This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

TRANSLATE THIS BLOG

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 26 November 2012

kajian islam kontemporer perspektif sosiologi dan antropologi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Dan seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya sebagian besar orang dapat meneliti suatu agama dari sisi manupun dan Kini, penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi, malah orang berlomba-lomba melakukannya dengan berbagai pendekatan. Terkait dengan hal tersebut, dalam makalah ini kami mencoba menyajikan dua pendekatan penelitian dalam studi agama islam, yaitu pendekatan sosiologi dan atropologi
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      bagaimana pendekatan yang digunakan sosiologi dalam mengkaji islam?
2.      bagaimana pendekatan yang digunakan antropologi dalam mengkaji islam?
C.    TUJUAN PENULISAN
Tak jauh dari sebuah harapan yaitu memenuhi tugas terstruktur  dalam mata kuliah Motodelogi Studi Islam, dan selanjutnya adalah mendapatkan ilmu pengetahuan yang luas serta kita dapat mengetahui bagaiman mengkaji islam dari segi sosiologi dan antropolgi





BAB II
PEBAHASAN
METODE STUDI ISLAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
A.    SOSIOLOGI
1.      Sosiologi
Secara bahasa, kata “sosiologi” berasal dari dua buah kata, yakni “socius” yang artinya teman atau kawan yang selanjutnya diartikan sebagai masyarakat, kata ini berasal dari bahsa Romawi. Dan kata ke-dua adalah “logos” diambil dari bahsa Yunani yang artinya ilmu. Jadi, menurut arti yang disimpulkan oleh Aguste Comte ini adalah sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antar teman atau antar anggota masyarakat, atau lebih popular dengan sebutan sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. selain itu, perlu kiranya kita menanggapi pendapaat lain tentang penafsiran dari makna kata “sosiologi” menurut beberapa tokoh berikut ini:
·        Adam Kuper, Sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan yang fokusnya mempelajari masyarakat.
·        Pitirin Sorokin, Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hokum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan sebagainya.
·        Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur social dan proses-proses social termasuk perubahan-perubahan social.
·        Nursed Sumaatmaja, Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang relasi-relasi social yang menggambarkan bahwa manusia itu memang makhluk social yang aktif berinteraksi dan dapat saling mempengaruhi.
Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat meliputi gejala-gejala social, struktur sosial, perubahan sosial dan jaringan hubungan atau interaksi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial .



2.      Pendekatan Sosiologi
Sosiologi memiliki berbagai paradigma untuk mengkaji suatu masalah, sehingga sosiologi merupakan ilmu sosial yang berparadigma ganda. Adapun struktur paradigma didalam sosiologi adalah sebagai berikut.
Paradigma sosiologi lahir dari teori-teori sosiolog dari masa klasik hingga era modern ini. Menurut Thomas khun mengatakan bahwa paradigma sosiologi berkembang secara revolusi bukan secara kumulatif seperti pendapat sosiolog sebelumnya. Khun menyekemakan munculnya paradigm sebagai berikut:
Paradigma I→ Normal Science→ Anomalies→ Crisis→ Revolusi→ Paradigma II
Sehingga paradigm sosiologi dapat berkembang sesuai dengan fakta sosial. Pradigma ini lah yang akan digunakan sebagai alat untuk mengkaji studi islam, dalam pengkajian studi islam peneliti bebas memilih paradigma yang ada didalam sosiologi untuk mengkaji masyarakat islam. George Ritzer mengetengahkan bahwa paradigma-paradigma dalam sosiologi walaupun hasilnya berbeda namun tidak ada perselisihan diantara paradigm tersebut selama masih sejalan dengan hukum ilmiah. Meskipun begitu umumnya paradigma itu memiliki keunggulan pada masing-masing masalah yang dikajinya .
Dalam sosiologi ada pranata sosial, pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan mengenai aktivitas masyarakat, sementara sosial secara sederhana adalah masyarakat. Jadi dapat disimpulkan pranata sosial adalah himpunan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang dipahami, dihargai, dan ditaati oleh warga masyarakat dan bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat . Pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam tatanan atau urutan secara bertingkat atau hierarki. Dalam islam sendiri terdapat pelapisan masyarakat hal itu dapat dipelajari melalui wujud pelapisan masyarakat seperti:
1.            Tingggi-rendah
2.            Bangsawan-rakyat biasa
3.            Superior-inferior
4.            Unggul-biasa
5.            Priyayi-wong cilik dan semacamnya
Munculnya pelapisan sosial karena adanya sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, yakni harta benda, ilmu pengetahuan, kekuasaan, keturunan keluarga terhormat, kesalehan dalam agama, dan semacamnya. Ada beberapa teori tentang munculnya lapisan-lapisan dalam masyarakat, yakni:
-          Terjadi dengan sendirinya (otomatis), misalnya lapisan berburu karena kepandaian berburu hewan, atau misalnya seorang dermawan yang dihormati oleh masyarakat.
-          Sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu, yang sering disebut pembagian kerja, tanggung jawab, dan sebagainya. Misalnya dalam organisasi. Organisasi dalam berbisnis, politik, pendidikan, pemerintahan, dan lainnya.
Sifat sistem lapisan dalam masyarakat ada dua, yakni:
1.      Tetutup, yakni tidak memberikan kesempatan atau kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain. contohnya adalah kasta dalam masyarakat Hindu, keturunan bangsawan atau darah biru, dan semacamnya.
2.      Terbuka, yakni memungkinkan seseorang untuk berpindah dari satu lapisan ke lapisan yang lain.
Adapun faktor yang dapat dijadikan titi tolak mencapai kesamaan derajat adalah adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Sementara faktor-faktor yang membedakan elit dan massa adalah, kekayaan, kedudukan, ilmu penegtahuan, kekuasaan, kehormatan, dan sebagainya. Sedangkan kelas menurut Karl Marx adalah ditentukan oleh faktor ekonomi. Kelas pemilik tanah atau alat-alat produksi dinamakan kaum borjuis. Sedangkan pemilik tenaga untuk disumbangkan disebut kaum buruh atau kaum proletar.
Stereotip adalah gambaran tertentu mengenai sifat seseorang atau sekelompok orang yang bersifat negatif, yang pembentukannya didasarkan pada generalisasi sehingga sifatnya subjektif. Lebih jau lagi stereotif adalah produk dari proses interaksi antar kelompok etnis atau yang terdapat dalam masyarakat yang di dalamnya ada kelompok mayoritas dan minoritas. Faktor-faktor yang memengaruhi stereotif dan prasangka adalah:
Kepribadian. Contohnya orang yang mempunyai kepribadian otoriter mudah mempunyai prasangka.ØPengaruh pendidikan orang tua terhadap anak.ØStatus, pada umumnya semakin tinggi dan baik tingkat pendidikan seserang, maka semakin sedikit prasangka dan stereotip.ØPeranan sarana komunikasi, seperti, filem, radio, surat kabar, dll.ØPeranan hubunganØ
Kaitannya dengan pendekatan sosiologi. Minimal ada tiga teori yang bisa digunakan dalam peneitian, yaitu: teori fungsional, teori interaksional, dan teori konflik. Tapi ada juga yang menambahkan dua teori lainnya, yaitu teori peranan dan teori kepentingan.
1.                                          Teori Fungsional
Teori fungsional adalah teori yang mengasumsikan masyarakat sebagai organisme ekologi mengalai pertumbuhan. Semakin besar pertumbuhan terjadi semakin kompleks pula masalah-masalah yang akan dihadapi. Yang pada gilirannya akan membentuk kelompok-kelompok atau bagian-bagian tertentu yang mempunyai fungsi sendiri, yang mana bagian yang satu dengan bagian yang lain memiliki fungsi yang berbeda. Karena perbedaan pada bagian-bagian tadi maka perubahan fungsi pada bagian tertentu bisa juga memengaruhi fungsi kelompok lain. meskipun demikian masing-masing kelompok dapat dipelajari sendiri-sendiri. Maka yang menjadi kajian penelitian agama dengan pendekatan sosiologi dengan teori fungsional adalah dengan melihat atau meneliti fenomena masyarakat dari sisi fungsinya.
Adapun teori yang berhubungan dengan teori fungsi adalah teori peran. Peran disini maksudnya adalah, seperangkat tindakan yang diharapkan yang akan dimiliki seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berperan berarti bertindak atau bermain sebagai. Sedangkan peranan adalah tindakan yang dilakukan sesorang dalam suatu peristiwa . Hubungan peran dan status, baahwa peran tidak dapat dipisahkan dari status. Adapun pengertian status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut . Ada dua jenis status atau kedudukan:
a.      Ascribe status, status yang didapat seseorang secara otomatis, tanpa usaha atau tanpa memerhatikan kemampuan. Misalnya status bangsawan, atau kasta yang diperoleh sejak lahir dari orang tua.
b.      Achieve status, status yang diperoleh seseorang dengan usaha yang disengaja sesuai dengan kemampuannya.
Adapun langkah-langkah yang diperlukan dalam menggunakan teori fungsional. Yaitu, membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematik, mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi objek penelitian, serta mengidentifikasi konsekuensi dari satu tingkah laku sosial.
2.                                          Teori Interaksional
Teori interaksionisme mengasumsikan, dalam masyarakat pasti ada hubungan antara masyarakat dengan individu, individu dengan individu lain. Teori ini sering diidentifikasikan sebagai deskripsi yang interpretatif, yaitu suatu sebab yang menawarkan suatu analisis yang menarik perhatian besar pada pembekuan sebab yang senyatanya ada. Prinsip dasar yang dikembangkaan oleh teori interaksionisme adalah; bagaimana individu menyikapi sesuatu atau apa saja myang ada di lingkungan sekitarnya, memberikan makna pada fenomena tersebut berdasarkan interaksi sisoal yang dijalankan dengan individub yang lain, makna tersebut difahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretasi atau penafsiran yang berhubungan dengan hal-hal yang dijumpainya.
3.                                          Teori Konflik
Teori konflik adalah teori yang percaya bahwa manusia memilki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan pusat dari segala hubungan manusia. Menurut pemegang teori ini nilai dan gagasan-gagasan selau digunakan untuk melegitimasi kekuasaan.
Perubahan Sosial dalam Islam dapat dikaji menggunakan pendekatan sosiologi. Dengan menggunakan teori ini islam dapat diketahui perkembangan dan kemajuannya dari masa kemasa, sehingga nantinya dapat digunakan untuk mengembangkan masyarakat islam.


