TRANSLATE THIS BLOG

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 23 Desember 2012

PERBEDAAN TENTANG WAKTU MELEMPAR JUMRAH WAKU MELEMPAR JUMRAH

melempar jumroh

PERBEDAAN TENTANG WAKTU MELEMPAR JUMRAH WAKU MELEMPAR JUMRAH

A. Asal Usul Disyariatkannya
            Diriwayatkan dari salim bin abi ja’ad yang diterimanya dari ibbnu ‘abbas oleh baihaki bahwa nabi saw bersabda : “tatkala Ibrahim As sedang melakukan upacara haji, setan di jumratul’aqabah, maka dilemparnya dengan tujuh buah batu, huingga setan itu rubuh ketanah.
Kemudian muncul lagi didepannya di jumrah ke dua, maka dilemparnya dengan tujuh buah batu-batu kecil hingga setan itu rubuh pula ke tanah.
Setelah itu datang lagi di jumrah ke tiga maka di lemparnya juga dengan tujuh batu hingga ia rubuh ketanah.
- Kata ibnu abbas ra,: Setan itu kamu lempari, dan agama nenek moyang mu kamu turuti.

B. Hikmahnya
            Berkata abdul hamid al-ghazali rahimahullah dalam buku al-ihya’ sebagai berikut: mengenai melempar jumrah hendaklah di niatkan oleh si pelempar tunduk kepada perintah dan menyatakan pengabdian dan penghambaan diri, didorong oleh semata-mata ketundukan dan kepatuhan, tanpa memberikan lowongan bagi pengaruh cita ataupun rasa.
Kenudian hendaklah di maksudkannya pula buat mengikuti jejeak langkah ibrahim sewaktu dihadang oleh iblis ditempat itu untuk merusak ibadah hajinya atau menggodanya agar melakukan ma’siat, lalu ia di titah oleh Allah swt, agar melemparnya dengan batu untuk mengusirnya dan mematahkan harapannya.



C. Hukumnya
            Jumhur ulama bependapat bahwa melempar jumraoh itu hukumnya wajib dan ia merupakan rukun, dan bahwa meninggalkannya dapat diganti engan menyembelih hewan. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ahmad muslim dan nasai dari jabir ra, yang katanya :
رءيت النبى صلى الله عليه و سلم يرمى الجمرة على راحلته يوم النحر, ويقول: لتآخذ واعنى منا سككم فآنىذ

 لاآدرى لعلى لاأحج بعد حجتى هذه

“saya melihat nabi saw. Melempar jumrah dari kendaraannya pada hari nahar, lalu sabdanya; “hendaklah kamu mencontoh upacara-upacara haji mu dari padaku, karena aku tidak tahu apakah aku masih akan naik haji lagi setelah haji ini”
            Dan diterima dari abdurrahman taimi, katanya  :

“kami di titah oleh rasulullah saw, buat melempari jumrah diwaktu haji wada’ dengan batu-batu kecil sebesar kacang

D. Besar Krikil Dan Jenisnya
            Krikil yang digunakan cukup sebesar biji kacang. Karena itu para ahli berpendapat bahwa itu adalah sunah. Seandainya seseorang melampauinya cukup menghukumi makruh.
Tetapi menurut ahmad tidak sah, sampai ia menggantinya dengan batu-batu krikil, berdasarkan perbuatan nabi saw., juga larangannya terhadap demikian. Diterima dari sulaiman bin ‘amr bin ahwsah Azdi yang diterimanya dari ibunya yang mengatakan : “saya dengar rasulullah saw. Ketika itu ia sedang berada di dasar lembah-bersabda: “ hai manusia! Janganlah kamu berbunuh-bunuhan! Maka jika kamu melempar jumroh, gunakanlah batu-batu krikil”.
            Dalam hal ini golongan hanafi berbeda pendapat. Menurut mereka boleh dengan apa juga termasuk jenis tanah, baik berupa batu, tanah, tembikar, batu bata dan lain. Karena hadits-hadits yang di terima mengenai melempar adalah  mutlak tanpa kaitan.  Mengenai perbuatan rasulullah saw, dan para sahabat hanya menunjukan bukan keutamaan, bukan pembatasan.

