhan, kemudian tidak berpuasa?

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa yang demikian itu dibolehkan untuknya. Tetapi riwayat dari fuqaha yaitu Ubai dan as-Salmani, Suwaid bin Ghaflan dan Ibnu Mujlaz. Bahwa apabila ia mengadakan perjalanan pada bulan Ramadhan maka ia harus berpuasa dan tidak boleh berbuka.

Silang pandapat ini berpangkal pada silang pendapat mereka mengenai mafhum firman Allah adalam Surat al-Baqarah ayat 185

Artinya:

      “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

M. Qadha Puasa Berturut-Turut

      Segolongan fuqaha mewajibkan qadha’ puasa dilakukan secara berturut-turut, berdasarkan sifat ada’ pelaksaan puasa Ramadhan pada bulannya, sedangkan golongan lainnya tidak mewajibkan demikian. Dan golongan terakhir ini ada yang mensunnahkan demikian.

      Diantara fuqaha yang tidak mewajibkan puasa atas orang lain, ada yang berpendapat yakni Imam Syafi’I bahwa wali harus mengeluarkan makanan atas namanya.

      Adapula yang berpendapat bahwasanya tidak ada puasa atau pemberian makanan, kecuali apabila diwasiatkan demikian sebelum meninggalnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik.

      Imam Abu Hurairah bahwa wali harus berpuasa, dan jika tidak sanggup, maka harus mengeluarkan makanan.

      Dan ada pula yang memisah-misahkan antara puasa nazar dengan puasa wajib, untuk puasa nazar, walinya harus berpuasa atas nama yang meninggal itu. Sedangkan untuk puasa wajib, maka tidak ada puasa atas nama orang tersebut.

      Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa hadits-hadits tersebut bertentangan dengan aturan-aturan pokok, karena sebagaimana seseorang tidak mengerjakan shalat orang lain, dan tidak pula seseorang berwudlu’ orang lain, maka demikian pula seseorang berpuasa atas nama orang lain. Berdasarkan ini, maka mereka mengatakan maka wali tidak wajib berpuasa.

      Bagi fuqaha yang mengambil nash dalam masalah ini, maka mereka mengatakan bahwa atas wali wajib puasa. Sedangkan bagi fuqaha yang mengambil nash dalam masalah ini, maka mereka membataskan kewajiban puasa atas puasa nazar saja. Dan bagi fuqaha yang mengqiyaskan puasa Ramadhan atas puasa nazar, maka mereka wajib puasa Ramadhan atas wali. Akan halnya fuqaha yang mewajibkan pemberian makanan, maka mereka mendasarkan kepada firman Allah, yaitu:

Artinya:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

BAB III

KESIMPULAN

      Puasa merupakan salah satu rukun islam yang ketentuan penilaiannya adalah urusan Allah, dengan demikian puasa merupakan ibadah yang sangat istimewa, untuk mencapai kesempurnaan puasa hendaknya mengetahui apa saja faktor yang mendukung kesempurnaanya. Misalnya memperhatikan faktor niat, syarat niat, dan lain sebagainya yang merupakan salah satu ketentuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata atau disepelekan.

      Perlu kita ketahui bahwa banyak masalah yang harus kita bahas dalam masalah niat dan lain sebagainya, dan semua itu sudah kami terangkan secara mendetail pada pembahasan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

    Ridha, Muhamad a. Latar Belakang Masalah 1990. Bidayatu’l-Mujtahid (Ibnu Rusyid). Semarang: CV. Asy Syifa.

Rabu, 27 Februari 2013

Filsafat Manusia Ditulis oleh Aiter dan Billy

Filsafat Manusia

Ditulis oleh Aiter dan Billy

----- Original Message -----

From: "Billy Kristanto"

