TRANSLATE THIS BLOG

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 23 Desember 2012

Dinasti-Dinasti dalam Perkembangan Islam

dinasti islam

DINASTI-DINASTI dalam perkembangan islam



A.    Dinasti Aghlabiyah (800 – 900 M)[1]

Dinasti Aghlabiyah ini didirikan di Aljazariyah dan Sisilia oleh Ibrahim bin Aghlab, seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemampuan ilmu administrasinya, ia mampu mengatur roda pemerintahannya dengan baik. Secara periodik, dinasti Aghlabiyah ini dikuasi oleh beberapa penguasanya, yaitu :

1.      Ibrahim bin Aghlab 800-811 M.

2.      Abdullah I 811-816 M.

3.      Ziyadatullah bin Ibrahim 816-837 M.

4.      Abu Iqal bin Ibrahim 838-841 M.

5.      Abu Al-Abbas Muhammad 841-856 M.

6.      Abu Ibrahim Ahmad 856-863 M.

7.      Ziyadatullah II bin Ahmad 863-864 M.

8.      Abu Al-Ghranik Muhammad II bin Ahmad 864-874 M.

9.      Ibrahim II bin Ahmad 874-902 M.

10.  Abu Al-Abbas Abdullah II 902-903 M.

11.  Abu Mudhar Ziyadatullah III 903-909 M.

Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Di bawah pimpinan Ziyadatullah I, suatu armada bajak laut dikerahkan untuk menggoyangkan pesisir Italia, Perancis, Cosica, dan Sardina. Kemudian, pada tahun 827 M., Ziyadatullah mengirim sebuah ekspedisi untuk merebut Sisilia dari Bizantium dan berhasil dikuasai pada tahun 902 M. Sisilia yang berada di pulau lat tengah terebut, dijadikan pangkalan untuk penyerangan daratan-daratan Eropa yang kristen. Kontribusi terpenting dalam ekspedisi tersebut adalah menyebarnya peradaban Islam hingga ke Eropa. Bahkan, Renaisans di Italia terjadi karena  transmisi ilmu pengetahuan melalui pulau ini.

Dinasti ini juga terkenal dengan prestasinya di bidang arsitektur, terutama dalam pembangunan masjid. Pada masa Ziyadatullah yang kemudian disempurnakan oleh Ibrahim II, berdiri dengan megahnya masjid yang besar, yaitu masjid Qairawan. Menara masjidnya merupakan warisan dari bentuk bangunan Umayah merupakan bangunan tertua di Afrika. Oleh karena itulah, Qairawan menjadi kota suci keempat setelah Mekah, Madinah, dan Yerussalem. Masjid tersebut sebagai masjid terindah dalam Islam karena ditata sedemikian indah. Selain itu, dibangun pula sebuat masjid di Tunisia, pada masa kekuasaan Ahmad, serta dibuat pula suatu peralatan pertanian dan irigasi untuk daerah Ifrikiyah yang kurang subur.

Pada akhir abad ke-9, posisi Dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah mengalami kemunduran, dengan masuknya propaganda Syi’ah yang dilancarkan oleh Abdullah al-Syi’ah atas isyarat Ubaidilah al-Mahdi telah menanamkan pengaruh yang kuat di kalangan orang-orang Barbar suku Ketama. Kesenjangan sosial antarpenguasa Aghlab di satu pihak dan orang-orang Barbar di pihak lain, telah menambah kuatnya pengaruh itu dan pada akhirnya membuahkan kekuatan militer. Sejak itu pula, Ifrikiyah dikuasai orang-orang Syi’ah yang pada masa selanjutnya membentuk dinasti Fatimah. Salah satu faktor mundurnya Aghlabiyah ialah hilangnya hakikat kedaulatan dan ikatan-ikatan solidaritas sosial semakin luntur. Kedaulatan pada hakikatnya hanya dimiliki oleh mereka yang sanggup menguasai rakyat, sanggup memungut iuran negara, mengirimkan angkatan bersenjata, melindungi perbatasan dan tak seorang penguasa pun berada di atasnya.

Dengan semakin berkurangnya pengaruh Aghlabiyah terhadap masyarakat, dikarenakan adanya kesenjangan sosial, berakhirlah riwayat dinasti Aghlabiyah.