E. Dimana Diperoleh Krikil
            Ibnu ‘umar iasa mengambil batu-batu krikil itu di mizdalifah, halitu juga di lakukan oleh sa’id bin jubeir,: “orang-orang mengambil bekal krikil itu di sana”. Dan imam syafi’i memandangnya itu sunah.
            Boleh juga melelmpar dengan krikil-krikil bekas, yakni yang dipungut dari keliling jumrah. Tetapi bagi golongan hanafi, juga bagi ssyafi’i dan ahmad, hukumnya makruh.

F. Syarat-Syarat Melempar Jumrah
1.      Melontar dengan tangan jika mampu, dan perbuatannya harus yang bernama melontar (bukan meletakkan dan lain sebagainya).
2.      Yang dilontarkan harus batu dan sebangsanya (batu, yaqut, akik dll).
3.      Yang dituju dengan pelontaran tersebut adalah lobang tempat batu-batu kerikil, bukan tugu yang berada di tengahnya dan bukan dinding di kanan kirinya.
4.      Batu kerikil yang dilemparkan harus jatuh kedalam lobang Jumrah yang dilempari tersebut dengan yakin.
5.      Melontar Jumrah 7 kali dengan yakin, walaupun hanya dengan satu batu yang digunakan berulang kali. Andaikata dengan 7 batu yang dilontarkan sekaligus maka pelontaran tersebut dihitung satu kali.
6.      Pelontaran Jumrah pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13) harus tertib, yakni mendahulukan Jumrah Ula kemudian Jumrah Wustha dan yang terakhir Jumrah Aqobah.
7.      Pelontaran Jumrah tidak didorong oleh niatan yang lain yang bukan ibadat Haji.
8.      Harus masuk waktu pelontaran Jumrah tersebut. Tidak sah dilakukan diluar waktunya.
G. Sunnat-Sunnat Melontar Jumrah
Diantaranya :
1.      Dengan tangan kanan.
2.      Kerikilnya kira-kira sebesar kacang tanah atau lebihkecil dari ujung jari.
3.      Kerikilnya dicuci.
4.      Setiap lontaran disertai dengan bacaan takbir.
5.      Menghadap kiblat waktu melontar Jumrah pada hari-hari Tasyriq.
6.      Berdo’a kepada Allah dengan menghadap kiblat sesudah melontar Jumrah Ula dan Wustha.
7.      Muwalat / berturut-turut anatara lontaran-lontaran setiap Jumrah.


H. Waktu Melempar Jumroh  Menurut Para Ulama’ Fiqh
            Para ulama berbedapendapat tentang orang yang melontar jumroh aqabah sebelim terbitnya fajar:

1. malik menilai tidak sampai berita kepada kami bahwa rasulullah saw memberi rukhsah (keringanan) pada seorang pun untuk melontar jumrah aqabah sebelum terbit fajar.
Jadi hal itu tudak boleh dilakukan. Apa bila ia melontarnya sebelum terbit fajar maka dia wajib mengulang kembali lontarannya.
Inilah pendapat abuhanifah, sufyan dan ahmad.
2. syafi’i berpendapat: tidak mengapa dia melakukannya. Meski syafi’i menganjurkan agar melntar setelah terbit fajar.
hujjah mereka yang tidak membolehkannya adalah perbuatan nabi saw di samping sabda beliau:
خدوا عنى منا سككم

“ambilah dari ku cara ibadah haji kalian”

Dan hadis yang diriwayatkan dari ibnu abbas ra. Bahwa rasulullah saw mendahulukan orang-orang lemah dari keluarga beliau seraya bersabda:

لاترموا الجمرة حتى تطلع الشمس

“janganlah kalian melontar jumrah sampai matahari terbit”.