Subject: Filsafat Manusia

PENDAHULUAN

Banyak tulisan modern sarat dengan perasaan absurditas, kebosanan, kemuakan dan ketidak-artian. Bagaimana timbulnya semua perasaan muram ini? Jelaslah antara lain karena dua kali terjadi perang dunia yang disertai badai kekerasan, kebencian serta ketidak-manusiawian dan mengakibatkan korban berjuta-juta, ditambah lagi semua pengungsi dan orang yang kehilangan tempat tinggal. Barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peranan-peranan di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan mengkhianati keterlibatannya. Perang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. Pertanyaan yang menarik bagi kita ialah apakah kita sebagai pribadi atau sebagai masyarakat, masih sanggup memberikan suatu makna kepada kehidupan kita. Kita berefleksi tentang diri kita sendiri dan tentang pertanyaan eksistensial ini: apakah hidup kita masih mempunyai makna? Dan kalau masih ada makna yang bagaimana? Dalam tulisan ini kami berusaha untuk menampilkan beberapa filsuf yang representatif berbicara mengenai manusia. Beberapa thema yang penting yang menjadi pokok pembahasan yang digeluti misalnya seperti tentang siapakah manusia (Sokrates), makna tertinggi keberadaan manusia (Plato), esensi atau hakekat manusia (Descartes), eksistensi manusia (Kierkegaard, Sartre), tubuh manusia (Plato, Marcel). Dan akhirnya kami mengakhiri tulisan ini dengan sebuah mini eksegese dari tulisan Paulus kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2) yang menurut hemat kami menjadi jawaban yang mengakhiri semua perdebatan filsuf-filsuf tentang manusia.

PRE-SOKRATES --- SOKRATES

Pada permulaan perkembangan pemikiran filsafat Yunani, tampaknya semata-mata berurusan dengan dunia fisik saja. Kosmologi jelas amat mengungguli penyelidikan-penyelidikan dalam cabang-cabang filsafat lainnya.

· Mazhab Milesian mengembangkan filsafat jasmaniah.

· Mazhab Pythagorean mengembangkan filsafat matematis. Aliran ini berpendapat bahwa unsur-unsur kualitatif kosmos berasal dari unsur-unsur kuantitatif, yaitu bilangan-bilangan. Mazhab ini juga menaruh perhatian yang dalam pada masalah manusia, tetapi terutama dari sudut keagamaan di dalam kelompok tertutup tempat mereka hidup.

· Para pemikir Eleatik menjadi orang-orang pertama yang menggariskan cita-cita logika. Mereka menegaskan bahwa hanya rasio yang dapat membuka jalan ke arah Ada yang benar dan nyata.

· Heraklitos berdiri pada garis perbatasan antara pemikiran kosmologis dan pemikiran antropologis. Dia menolak konsep tentang Ada yang dikemukakan Mazhab Eleatik. Bagi dia, pengenalan indrawi menjadi titik tolak yang terpecaya meskipun ia sangat menjunjung tinggi rasio (logos) sebagai kemampuan untuk mengenal, namun rasio itu sama bergerak dan terlibat dalam proses menjadi seperti segala sesuatu yang ada.

· Protagoras, seorang sofis, mengatakan bahwa bukanlah Ada yang menentukan pengenalan kita, melainkan pengenalan kita yang menentukan Ada. Jadi bukan obyektivisme, melainkan subyektivisme. Oleh sebab itu dia berpendapat bahwa "manusia adalah tolok ukur untuk segala-galanya".

Meskipun mereka tergolong filsuf alam, namun Heraklitos sudah yakin bahwa mustahil menyelami rahasia alam tanpa mempelajari rahasia manusia. Kita harus memenuhi tuntutan akan pengenalan diri bila kita hendak tetap menguasai realitas dan memahami maknanya. Oleh sebab itu Heraklitos menyebut seluruh filsafatnya dengan dua kata edizesamen emeoton ("Aku mencari diriku sendiri"). Namun kecendrungan berpikir yang baru ini, baru matang pada masa Sokrates, sehingga persoalan tentang manusia merupakan patokan yang membedakan pemikiran Sokrates dengan pemikiran pre-Sokrates. Ungkapan Sokrates yang sangat terkenal adalah "kenalilah dirimu sendiri". Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Sokrates berkata dalam Apologia, "Hidup yang tidak dikaji" adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Bagi Sokrates, manusia adalah makhluk yang bila disoroti pertanyaan yang rasional dapat menjawab secara rasional pula. Menurut Sokrates, hakekat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari luar, ia semata-mata tergantung pada penilaian diri atau pada nilai yang diberikannya kepada dirinya sendiri. Semua hal yang 'ditambahkan dari luar' kepada manusia adalah kosong dan hampa. Kekayaan, pangkat, kemasyhuran dan bahkan kesehatan atau kepandaian semuanya tidak pokok (adiaphoron). Satu-satunya persoalan adalah kecendrungan sikap terdalam pada hati manusia. Hati nurani merupakan "hal yang tidak dapat memperburuk diri manusia, tidak dapat juga melukainya baik dari luar maupun dari dalam".

