This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

TRANSLATE THIS BLOG

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 25 September 2012

ASWAJA ala Nahdlatul Ulama



ASWAJA ala Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang didirikan para kyai-kyai yang berpengaruh, KH. Hasyim Asy’ari merupakan simbol ulama besar yang berpengaruh. Tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama diantaranya adalah memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah yang menganut madzhab empat, yakni : Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Disamping itu juga bagaimana bisa menyatukan antara ulama dan [para pengikutnya-pengikutnya serta melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahan masyaraka, kemajuan bangsa dan ketingian harkat dan martabat manusia.
Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah adalah ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat-sahabat-Nya dan beliau amalkan serta diamalkan para sahabat, paham Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syariah dan akhlak. Ketiganya, merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam. Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah didasarkan pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang aqidah, dalam bidang fiqih menganut empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam bidang tasawuf menganut manhaj Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi, serta imam lainnya yang sejalan dengan syari’ah Islam.
Ciri utama Aswaja NU adalah sikap tawassuth dan i’tidal (tengah-tengah atau keseimbangan). Yakni selalu seimbang dalam menggunakan dalail, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara pendapat jabariyah dan qodariyah, sikap moderat dalam menghadapi perubahan dunyawiyah. Dalam masalah fiqih sikap pertengahan antara ”ijtihad” dan taqlid buta, yaitu dengan cara bermadzhab, ciri suikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang qathi’iyyat dan toreran dalam hal-hal zhanniyyat.
Tawassuth dalam menyikapi budaya ialah mempertahankan budaya lama yang baik dan menerima budaya baru yang lebih baik, dengan sikap ini Aswaja NU tidak apriori menolak atau menerima salah satu dari keduanya.
Sumber Ajaran Aswaja NU
Pola perumusan hukum dan ajaran Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah Nahdlatul Ulama sangat tergantung pada pola pemecahan masalahnya, antara: pola maudhu’iyah (tematik) atau terapan (qonuniyah) dan waqi’yah (kasuistik). Pola maudhu’iyah merupakan pendiskripsian masalah berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran islam dengan kepentingan terapan hukum positif,  maka pendekatan masalahnya berintikan ”tathbiq al-syari’
Ah” disesuaikan dengan kesadaran hukum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian faktual yang bersifat kedaerahan atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode eklektif (takhayyur) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instan).
Metode pengalian atau pengambilan sumber (referensi) dan langkah-langkanya baik deduktif maupun induktif dalam tradisi keagaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah.
  • Madzhab Qauli, pandangan keagamaan ulama yang terindentifikasi sebagai ”ulama sunni” dikutip utuh qaulnya dari kitab mu’tabar (qaulnya Imam Syafi’i) dalam madzhab, untuk memperjelas dan memperluas doktrin yang akan diambil bisa mengunakan kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni yang bermadzhab yang sama (Imam al Nawawi)
  • Madzhab Manhaji, madzhab ini lebih mengarah pada masalah yang bersifat kasuistik yang diperlukan penyertaan dalil nash syar’i berupa kutipan al-Quran, nuqilan matan sunnah atau hadist, serta ijmak
  • Madzhab Ijtihad, metode akan ditemui pada permasalahan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah, dengan pola ijtihad dengan memgang asas-asa idtihad dan didukung kearifan lokal serta dialakukan secara kolektif.
Aqidah Aswaja