B.     Dinasti Fathimiyah (909 – 1171 M)

Dinasti Fathimiyah didirikan oleh Said bin Husain alias Ubaidillah al-Mahdi pada tahun 909 M. oleh karena itu Dinasti ini juga disebut Dinati Ubaidiyah. Dinasti Fathimiyah berdiri di Tunisia, sebelum akhirnya pindah ke Mesir pada 969 M. Dinamakan Fathimiyah karena dikaitkan dengan Fatimah binti Muhammad saw., istri Ali bin Abi Thalib. Ubaidillah mengklaim dirinya sebagai keturunan Ali dan Fatimah melalui Ismail bin Ja’far as-Sidiq. Dinasti Fathimiyah bermazhab syiah. Dinasti ini berkuasa tahun 297 – 567 H / 909 – 1171 M.[2]

Ubaidillah al-Mahdi berpindah dari Suriah de Afrika Utara karena propaganda Syi’ah di daerah ini mendapat sambutan baik. Terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku Barber Ketama, Ubidillah al-Mahdi menumbangkan gubernur Aglabiah di Afrika, Rustamiyah Kharij di Tahart. Dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.[3] Dinasti Fathimiyah berdiri di atas puing-puing dinasti Agh-labiyah dipinggiran kota Qairawan. Dengan alasan keagamaan dan politik, dinasti ini bergerak ke timur menuju wilayah-wilayah Abbasyyiah, dan pada tahun 969M. menguasai Mesir. Dari sana Dinasti ini memperluas kekuasaaanya ke Arabia Barat dan Suriah Dinasti Fathimiyah bukan hanya kekelompol imam, melainkan penguasa sebuah Negara besar yang berpusat di lembah Nil.[4]

Setelah wafat pada tahun 934 M, al-Mahdi. digantikan oleh putranya, Abu al-Qasim dengan gelar al-Qaim (323-335 H/934-949 M). Al-Qaim berhasil menguasai Genoa dan Calabaria; dan beliau wafat ketika berusaha menaklukkan Mesir yang dipimpinoleh Abu Yazid Makad (Khawarij); dan beliau digantikan oleh putranya, al-Manshur (341-341 H). Al-Manshur berhasil mengalahkan pasukan Abu Tamim Ma’ad (341-352 H/956-975 M) dengan gelar al-Mu’iz. Al-Mu’iz berhasil menaklukan Maroko, Sisilia, Mesir hingga Fusthat (Kairo lama) yang dikuasai Ikhsidi (tahun 969 M), Palestina, Suriah, dan Hijaz. Setelah meninggal, al-Mu’iz diganti oleh putranya, al-Aziz (365 H/975 M). pada masa al-Aziz, Fathimiyah mengalami puncak kemajuan.[5]

Panglima terbesar Dinasti Fathimiyyah adalah Jauhar ash-Shiqili (orang Sisilia).ia mendirikankota al-Qahirah yang berarti kota kemenangan. Nama lain kota ini adalah Kairo. Kairo adalah ciptaan mereka, sebuah kota imperium yang dibangun di barat Fushtat dan menjadi simbol kekuasaan dan kemerdekaan. Kota ini adalah pusat kekuasaan Dinasti Fathimiyyah pindah pada tahun 972 M. Pemerintahan Dinasti ini mengikuti garis yang diletakkan oleh Khilafah Baghdad. Kekuasaan terpusat di tangan khilafah dan dinyatakan melallui upacara yang megah.[6]

1.      Kemajuan Pemerintahan

Pengelolaan negara yang dilakukan dinasti Fathimiyah dengan mengangkat para menteri. Dinasti Fathimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok; pertama, kelompok militer yang terdiri atas tiga jabatan pokok: (1) Pejabat tinggi militer danpengawal khalifath, (2) petugas keamanan, dan (3) resimen-resimen; dan kedua, kelompok sipil yang terdri atas: (1) qadhi (hakim dan direktur percetakan uang),(2) ketua dakwah yang  memimpin pengkajian, (3) inspektur pasar (pengawsan pasar  jalan, timbangan, dan takaran), (4) bendaharawan Negara, (5) Kepala urusan rumah tangga raja, (6) petugas pembaca Alquran, dan (7) sekreterais berbagai departeman. Selain pejabat pusat, di setiap daerah terdapat pejabat setingkat gubernur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi pemerintahan dikelola oleh pejabat setempat.[7]