PLATO (427 - 347 SM)

Terjadi titik balik dalam kebudayaan dan pemikiran Yunani ketika Plato menafsirkan semboyan "kenalilah dirimu sendiri" (gnothi seauton) dengan cara yang sama sekali baru. Penafsiran ini memunculkan persoalan yang tidak hanya tidak terdapat pada pemikiran pre-Sokrates, tetapi juga di luar jangkauan metode Sokrates sendiri. Untuk memenuhi permintaan orakel Delphi, untuk memenuhi kewajiban religius berupa pengkajian diri serta pengenalan diri, Sokrates mendekati manusia sebagai individu. Pendekatan Sokrates ini oleh Plato dianggap punya keterbatasan-keterbatasan. Bagi Plato, untuk memecahkan persoalan tersebut kita harus membuat rancangan yang lebih luas. Dalam pengalaman individual, kita menghadapi gejala-gejala yang demikian beraneka, rumit dan saling bertentangan, sehingga kita sulit melihatnya secara jelas. Manusia seharusnya dipelajari dari sudut kehidupan sosial dan politis. Menurut Plato, manusia adalah ibarat teks yang sulit, maknanya harus diuraikan oleh filsafat. Tapi dalam pengalaman kita sebagai pribadi, teks itu ditulis dengan huruf-huruf yang terlampau kecil sehingga tidak terbaca. Maka sebagai tugas pertama, filsafat harus 'memperbesar' tulisan-tulisan tersebut. Filsafat hanya dapat mengajukan teori yang memadai tentang manusia apabila sampai pada teori tentang negara. Dalam teori tentang negara, sifat-sifat manusia ditulis dengan huruf-huruf besar. Dalam teori tentang negara, arti 'teks' yang semula tersembunyi seketika muncul, dan apa yang semula kabur dan ruwet menjadi jelas dan dapat dibaca. Namun negara bukanlah segala-galanya, serta negara tidak mencerminkan dan tidak menyerap seluruh aktivitas manusia, meskipun kegiatan manusia dalam perkembangan sejarahnya berhubungan erat dengan bertumbuhnya negara. Plato bertitik tolak dari manusia yang harmonis serta adil dan dalam hal itu ia menggunakan pembagian jiwa atas 3 fungsi, yaitu:

· Epithymia (suatu bagian keinginan dalam jiwa).

· Thymos, (suatu bagian energik dalam jiwa).

· Logos, (suatu bagian rasional dalam jiwa dan sebagai puncak dan pelingkup).

Menurut Plato, negara diibaratkan sebagai Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas 3 bagian atau golongan yang masing-masing sepadan dengan suatu bagian jiwa, yaitu:

· Epithymia, golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang.

· Thymos, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit.

· Logos, golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.

Plato juga mengajarkan teori tentang pra-eksistensi jiwa. Dia mengatakan sebelum kita dilahirkan, atau sebelum kita memperoleh suatu status badani, kita sudah berada sebagai jiwa-jiwa murni dan hidup di kawasan lebih tinggi di mana kita memandang suatu dunia rohani. Sejak kita dilahirkan, kita berada di bumi dan jiwa kita meringkuk dalam penjara tubuh, terbuang dari daerah tinggi itu. Karena penjelmaan dalam tubuh itu, jiwa kita tidak lagi menyadarkan diri dan dengan mendadak tidak lagi menyadari pengetahuan tentang idea-idea dalam dunia kayangan dulu. Dari sini Plato kemudian mengembangkan teori tentang manusia. Manusia pada mulanya adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Jadi, kemungkinan dan makna ultimate keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar, dan yang indah. Tetapi kita gagal mencapai kehidupan yang sebagaimana mestinya karena kita menyimpang dari kiblat idea-idea tersebut, sehingga kita langsung terhukum dengan dipenjarakannya jiwa ke dalam tubuh. Kita harus berusaha naik ke atas dan memperoleh perhatian dan cinta besar untuk dunia ideal dan ilahi itu. Akan tetapi kemungkinan untuk mewujudkan makna ini sangat dibatasi karena kita terbelenggu dalam materi. Bagi kita, dunia jasmani dan tubuh menjadi kemungkinan-kemungkinan buruk untuk tersesat lebih jauh lagi dan tenggelam dalam rawa-rawa materi dan sensual. Kemungkinan yang paling jahat ialah menyerahkan diri sepenuhnya kepada dirinya sendiri (egoisme radikal) dan kepada benda-benda jasmani (materialisme dan sensualisme). Jadi, bagi manusia, dunia dan tubuh itu bersifat ambivalen, artinya dunia serta tubuh dapat merayu dia ke arah kemungkinan-kemungkinan yang jahat, tetapi dapat juga mendorong dia kepada kemungkinan-kemungkinan yang baik. Manusia memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat mendorong dia ke atas, yaitu cinta (eros). Eros adalah daya kreatif dalam diri manusia, pencetus kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius. Eros memenuhi kita dengan semangat kebersamaan, membebaskan kita dari kesendirian kita, dan mengajak kita ke pesta, musik, tarian, dan permaian. Plato menyebutnya sebagai "bapak segala kehalusan, segala kepuasan dan kelimpahan, segala daya tarik, keinginan dan asmara". Eros mendorong kita semakin tinggi, sehingga kita dapat beralih dari cinta yang kelihatan kepada cinta yang tidak kelihatan, ideal, ilahi. Menurut Plato, kematian hanyalah permulaan suatu reinkarnasi baru yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada keberadaannya sebelumnya. Dalam karyanya: Phaidros, Plato berkata bahwa setelah 10.000 tahun, jiwa akan kembali ke asal usulnya. Jadi menurut pandangan Plato, manusia mempunyai banyak jiwa dan banyak manusia individu.