Ketika Rasullah Muhammad SAW masih hidup, setiap persoalan dan perbedaan pendapat di antara kaum muslimin langsung dapat diselesaikan langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammmad, tetapi setelah beliau wafat, penyelesaian tersebut tidak ditemukan sehingga sering terjadi perbedaan lalu mengedap dan terjadi permusuhan di antara mereka, awal-awal perbedaan muncul persoalan imamah lalu merembet pada persoalan aqidah, terutama mengenai hukum orang muslim yang berbuat dosa besar apakah dia dihukumi kafir atau mukmin ketika dia mati.
Perdebatan ini akhirnya merembet pada persoalan Tuhan dan Manusia, terutama pada terkait dengan perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan (sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, ke hudutsan dan ke-qadim-an Tuhan dan kemakhukan Quran), pertetangan tersebut makin meruncing dan kian saling menghujat.
Ditengah-tengah arus kuat perbedaan pendapat munculah pendapat moderat yang mencoba berusaha mengkompromikan kedua pendapat tersebut, kelompok moderat terbut adalah Asy’ariyah dan Maturudiyah yang keduanya kemudian dinamakan kelompok Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja).
Konsep Aqidah Asy’ariyah
Konsep ini dimunculkan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah sekitar tahun 260 H/873M dan wafat di Baghdad 324H/935M, aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengan dari kelompok-kerlompok keagamaan yang pada waktu itu berkembang yakni kelompok Jabariyah dan Qodariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah.pertentangan kelompok tersebut terlihat dari pendapat mengenai perbuatan manusia,kelompok Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia seluhnya diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki andil sedikitpun, berbeda dengan pendapat kelompok Qodariyah, bahwa perbuatan manusia seluruhnya adalah diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah, artinya kelompok Jabariyah melihat kekuasaan Allah itu mutlak sedang kelompok Qodariyah melihat kekuasaan Allah terbatas.
Asy’ariyah besikap mengambil jalan tengah (tawasuth) dengan konsep upasya (al-kasb), menurut Asyari perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbutaannya, artinya upaya (kasb) meiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan, upaya juga bermakna keaktifan dan tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Dengan demikian manusia selalu keratif dan berusaha dalam menjalankan kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan Tuhan. Konsep Asy’ariyah mengenai toleransi (tasammuh), mengenai konsep kekuasan Tuhan yang mutlak, bagi Mu’taziah Tuhan WAJIB bersikap adil dalam memperlakukan mahluk-Nya, Tuhan wajib memasukan orang baik ke surga dn orang jahat ke neraka, berbeda dengan Asy’ariyah, alasannya kewajiban berati telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan, padalah Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang membatasi kekuasaan dan kehendak Tuhan, termasuk soal akal, Mu’tazilah memposisikan akal diatas wahyu, berbeda dengan Asy’ariyah akal dibawal wahyu, namun akal diperlukan dalam memahami wahyu, artinya dalam Asyariyah akal tidak ditolak, dan kerja-kerja rasionalitas dihormati dalam kerangka pemahaman dan penafsiran wahyu berserta langka-langkahnya.
Konsep Aqidah Maturidiyah
Konsep Aqidah Maturudiyah didirikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi, beliau lahir di Maturid di Samarkand, wafatnya sekitar tahun 333H, konsep Maturiyah tidak jauh berbeda dengan konsep Asy’ariyah, namun pada sandaran madzhabnya saja, kalau Asy’ariyah bermadzhab pada Imam Syafi’i dam Imam Maliki sedangkan Maturidiyah pada Imam Hanafi.
Konsep jalan tengah (tawasuth) yang ditawarkan Maturidiya adalah jalan damai anatar nash dan akal, artinya pendapat Maturidiyah melihat bahwa suatu kesalahan apabilah kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (teks), begitu juga sebaliknya salah jika kita larut dan tidak terkendali dalam mengunakan akal. Artinya sama pentingnya mengunakan nash dan akaldalam memahami kekuasaan (ayat-ayat) Tuhan.