Basis kekuatan Fathimiyah adalah pendapatan yang diperoleh dari tanah-tanah subur di Delta dan lembah Nil, hasil kerajinan kota-kota dan perdagangan di wilayah Mediterania serta laut merah. Ini cukup memadai guna memperkuat tentara yang direkrut dari luar Mesir,pasukan Barber, pasukan berkulit hitam dari Sudan, serta orang-orang Turki.[8]

2.      Penyebaran Faham Syi’ah

Ketika al-Mu’iz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Sedangkan al-Mu’iz menganut faham Syi’ah. Olih karena itu, al-Mu’iz mengayomi dua menyataan ini dengan mengangkat hakim darikalangan Suni dan hakim dari kalangan Syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama Syi’ah;dan Suni hanya menduduki jabatan-jabatan yang rendahan. Pada tahun 379 M, semua jabatan di berbaagai bidang politik, agama, dan militer dipegang oleh Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fathimiyah yang Suni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya meningkat.

Di sisi lain, al-Mu’iz membangun toleransi beragama sehingga pemeluk agama lain, seperti Kristen, diperlakukan dengan baik dan di antara mereka diangkat menjadi pejabat istana.[9]



3.      Perkembangan ilmu pengetahuan

Dinasti Fathimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuandebelumnya, masjid al-Azhar dibangun oleh Jauhar untuk tempat beribadah pada tahun 972M. Tapi masjid ini kemudian dikembangkan menjadi universitas oleh Khalifah Abu Mansur Nizar al-Aziz (975-996). Universitas al-Azhar, salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama Suni.

Al-Hakim berhasil mendirikan Dar al-Hikmah, perguruan (akademi) Islam yang sejajar dengan lembaga pendidikan  di Kordova dan Bagdad. Perpustakaan Dar al-Ulum digabungkan dengan Dar al-Hikmah yang berisi berbagi buku ilmu pengetahuan sehingga melahirkan sejumlah ulama. Pada masa ini muncul sejumlah ulama sebagai berikut:

a.       Muhammad al-Tamimi (ahli fisika dan kedokteran)

b.      Al-Kindi (ahli sejarah dan filsafat)

c.       Al-Nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)

d.      Ali Ibn Yunus (ahli astronomi)

e.       Ali al-Hasan Ibn al-Khaitami (ahli fisika dan optik).[10]



4.      Kemunduran dan Akhir Dinasti Fathimiyah

Setelah meninggal, al-aziz diganti oleh al-Hakim yang banyak melakukan kerusalkan: membunuh sejumlah menteri, merusak gereja suci (Holly Spukchre) di Palestina pada tahun 1009 M, yang menjadi salah satu pemicu parang salib, dan ia mengaku sebagai inkarnasi Tuhan dan akhirnya ia mati dibunuh atas lonspirasi Sitt al-Mulk dengan Muwattam. Setelah meninggal, al0Hakim diganti oleh putranya, Abu Hasan Ali al-zhahir (1021-1035 M), dan ia meninggal karena sakut (1035M). penggantinya adalah Abu Tamim Ma’ad al-Muntansir (ketika berusia 7 tahun). Pasa saat yang bersamaan, Paletina berontak, Saljuk berhasil menguasai Asia Barat, propinsi-propinsi si Afrika menolak membayar pajak dan menyatakan lepas dari Fathimiyah atas dukungan dinasti bani Abbas, Tripoli dan Tunisia dikuasai oleh suku Hilal dan Sulaim (1052M), dan Sicilia dikuasai oleh bangsa Normandia (1071 M).[11]