RENE DESCARTES (1596-1650)

Filsafat Rasionalismenya membawa dampak terhadap pandangan tentang manusia. Pemikiran-pemikiran penting dalam filsafatnya:

· Ada dua bentuk realitas yang berbeda, dua "substansi". Yang pertama adalah gagasan (res cogitan), atau "pikiran", dan yang kedua adalah perluasan (res extensa). Pikiran itu adalah kesadaran, tidak mengambil tempat dalam ruang. Materi adalah perluasan, mengambil tempat dalam ruang dan tidak mempunyai kesadaran.

· Kedua substansi tersebut tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga tidak tergantung pada pikiran à dualisme.

· Manusia adalah makhluk ganda yang mempunyai pikiran dan badan perluasan. Apa yang kita pikirkan dengan akal kita tidak terjadi di dalam badan - itu terjadi di dalam pikiran, yang sama sekali tidak tergantung pada realitas perluasan. Namun Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada interaksi konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan berlangsung antara "roh" dan "materi". Pikiran dapat selalu dipengaruhi oleh perasaan dan nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan badaniah. Namun pikiran dapat menjauhkan diri dari impuls-impuls 'tercela' semacam itu dan bekerja tanpa tergantung pada badan (jika aku merasakan sakit yang amat-sangat pada perutku, jumlah sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat. Maka manusia mempunyai kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhan-kebutuhan badaniah dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini pikiran lebih unggul daripada badan.

SÖREN KIERKEGAARD (1813-1855)

Sebagai Bapak Eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting dalam filsafatnya:

· Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan.

· Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia selaku persona.

· Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif - termasuk agama - harus mendarah daging dalam si individu.

· Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku. Apakah gunanya menemukan suatu kebenaran yang disebut obyektif dan mempelajari semua sistem filosofis . Sejauh mana ada baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama itu tidak mempunyai arti mendalam untuk aku sendiri dan kehidupanku ." Kierkegaard mencari

kebenaran yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuan yang dihayati (connaissance vécue), a real knowledge.

· Dia membedakan manusia dalam stadium estetis, etis dan religius.

· Pada stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup daripada ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Ia bisa menjadi seorang hedonis yang sempurna, seorang "perayu" seperti Don Juan, atau seorang yang "sok tahu" dan seorang Sofis (mis. Mendalami filsafat dan teologi).

· Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin seseorang ke arah stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis.

· Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan topangan serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu manusia yang terkoyak-koyak (bandingkan Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius. Sebagai orang Kristen - ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk - dengan ketidakpastian intelektual yang besar - mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman kepercayan Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana Kristus merupakan Paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia.

GABRIEL MARCEL (1889-1973)

Salah satu thema utama dalam filsafatnya adalah mengenai tubuh. Beberapa hal yang penting:

· Masalah mengenai "mempunyai" dan "Ada" dikaitkan dengan tubuh. Saya mempunyai tubuhku atau saya adalah tubuhku? Tubuhku bagi saya bukan obyek, melainkan selalu melibatkan pengalaman saya sendiri tentang organisme fisis-kimiawi, inilah yang ingin diselidiki oleh Marcel.