Dengan munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan perdamaian antara kelompok Jabariyah yang Fatalistik dan Qodariyah yang mengagung-agungkan akal, sikap keduanya merupakan sikap Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam beraqidah, sikap tawasuth diperlukan untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak, prinsipnya bagaimana nilai-nilai Islam dijadikan landasan dan pijakan bermasyarakat serta dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Syariah ASWAJA an Nahdliyah
Ketika Rasullulaah SWA masih hidup, umat manusia menerima ajarn langsung daribeliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan, setelah rasullulah wafat para sahabat menyebarkan ajaran pada generasi selanjutnya. Dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang kian dinamis banyak persoalan baru yang dihadapi umat, seringkali hal yang muncul tidak tredapat jawabat secara tegas dalam al-Quran dam al-Hadis, maka untuk mengetahui hukum atau ketentuan persoalan baru tersebut diperlukan upaya ijtihad.
Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid biasa disebut madzab yang berarti ”jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau pola pemahaman. Pola pemahaman dengan metode, prosedur dan produk ijtihad tersebut diikuti oleh umat Isalam yang tidak mampu melakukan ijtihad sendiri, karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Inilah yang disebut bermazhab atau mengunakan mazhab. Dengan cara bermazhab inilah ajaran Islam dapat dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan masyarakat. Melalui sistem inilah pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusannya serta terjamin kemurnian al-Quran dan al-Hadist dipahami, ditafsirkan dan diopertahankan.
Kenapa harus empat mazhab
Di antara mazhab bidang fiqh yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat (Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi), alasan memilih keempat Imam tersebut;
  • Secara kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah mashur, artinya jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan maroritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak diperlukan penjelasan detail.
  • Keempat Imam tersebut adalah Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu Imam yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-fikr, pola, metode, proses dan prosedur istimbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan
  • Para Imam Mazhab memiliki murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh kitab induk yang masih terjamin keasliannya hingga sekarang
  • Keempat Imam tersebut memiliki mata rantai dan jaringan intelektual diantara mereka.
Tasawuf Aswaja ala NU
Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah memiliki prinsip, bahwa hakiki tujuan hidup adalah tercapaianya keseimbangan kepentingan dunia dan akhirat, serta selalu mendekatkan diri pada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri pada Allah, diperlukan perjalanan spiritual, yang bertujuan memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup, namun hakikat tidak boleh dicapai dengan meninggalkan rambu-ra,bu syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran dan Sunnah Rasullullah SAW, ini merupakan prinsip dari tasawuf Aswaja.
Kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam bentuk thariqah, tidak semua thariqah memiliki sanad kepada Nabi Muhammmad, dan yang tidak memiliki sanad pada Nabi Muhammmad tidak diterima sebagai thariqah mu’tabarah oleh Nahdliyin.
Jalan sufi yang telah dicontohkan Nabi Muhammad dan pewarisnya,adalah jalan yang tetap memegang teguh pada perintah-perintah syariat seperti ajaran-ajaran tasawuh yang terdapat dalam tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Tasawuf model al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi diharapkan umat akan dinamis dan dapat mensandingkan antara kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, seperti yang ditunjukan oleh wali songo yang menyerkan islam di Indonesia. Dengan model tasawuf yang moderat memungkinkan umat islam secara individu memiliki hubungan langsung dengan Tuhan dan secara berjamaah dapat melakukn gerakan kebaikan umat, sehingga menjadikan umat memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial.