Keadaan Fathimiyah diperparah lagi oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang sehingga suangai Nil kering, menjadi sebab peranga saudara. Setelah meninggal, Abu Tamim Ma’ad al-Muntansir diganti oleh anaknya, al-Musta’ii. Akan tetapi, Nizar anak Abu Tamum Ma’ad al-Muntansir yang tetua melarikan diri ke Iskandariyah dan menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh karena itu, Fathimiyah terpecah menjadi dua: Nizari dan Musta’ii. Pada masa al-Mustali, pasukan salib melakukan serangan sehingga menguasai Antokia hingga bait al-Maqdis. Setelah wafat, al-Musta’li diganti oleh al-Amir (ketika berusia 5 tahun). Al-Amir meninggal karena dibunuh oleh kelompok Bathiniyah dan diganti oleh al-Hafizh; dan setelah meninggal dunia, al-Hafizh diganti oleh al-Zafir.[12]

Karena tentara salib begitu tangguh, al-Zafir memina bantuan kepada Nuruddin al-Zanki (gubernur Suriyah di bawah khalifah Abasiah, Bagdad). Nuruddin al-zanki mengirim pasukan di bawah pimpinan syirkuh dan Ssalahudin al-Ayubi. Setelah berhasil mengalahkan pasukan salib, pasukan Nuruddin al-Zanki kembali ke Suriyah. Akan tetapi, sepeninggal pasukan tersebut terdapat konflik internal. Yaitu Syawar mengundang tentara salib ke Mesir karena ia ingin memperoleh jabatan wazir. Akhirnya, pasukan Nuruddin al-zanki yang dipimpin oleh Syirkuh datang kembali ke Mesir. Syawar ditangkap dan kepalanya dipenggal atas perintah dinasti Fathimiyah. Syirkuh akhirnya diangkat menjadi wazir oleh Fathimiyah (564 H); tiga bulan kemudian, Syirkuh wafat, dan diganti oleh kemenakannya, Salahuddin al-Ayubi. Pada tanggal 10 Muharram 567 H/ 1171 M, khalifah al-Adid (Fathimiyah) wafat dan kekuasaanya berpindah ke tangan Salahudin al-Ayubi.[13]





C.    Dinasti Ayubiyah (1171 – 1260 M)

Bani Ayubiyah merupakan keturunan Ayyub, seorang keturunan suku Kurdi dari Azerbaijan. Nama Ayubiyah dikaitkan dengan nama ayah Salahuddin, Ayyub bin Syadzi. Dinasti ayubiyah berdiri di atas puing-puing dinasti Farimiah Syi’ah di Mesir. Setelah meninggal, Syirkuh diganti oleh Salahuddun al-Ayubi. Kematian khalifah al-Adid dari Fathimiyah pada tahun 567 H/ 1171 M., adalah tanda berakhirnya dinasti Fathimiyah; dan kekuasaan diambil oleh Salahuddin al-Ayubi. Sebenarnya, dinasti ini berbentuk persatuan (konfederasi) beberapa dinasti yang tunduk kepada satu dinasti yang dipimpin oleh kepala keluarga. Taap-tiap dinasti diperintah oleh seorang anggota keluarga Ayubiyah. [14]  Salahudin al-Ayubi diakui sebagai khalifah Mesir oleh al-Mahdi, dinasti Bani Abbas pada tahun 1175 M. kemudian al-Ayubi berhasil menguasai Aleppo dan Mosul. Untuk mengantisipasi pemberontakan dari pengikut Fathimiyah dan serangan dari tentara salib, al-Ayubi membangun benteng bukit di Mukattam. Tempat ini menjadi pusat pemerintahan dan militer.[15] Ambisi terbesarnya Salahudin al-Ayubi adalah mengganti paham Syi’ah di Mesir dengan paham Sunni dan mengusir tentara salib. Diantara Usaha-usaha yang dilakukan Salahudin al-Ayubi dalam masa pemerintahannya adalah sebagai berikut: mengembalikan mazhab Sunni di Mesir, membangun madrasah-madrasah, mengganti kadi-kadi Syi’ah dengan kadi-kadi Sunni, dan mengganti pegawai-pegawai yang korupsi.[16]



1.      Perang Salib Dan Konflik Internal[17]

Sebagian waktu al-Ayubi dihabiskan untuk menghalau tentara salib pada zamannya, pasukan salib dipimpin oleh tiga raja” Frederick Bar Barossa. Philip II (Perancis), dan Richard I  (Inggris). Perang antara militer al-Ayubi dengan pasukan salib berlangsung hingga tahun 1192 M yang diakhiri dengan Perjanjian Ramalah. Isi perjanjian tersebut adalah:

a.       Jerusslem tetap berada di tangan umat Islam; dan umat Kristen diizinkan untuk menziarahinya.

b.      Tentara salib akan memertahankan pantai Syiria dari Tyre sampai ke Jaffa.

c.       Umat Islam akan mengembalikan relik Kristen kepada orang Kristen.