· Analogi "saya mempunyai tubuhku" dengan "saya mempunyai anjingku" harus dihentikan karena tiga aspek: 1) antara saya dan tubuhku tidak terdapat struktur qui-quid (subyek yang mempunyai dan yang dipunyai) seperti antara saya dan anjingku; 2) tubuh tidak berada di luar saya seperti halnya dengan anjing; 3) saya tidak merupakan "yang lain" terhadap tubuhku seperti saya memang merupakan "yang lain" terhadap anjingku.

· Tubuh bukanlah alat. Martil berada antara tukang kayu dan papan yang sedang dikerjakan. Tubuh tidak berada antara aku dan apa yang sedang dikerjakan. Bila saya menulis, tubuh tidak berada antara "aku" dan kertas.

· Tubuh adalah "alat absolut", artinya alat yang memungkinkan alat2 tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain.

· Tubuh adalah "prototipe" di bidang "mempunyai", yang memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain.

· Sekalipun demikian saya tidak identik begitu saja dengan tubuhku. Tetapi jelas penengahan antara saya dan tubuhku tidak bersifat instrumental. Marcel menyebutnya sympathetic mediation: penengahan pada taraf "merasakan" (sentir). Saya adalah tubuhku, hanya sejauh saya adalah makhluk yang merasakan.

· Proses "merasakan" harus dimengerti sebagai suatu "message" dari luar yang diterima di dalam subyek. Garis pemisah yang ditarik antara "di luar" dan "di dalam" harus ditolak karena "menerima" dalam hal perasaan tidak pernah sama dengan "menerima semata-mata pasif". "Menerima" di sini harus dimengerti sebagai partisipasi, membuka diri, memberikan diri; "menerima" seperti tuan rumah menyambut tamu-tamunya. "Merasakan" berarti menerima dalam wilayah yang merupakan wilayah saya.

· "Inkarnasi" manusia hanya mungkin karena dengan tubuhku saya berada dalam dunia, bukan saja dalam arti bahwa saya dapat mempengaruhi benda-benda, tetapi juga dalam arti bahwa saya terpengaruhi oleh benda-benda. Dualisme antara "di luar" dan "di dalam" harus ditinggalkan. Inkarnasi itu merupakan titik tolak refleksi filosofis dan bukan cogito atau kesadaran.

JEAN PAUL SARTRE (1905 -1980)

Manusia merupakan suatu proyek ke masa depan yang tidak mungkin didefinisikan. Manusia adalah sebagaimana ia diperbuat oleh dirinya sendiri. Ia adalah masa depannya. Moral dan etika harus diciptakan oleh manusia sendiri. Kita adalah kebebasan total, "kita dihukum untuk bertindak bebas". Inilah kemegahan dan sekaligus kemalangan bagi kita, sebab kebebasan mengandung juga tanggung-jawab. Kita bertanggung-jawab atas seluruh eksistensi kita dan bahkan kita bertanggung-jawab atas semua manusia karena terus-menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sendiri, kita sekaligus memilih untuk semua orang. Dari tanggung-jawab yang mengerikan ini lahirlah kecemasan atau keputus-asaan. Kita berusaha meloloskan diri dari kecemasan serta keputusasaan itu melalui sikap malafide (mauvaise foi) serta keikhlasan (sincerite), dengan berlagak seolah-olah kita bisa ada sebagaimana seharusnya kita ada dan secara diam-diam menyisipkan suatu identifikasi antara en-soi (Ada-pada-dirinya) dan pour-soi (kesadaran kita).