Perkembangan Iptek di Dunia



Perkembangan Iptek di Dunia
      Perkembangan ilmu dan teknologi didominasi oleh dunia Barat. Sejak abad ke 18
perkembangan itu begitu pesat ditandai dengan kehadiran revolusi industri, di bawah naungan jiwa dan semangat Zaman Renaissance dan Aufklarung. Bisa dipahami bahwa kebudayaan Barat pun akhirnya banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi.
      Zaman Renaissance adalah zaman yang didukung oleh cita-cita untuk melahirkan kembali manusia yang bebas, yang telah dibelenggu oleh zaman abad tengah yang dikuasai oleh Gereja atau agama. Manusia bebas ala Renaissance adalah manusia yang tidak mau lagi terikat oleh orotitas yang manalun (tradisi, sistem gereja, dan lain sebagainya), kecuali otoritas yang ada pada masingmasing diri pribadi. Manusia bebas ala Renaissance itu kemudian “didewasakan” oleh zaman Aufklarungh, yang ternyata telah melahirkan sikap mental menusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya dorong yang mempengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi yaitu pandangan untuk menguasai alam. Tiada hari tanpa hasil kreasi dan inovasi. Semenjak itulah dunia Barat telah melakukan tinggal landas mengarungi angkasa ilmu pengetahuan yang tiada bertepi untuk menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan hidupnya”. Hasilnya adalah teknologi supra-modern yang mereka miliki sebagaimana kita lihat sekarang ini (Wibisono dalam Rusli (ed), 1992: 104).
      Menurut Koentjaraningrat (1994:2) unsur-unsur kebudayaan yang ada di dunia ini adalah; sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur itu yang akan menjadi telaahan adalah sistem pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dan sistem teknologi.
      Ilmu dan teknologi sebagai kerangka kebudayaan dapat dilihat, pertama sebagai kekuatan produksi, kedua sebagai ideologi yang didalam termasuk politik, ketiga sebagai kerangka kebudayaan modern, dan keempat mencari relevansi bagi pembangunan Indonesia (Wartaya,1987:306). Pada tulisan ini yang akan dibahas adalah ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ideologi.




.     IPTEK Sebagai Legitimasi Politik
      Menurut Habermas dalam Widyarsono (1991:91) kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini perlu dilihat dalam kaitannya dengan rasional-bertujuan (Zweckrationales Handeln) yang menjadi berlaku umum. Hal ini mengakibatkan legitimasi-legitimasi lama dibongkar, “hilangnya daya pesona” (disenchanment) dunia, serta munculnya sekuralisasi karena ilmu itu memang sekuler. Hal ini merupakan bagian negatif perkembangan “rasionalitas” tindakan sosial. Dikatakan bahwa rasionalisasi sebagai emansipasi, individualisasi, perluasan komunikasi bebas terhadap dominasi. Ini terjadi tentu saja dalam kerangka institusional/interaksi simbolik. Sedang rasionalisasi yang didapat dari sistem rasional-bertujuan adalah pertumbuhan kekuatan, perluasan kontrol teknik (Marzoeki, 2000:43; Piliang, 1998:29).

      Dalam sistem politik, Marcuse dalam Widyarsono (1991:91) menyatakan bahwa prinsip umum dari ilmu adalah apriori yang distrukturkan sedemikian rupa sehingga membentuk kerangka operasionalisme instrumen. Dikatakan bahwa apriori teknologi adalah apriori politik. Prinsip-prinsip teknologi digunakan untuk melegitimasi kekuasaannya. Menurut Habermas sistem politik seperti ini terjadi di negara kapitalis. Ini terlihat dalam teknologi baru dan strategi untuk mencapainya. Dari sini muncul inovasi-inovasi yang dilembagakan, seperti badan-badan dunia yang berdalih memberikan bantuan, namun dibalik itu terjadi penetrasi politik yang tidak disadari.
      Selanjutnya inovasi-inovasi ini menjadi kekuatan produksi, karena “bantuan“ yang diberikan mengharuskan untuk mengambil komoditi dari negara asal pemberi bantuan. Kekuatan ini memberikan legitimasi sistem politik (lihat kasus-kasus yang berdalih bantuan dari lembaga–lembaga “donor”internasional kepada lembaga negara Indonesia). Sistem kapitalis memberikan legitimasi dominasi ilmu dan teknologi demi tujuan dan kepentingan kelas-kelas tertentu. Dan yang patut dicatat pula bahwa ideologi diartikan sebagai kesadaran teknokratik (technocratic conciousness). Kalau ilmu dan teknologi telah menjadi sikap hidupnya, maka kerangka berfikirnya menjadi didominasi ilmu dan teknologi. Dengan demikian manusia itu telah diarahkan dan diatur oleh ilmu dan teknologi yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini sangatlah berlawanan dengan “janji pencerahan” yang akan