            Sedangkan dasar pegangan kalangan ulama yang membolehkan melontar jumrah sebelum fajar adalah hadis ummu salamah ra yang diriwayatkan oleh abu daud dan perawi lainnya yaitu bahwa aisah ra berkata : rasulullah sawmenjmput ummu salamah pada hari penyembelihan hewan kurban, lalu ia melontar jumrah sebelum fajar. Setelah itu dia berlalu dan mengerjakan tawaf ifadoh. Hari itu adalah giliran beliau rasulullah saw untuk bersamanya.
            Para ulama telah bersepakat bahwa waktu yang di anjurkan untuk menlontar jumrah aqabah adalah setelah matahari terbit sampai tergelincirnya matahari. Dan jika seseorang maka lontarannya sebelum matahari terbenam maka lontarannya di anggap sah dan ia tidak menanggung apapun. Malik menganjurka untuk menyambelih hewan kurban.
            Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang melintar jumrah aqabah sat matahari telah terbenam dan telah massu kemalam hari atau hari berikutnya.
1. malik berpendapat dia wajib membayar denda (Hewan)
2. abu khanifah menilai jika dia melontarnya pada malam hari, dia tidak terkena kewajiban apa pun. Namun jika ia mengakhirkannya hingga esok hari, maka ia wajib membayar denda.
3. sedangkan abu yusuf, muhammad, dan syafi’i berpendapat jika ia mengakhirkannya hingga malam hari atau hari berikutnya, dia tidak terkena kewajiban apapun.
Hujjah mereka (madzhab ke3) adalah sebuah hadis bahwa rasulullah saw memberu rukhsah kepada para pengambala unta untuk melakukan hal tersebut. (maksudnya, eliau membari mereka rukhsah untuk melempar pada malam hari)
Ada seseorang yang bertanya kepada rasulullah saw, “wahai aku melontar jumrah pada malam hari”. Beliau menjawab, “tidak mengapa”

            Hukum melempar Jumroh adalah wajib dan bila ditinggalkan, maka ia harus membayar Dam

            Melempar Jumroh Aqobah pada tgl 10 Dzul Hijjah Afdholnya dilaksanakan sebelum mengerjakan amalan yang lain sesampainya ke Muna dari Muzdalifah, karena amalan tsb sebagaimana thawafnya orang yang masuk Masjil Haram Makkah adalah Tahiyyatal Masjid;
Melempar Jumroh Aqobah tgl 10, adalah Tahiyyatal Muna.

            Melempat Jumroh Aqobah “ Afdolnya “ setelah terbit Matahari hingga tengah hari (Zawal) menurut pendapat Ulama’ Jumhor, sedangkan hukum jawaz (bolehnya) memulai melempar Jumroh Aqobah pada tgl. 10 (hari Nahr) berbagai pendapat :

1. Menurut Imam Syafi’i
Masuknya waktu melempar jumroh Aqobah adalah tengah malam akhir pada malam Idul Adha, sampai akhir hari Tasyriq (tgl 13 Dzul Hijjah) ketika terbenamnya Matahari, hal itu dibolehkan; Dan Apabila sampai batas waktu tersebut tidak melempar Jumroh, maka ia harus membayar Dam.

2. Menurut Imam Hanafi
Masuknya waktu melempar Jumroh Aqobah adalah terbitnya Fajar hingga  terbenam-nya Matahari pada hari Nahr dan boleh melempar pada malamnya hingga fajar hari berikutnya, akan tetapi hukumnya Makruh, dan tidak membayar Dam. Dan apabila di akhirkan hingga terbenam Matahari pada akhir hari Tasyriq, maka boleh, akan tetapi ia harus membayar Dam. (dan tidak dikatakan qodlo’)


3. Menurut Imam Maliki
            Masuknya waktu melempar Jumroh Aqobah adalah terbitnya Fajar hingga terbenam-nya Matahari pada hari Nahr dan itu dikatakan Ada’. Adapun setelah terbitnya Matahari hingga akhir Hari Tasyriq maka dikatakan Qodlo’ dan ia harus membayar Dan dengan Qodho’

4. Menurut Imam Ahmad bin Hambal
            Masuknya waktu melempar jumroh Aqobah adalah tengah malam pada malam Idul Adha, sampai akhir hari Tasyriq (tgl 13 Dzul Hijjah) ketika terbenamnya Matahari, dan tidak sah dilakukan pada malam hari di hari-hari Tasyriq, dan jika di akhirkan melemparnya pada ahir hari Tasyriq, maka tidak boleh melempar kecuali setelah Zawal. Dan tidak membayar Dam.