Mungkinkah kehidupan manusia tanpa Tuhan? Apakah hidup manusia masih mempunyai makna? Secara obyektif kehidupan kita memang tidak mempunyai makna sedikitpun dan absurd sama sekali. Kita tidak mempunyai alasan untuk berada. Manusia merupakan une pasion inutile, suatu gairah yang tidak berguna. Namun kita bisa memberi makna kepada kehidupan kita dan dengan itu kehidupan manusiawi sebetulnya baru menjadi mungkin. Jadi seorang manusia dapat memberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dengan merancang dirinya. Sartre pernah menyebut orang lain "neraka", tetapi kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Untuk memperoleh kebenaran tentang diri saya sendiri, saya memerlukan orang lain. Jadi Sartre yang sebagai atheis ingin menciptakan suatu way of life yang baru, yaitu semacam moral manusiawi yang baru. Karena saya terikat dengan orang lain, maka kebebasan saya harus memperhitungkan juga kebebasan orang lain itu. Saya tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Setelah semua manusia mati, seluruh sejarah umat manusia dapat disingkatkan dengan mengatakan, "begitulah manusia". Akan tetapi, siapakah yang dapat mengetahui serta mengatakan hal itu karena tidak ada lagi manusia? Selama masih ada manusia hidup, selalu terlalu pagi untuk mengatakan "begitulah manusia". Bagi manusia individu, kemungkinan ultimate adalah kematian, tetapi kemungkinan ultimate seluruh umat manusia tidak kita ketahui.

RASUL PAULUS

Kita akan mengkonsentrasikan pandangan Paulus, khususnya dalam suratnya kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2). Di sini Paulus mengaitkan tubuh (sebagai persembahan yang hidup kepada Allah), keberbedaan kita dengan dunia, pembaharuan budi dan mengetahui kehendak Allah (yang baik dan sempurna).

· Berbeda dengan Plato dan Descartes yang cenderung melihat tubuh sebagai penjara jiwa, yang seringkali menghalangi akal sehat yang seharusnya memimpin, berbeda juga dengan Marcel yang cenderung memberhalakan tubuh sebagai "alat absolut" yang tidak dijadikan oleh sesuatu apapun yang lain, maka Paulus menasihatkan kita untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Di sini kita melihat pandangan yang positif tentang tubuh (bukan sesuatu yang jahat), sekaligus dilarang untuk memberhalakannya, karena Allah sebagai Pencipta tubuh kita berhak untuk memakainya, bahkan "mempunyainya" sebagai "alat" di tangan-Nya.

· Berbeda dengan Marcel yang mengatakan bahwa kita seharusnya terbuka terhadap setiap "message" dari luar yang diterima (dirasakan) oleh tubuh, terpengaruhi oleh benda-benda dlsb, Paulus mengatakan agar kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Permasalahannya di sini bukanlah bahwa kita harus memiliki satu sikap eksistensial berani ditransformasi oleh segala sesuatu "yang lain", melainkan pertanyaan "apa yang mentransformasi kita?" Alkitab mengatakan bahwa transformasi itu terjadi dalam "pikiran" (mind) yang mengenal kehendak Allah. Transformasi pikiran inilah sebenarnya yang dikejar dan didambakan oleh Plato dan yang disebutnya sebagai "kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi". Alkitab tidak pernah mengajarkan agar kita memberikan diri untuk ditransformasi oleh apa saja (asal bersedia ditransformasi), melainkan bahwa yang mentransformasi kita adalah firman Tuhan. Transformasi yang dikerjakan oleh firman Tuhan membuat kita semakin mengerti dan mengenal kehendak Allah. Di sini kita melihat bahwa Alkitab menghendaki pengertian pikiran kita (understanding of our mind) terus-menerus disempurnakan, sehingga menjadi orang kristen yang berkenan kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari mengerti dan memikirkan apa yang kita percaya karena di situlah transformasi itu terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh John Piper, orang kristen seharusnya menjadi seseorang yang memiliki "a mind in love with God". Mind corresponds to the understanding of the truth of God's perfections. Love corresponds to the delight in the worth and beauty of those perfections. God is glorified both by being understood and by being delighted in. He is not glorified so much by one brand of evangelicals who divorce delight from understanding. And he is not glorified so much by another branch of evangelicals who divorce understanding from delight (John Piper, God's Passion for His Glory. Wheaton: Crossway Books, 1998, p.82).

· Plato mengatakan bahwa kemungkinan dan makna ultimate keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar, dan yang indah. Paulus mengatakan bahwa mengetahui dan dapat membedakan kehendak Allah adalah apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Plato secara samar-samar memiliki pengertian tentang makna ultimate keberadaan manusia, namun Pauluslah yang dipercayakan Tuhan untuk menyatakan apa yang baik itu, yang benar, yang indah, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna yaitu mengetahui kehendak Allah. Dengan mengetahui kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya manusia menemukan makna ultimate keberadaan dirinya.

Soli Deo Gloria!

Translate

Jalanku Untuk-MU