membawa manusia kepada kebahagiaan total. Seperti saat ini alam mulai dipermainkan, mendung ditembak laser, ayam dipaksa untuk bisa dikonsumsi pada usia enam (6)minggu. Selain itu yang paling spektakuler adalah dua Perang Dunia sebagai hasil yang paling
bertanggungjawab dari saintisme. Rasio manusia ternyata telah menunjukkan dirinya sebagai “mitos baru”. Mitos dimana IPTEK telah dijadikan alat kekuasaan politik, dan sebuah kemestian, berbeda berarti musuh. ( Anonim, 2003:22 ; Hardiman, 1994:1).

Iptek Sebagai Ideologi
      Teknologi dan ilmu sendiri menjadi ideologi. Demikian tesis Herbert Marcuse (Wartaya, 1987:308). Menurut Marcuse teknologi dan ilmu telah menjadi cara berfikir yang positif. Ini diartikan sebagai kesadaran teknokratik (technocratic conciousness). `Kesadaran teknokratik telah mendominasi kehidupan manusia sehingga manusia diarahkan dan ditentukan oleh dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu dan teknologi telah menjadi ideologi, karena telah melegitimasi masyarakat dan keadaannya.
      Pendapat Marcuse menjadi titik tolak pembahasan Habermas sebagai tanggapan. Hadirnya teknologi dan perkembangan ilmu yang cepat dalam masyarakat telah menimbulkan perubahan. Perubahan yang sangat mendasar terjadi dalam masyarakat adalah masalah kepribadian ( Arifin dalam Karim (ed), 1992:115). Perkembangan faktor teknik dewasa ini sudah besar untuk menggerakkan proses yang melumpuhkan faktor manusia dan memunculkan sistem “manusia mesin” (Josef, dalam Mangunwijaya (ed), 1983:74). Sedangkan unsur kepribadian terlalu lemah


      untuk menghadapi penetrasi itu, yang digambarkan dengan melemahnya peran manusia dalam keluarga dan pekerjaan. Sebagai ilustrasi, generasi muda sekarang adalah generasi muda yang dininabobokan oleh mesin (play station, video, game-game lainnya, makanan siap saji, dan lain sebagainya) sebagai manifestasi dari Iptek. Oleh karena itu, Russel dalam Arifin (1992: 116) menyatakan bahwa tanpa memperhatikan aspek kehidupan manusia, teknologi dan ilmu pengetahuan akan menghadirkan “tirani”. Tirani-tirani telah mendorong aspek gerak ilmu dan teknologi ke arah penyimpangan yang cukup mendasar, karena pengembangan ilmu dan teknologi tidak lagi dibangun atas kemampuannya yang didasarkan oleh kontemplasi (perenungan), melainkan melalui jalur manipulasi (simulakra) (lihat kasus Super Toy, motor dan mobil matic).

      Karena itu, sebagai sebuah kekuatan teknologi telah mengembangkan praktek palsu yang tidak lagi berorientasi pada pragmatisme, melainkan karena dorongan cinta kekuasaan. Dalam hal yang demikian, manusia modern sudah tidak lagi mengamati keterbatasan ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari perilaku dalam adopsi, penciptaan, dan pengembangannya telah merusak hakekat kehidupan, baik yang bersifat alami maupun yang bersifat sosial. Ketimpanganketimpangan ekonomi, politik, keamanan, sosial, serta moral telah menghadapkan manusia dengan masa depan yang tidak jelas. Tekanan-tekanan moral telah menyudutkan manusia dalam split personality dan frustasi, kegelisahan sosial, serta lahirnya krisis-krisis dalam pelbagai kehidupan
manusia. Dan menurut Habermas dalam Widyarsono (1991:103) sejak akhir abad ke-19 semakin kuat arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menandai kapitalisme lanjut, yakni pengilmuan teknologi dan hubungan timbal balik yang erat antara perkembangan teknologi dan kemajuan sains.