B.     Antropologi
1.      Pengertian Antropologi
Secara etimologi, istilah antrologi berasal dari dua buah kata, yakni kata “anthropos” artinya manusia (bahasa Romawi), dan kata “logos” artinya ilmu (bahasa Yunani). Jadi, singkatnya antropologi bermakna ilmu tentang manusia. Selain itu, secara istilah terdapat beberapa perbedaan penafsiran, salah satunya menyimpulkan bahwa antropologi adalah salah satu cabang ilmu social yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Sedangkan pendapat lain, diantaranya:
-    Ruth Benedict, Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai makhluk masyarakat.
-    Koentjanraningrat, antropologi ialah ilmu yang mempelajari makhluk antropos/manusia dan merupakan paduan dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari masalah-masalah khusus mengenai makhluk manusia.
-    Willian A. Havilland, antropologi ialah suatu studi tentang manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfa’at tentang manusia dan perilakunya, serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
-    Ariyono Suyono, antropologi adalah suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian, masyarakat dan kebudayaannya.
Jika kita coba simpulkan, maka dapat diambil ibrah bahwa Antropologi adalah sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari makhluk manusia, baik dari segi fisik/biologis maupun segi sosio budaya.
2.      Pendekatan Antropologi
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral, wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar, ada lima fenomena agama yang dapat dikaji, yaitu:
1.      Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
2.      Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3.      Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4.      Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5.      Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syiah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.






BAB III
KESIMPULAN
Sosiologi mempelajari masyarakat meliputi gejala-gejala social, struktur sosial, perubahan sosial dan jaringan hubungan atau interaksi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Dalam pendekatan sosiologi menggunakan tiga teori yang pertama teori fungsional, kedua teori interaksional dan yang ketiga teori konflik
Sedangkan antropolgi sendiri mempunyai pengertian bahwa Antropologi adalah sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari makhluk manusia, baik dari segi fisik/biologis maupun segi sosio budaya. Kaitannya pendektan antropolgi melalui dua pendekatan pertama empiris dan yang kedua  antropologi budaya



















DAFTAR PUSTKA
Abdullah Ali, Sosiologi Islam, IPB Press, 2005 cirebon
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustka Pelajar, 1998
H. Mahmud dan  Ija Suntana, Antropologi Pendidikan, CV. Pustaka Setia Bandung, 2012


































Translate

Jalanku Untuk-MU