            Adapun berhentinya membaca talbiyahnya orang yang berhaji, menurut  Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan para Ulama’ Jumhur adalah ketika awal melempar Jumroh Aqobah (lemparan kerikil yang pertama).
Waktu melempar Jumroh pada hari-hari Tasyriq dan hukumnya Hukumnya : wajib dan meninggalkannya herus membayar Dam
Waktunya  :
            Tidaklah sah melempar Jumroh kecuali setelah Zawal (Matahari di tengah-tengah / siang hari), ini pendapat Ulama’ Jumhur dan Imam 4. sebagaimana hadits Jabir :
yang artinya  “ Bahwa Rasulullah s.a.w melempar Jumroh pada hari pertama dhuha (pagi hari setelah terbit Matahari), kemudian beliau tidak melempar lagi setelah itu kecuali setelah turunnya Matahari (setelah Zawal)” HR. Muslim.
Dan dari Ibn Umar berkata “ Kami menanti saat baik, tiba2 Matahari telah turun, maka kami melempar ( Jumroh ) HR. Bukhori
Akhir waktu melempar Jumroh yaitu tgl 13 Dzul Hijjah, ketika terbenam Matahari, menurut pendapat Ulama’ Jumhur, Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i Dan apabila diakhirkan hingga malam hari sebelum Fajar, maka tidaklah membayar Dan, menurut Abu Hanifah.
CATATAN :
1. Sesudah melontar Jumrah Aqobah tersebut, orang Haji disunnatkan menyembelih qurban atau hewan hadyu. Waktu penyembelihan di mulai ketika terbit matahari pada hari raya Adha dan sesudah kira-kira shalat Id dengan kedua khutbahnya dilakukan, dan berakhir dengan masuknya waktu Maghrib tanggal 13 (yakni berakhirnya hari Tasyriq).
2 a. Melontar Jumrah Aqobah saja itu, awal waktunya ialah malam 10 sesudah pertengahan malam dan penghabisannya tanggal 13 sebelum Maghrib.
 b. Melontar Jumrah Ula-Wustha-Aqobah tanggal 11, awal waktunya ketika masuk waktu Dzuhur tanggal tersebut dan penghabisannya tanggal 13 sebelum Maghrib.
 c. Melontar Jumrah Ula-Wustha-Aqobah tanggal 12, awal waktunya ketika masuk waktu Dzuhur tanggal tersebut dan penghabisannya tanggal 13 sebelum Maghrib.
 d. Melontar Jumrah Ula-Wustha-Aqobah tanggal 11, awal waktunya ketika masuk waktu Dzuhur dan penghabisannya tanggal 13 sebelum Maghrib.
 e. Jadi andai kata orang Haji hendak melakukan semua pelontaran tersebut dijadikan satu waktunya pada tanggal  13 sebelum Maghrib adalah sah dan termasuk ada’ (bukan qodho’) asal tertib. Yaitu : Milik Jumrah Aqobah tanggal 10 didahulukan, kemudian milik tanggal 11 Ula-Wustha-Aqobah, kemudian milik tanggal 12 Ula-Wustha-Aqobah, kemudian milik tanggal 13 Ula-Wustha-Aqobah. Kalau  dibalik tidak sah.









BABA III
KESIMPULAN

            Dalam hidup ini perbedaan sudah pasti ada, namun perlu di ketahui bahwa perbedaan itu adalah rahmat dari allh swt, yang harus kita jaga, apa lagi perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama, yang sudah pasti mereka(4 madzhab) bukan lah sosok yang biasa tetapi mereka adalah sosok yang luar biasa dalam bidang lmu agama, jadi pada intinya hargai lah sesama ulama dikala mereka berbeda pandangan tentang masalah furu’.






















DAFTAR PUSTAKA

Abu Al Majd Ahmad, Bidayatul Mujtahid (Ibnu Rusyd), Jakarta Pustaka Azzam , 2006. Jilid 1
Syaf Mahyudin, Terjemeh Fikkih Sunnah (Sayyid Sabiq), Bandung , Alma ‘Arif, 1993. Jilid 5
Dr Abdullah Kamil Umar, Tabel Empat Madzhab, Solo Media Dzikir 2010, cet 1
Abdul Azis Dahlan, (Ed.) 2006. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiyar Baru van Hoeve.

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

Jalanku Untuk-MU