KONSEP KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN ISLAM



MAKALAH KONSEP KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Makalah ini diajukan  untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Disusun oleh :
M. ROMDHONI
NUR LAILY MAHMUDAH
Dosen Pengampu:
KADI M.Pd.I.

Jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2010












KONSEP KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A.    PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Setiap pendidik harus memahami perkembangan kurikulum, karena merupakan suatu formulasi pedagogis yang paling penting dalam konteks pendidikan, dalam kurikulum akan tergambar bagaimana usaha yang dilakukan membantu siswa dalam mengembangkan potensinya berupa fisik, intelektual, emosional, dan sosial keagamaan dan lain sebagainya.
Dengan memahami kurikulum, para pendidik dapat memilih dan menentukan tujuan pembelajaran, methode, tekhnik, media pengajaran, dan alat evaluasi pengajaran yang sesuai dan tepat. Untuk itu, dalam melakukan kajian terhadap keberhasilan sistem pendidikan ditentukan oleh semua pihak, sarana dan organisasi yang baik, intensitas pekerjaan yang realistis tinggi dan kurikulum yang tepat guna. Oleh karena itu, sudah sewajarnya para pendidik dan tenaga kependidikan bidang pendidikan Islam memahami kurikulum serta berusaha mengembangkannya.
B.     KONSEP KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Pengertian Kurikulum Dalam Pendidikan Islam
Kurikulum dalam pendidikan Islam, dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka.[1] Selain itu, kurikulum juga dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai pendidikan.[2]
M. Arifin memandang kurikulum sebagai seluruh bahan pelajaran yang harus disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan.[3]
S. Nasution menyatakan, ada beberapa penafsiran lain tentang kurikulum. Diantaranya: Pertama, kurikulum sebagai produk (hasil pengembangan kurikulum), Kedua, kurikulum sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari oleh siswa (sikap, keterampilan tertentu), dan Ketiga, kurikulum dipandang sebagai pengalaman siswa.[4]
Pengertian kurikulum dalam pandangan modern merupakan program pendidikan yang disediakan oleh sekolah yang tidak hanya sebatas bidang studi dan kegiatan belajarnya saja, akan tetapi meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan pribadi siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupannya yang pelaksanaannya tidak hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah.[5]
Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam.[6]
Ciri dan Dasar Kurikulum Pendidikan Islam
a)      Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan Islam
Ciri-ciri umum kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
  • Agama dan akhlak merupakan tujuan utama. Segala yang diajarkan dan di amalkan harus berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijtihad para ulama.
  • Mempertahankan pengembangan dan bimbingan terhadap semua aspek pribadi siswa dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan spiritual.
  • Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman serta kegiatan pengajaran.[7]
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa sebagai inti dari ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum yang dapat memotivasi siswa untuk berakhlak atau berbudi pekerti luhur, baik terhadap Tuhan, terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.
b)     Dasar-Dasar Kurikulum Pendidikan Islam
Dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam antara lain adalah :
  • Dasar Agama
Kurikulum diharapkan dapat menolong siswa untuk membina iman yang kuat, teguh terhadap ajaran agama, beraklak mulia dan melengkapinya dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
  • Dasar Falsafah
Pendidikan Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntutan Nabi SAW serta warisan para ulama.
  • Dasar Psikologis
Kurikulum tersebut harus sejalan dengan ciri perkembangan siswa, tahap kematangan dan semua segi perkembangannya.
  • Dasar Sosial
Kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan terhadap siswa, penyesuaian mereka dengan lingkungannya, pengetahuan dan kemahiran mereka dalam membina umat dan bangsanya.[8]
Prinsip Dasar Penyusunan Kurikulum Pendidikan Islam
Tentang prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar penyusunan kurikulum pendidikan Islam, diantaranya:
a)      Prinsip relevansi adalah adanya kesesuaian pendidikan dengan lingkungan hidup murid, relevansi dengan kehidupan masa sekarang dan akan datang, dan relevansi dengan tuntutan pekerjaan.
b)      Prinsip efektifitas adalah agar kurikulum dapat menunjang efektifitas guru yang mengajar dan peserta didik yang belajar.
c)      Prinsip efisiensi adalah agar kurikulum dapat mendayagunakan waktu, tenaga, dana, dan sumber lain secara cermat, tepat, memadai dan dapat memenuhi harapan.
d)     Prinsip kesinambungan adalah saling hubungan dan jalin menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan.
e)      Prinsip fleksibilitas artinya ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan di dalam bertindak yang meliputi fleksibilitas dalam memilih program pendidikan, mengembangkan program pengajaran, serta tahap-tahap pengembangan kurikulum.
f)       Prinsip integritas antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman, dan aktivitas yang terkandung di dalam kurikulum, begitu pula dengan pertautan antara kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid dan masyarakat.[9]
Pengembangan Kurikulum Dari Berbagai Aspek
a)      Aspek Materi
Diantara prinsip pengembangan kurikulum ada prinsip relevansi yang ahrus menjadi pertimbangan bagi penentuan suatu materi. Agar materi yang diberikan bermanfaat bagi kehidupan anak didik, hendaknya materi tersebut harus sesuai dengan tuntutan zaman, kesempurnaan jiwa anak didik tanpa melupakan esensi ajaran Islam itu sendiri.
b)     Aspek Tujuan
Dalam prinsip pengembangan kurikulum hal ini sangat berkaitan dengan prinsip efektifitas. Dengan semakin banyaknya tujuan yang harus dicapai, akan mendorong efektifitas proses yang akan dilaksanakan. Sebagai suatu rancangan, tentu ada rencana yang dapat tercapai. Dan sebaiknya tujuan yang akan dicapai harus jelas dan memang benar-benar sesuai dengan segala komponen yang berpengaruh terhadap pendidikan itu sendiri. Jangan sampai apa yang diajarkan dan proses pelaksanaannya sangat berbeda dengan tujuan yang diharapkan.
c)      Aspek Lembaga
Banyak orang beranggapan bahwa mengelola lembaga pendidikan agama tidak perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus. Karena out-put-nya kurang dapat diandalkan untuk berkompetensi dalam masyarakat jika dibanding out-put lembaga pendidikan lain. Secara administratif, lembaga pendidikan Islam yang benar-benar menerapkan manajemen pendidikan dengan baik sangat jarang sekali. Salah satu hal yang sangat berkaitan dengan lembaga pendidikan adalah lingkungan pendidikan yang menjadi salah satu sarana seorang anak dapat memperoleh pendidikan dengan baik.[10]
C. KESIMPULAN
Dari tahun ke tahun kurikulum akan terus berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan pemikiran manusia. Namun bagaimana cara mengatasi perubahan tersebut, hal ini sangat tergantung kepada kecermatan pengembang kurikulum itu sendiri. Satu hal yang harus dan mesti diperhatikan adalah bagaimana lembaga pendidikan Islam dapat mengantisipasi masalah ini, tanpa melupakan esensi ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri.
REFERENSI

A-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, (Terj.Hassan Langgulung), (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Daradjat, Zakiyah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet.ke-3
Arifin, HM, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)
Nasution, S., Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara,1994), Cet.I
Ramayulis, H., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), Cet. Ke-5
Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet I
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1983)


[1] Omar Mohammad Al-Toumy A-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Terj.Hassan Langgulung), (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 478.
[2] Zakiyah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet.ke-3, 122.
[3] HM, Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 183.
[4] S.Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara,1994), Cet.I, 5-9.
[5] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), Cet. Ke-5, 152.
[6] Ibid.
[7] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet I, 33.
[8] Ibid, 34-35.
[9] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1983), 116-118.
[10] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam……35

Translate

Jalanku Untuk-MU