Pada tahun 1199M, al-Ayubi meninggal dunia di Damaskus. Ia digantikan oleh saudaranya, sultan al-‘Adil. Pada tahun 1218M, al-‘Adil meninggal setelah kalah perang melawan pasukan salib dan kota Dimyath jatuh ke tangan tentara salib. Setelah meninggal, al-‘Adil diganti oleh al-Kamil.

Al-Kamil melanjutkan  perang melawan tentara salib. Akan tetapi, antara al-Kamil dengan saudaranya al-Mulk al-Mu’azham (gubernur Damaskus) terjadi konflik. Al-Kamil merasa bahwa al-Mu’azham akan menyingkirkannya. Oleh karena itu, al-Kamil mengirim duta kepada Frederick Barbarossa dengan menawarkan kerjasama dan Jerussalem dijadikan seagai imbalan atas bantuan Frederik. Pada tahun 1229 M, dibentuk perjanjian antara al-Kamil dengan Frederik yang isinya sebagai berikut:

a.       Jerusalem dengan Bethlehem, Nazaret, dan rute haji ke Jafffa dan Acre akan menjadi kekuasaan absolut kaisar;dengan pengecualian bahwa area masjid Umar di Jerusalem tetap menjadi milik terbatas bagi umat Islam.

b.      Tawanan-tawanan Islam di bebaskan

c.       Kaisar harus melindungi sultan dari serangan-serangan musuh

d.      Perjanjian ini berlaku selama dua tahun

Setelah meninggal, al-Kamil diganti oleh putranya, Abu Bakar dengan gelar al-‘Adil II (berlangsung sekitar 3 tahun). Kepemimpinan Abu Bakar ditolak oleh saudaranya, al-Malik al-Shalih Najm al-Din Ayyub. Budak-budak Abu Bakar bersekongkol dengan al-Malik al-Shalih Najm al-Din Ayyub (1240-1249 M) sebagai sultan.

Selama al-Malik al-Shalihmenjadi pemimpin, pamannya, Isma’il ekerjasama dengan pipinan pasukan salib, Franks mengepung Damaskus. Al-Malik al-Shalih dapat mematahkan konspirasi tersebut dan mengalahkan pasukan Franks di dekat Gaza.



2.      Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Salahuddin al-Ayubi berhasil mendirikan tiga buah madrasah di Kairo dan Iskandariyahd untuk mengembankan madzhab suni. Al-Kamil mendirikan Sekolah Tinggi al-Kamiliyah yang sejajar dengan perguruan tinggi lainnya. Ibn Khalikan menggambarkan bahwa al-Kamil adalah pencinta ilmu pengetahuan, pelindung para ilmuwan, dan seorang muslim yang bijaksana.[18]



3.      Kemunduran dan Akhir Ayyubiyah

Untuk mempertahankan kekuasaan, al-Malik al-Shalih mendatangkan budak-budak dari Turki dalam jumlah besar untuk dilatih kemiliteran yang ditempatkan di dekat sungai Nil yang juga disebut laut (al-bahr), sehingga mereka disebut Mamlik al-Bahri. Pasukan ini dijadikan pasuka saingan yang sudah ada sebelumnya, militer yang berasal dari Kurdi.

Setelah meninggal, al-Malik al-Shalih diganti oleh anaknya, Turansyah. Konflik terjadi antara Mamluk bahri dengan Turanyah darena Turansyah dianggap mengabaikan peran Mamluk aBahri dan lebih menutamakan tentara yang berasal dari Kurdi. Oleh karena itu, Mamluk al-Bahri di bawah pimpinan baybars dan Izzuddin Aybak melakukan kudeta terhadap Turansyah (1250 M). Turansyah terbunuh, Baybars dan Izzudin Aybak adalah perintis berdirinya dinasti Mamalik di Mesir.[19]

D.    Dinasti Murabbitun (1088 – 1145 M)

Dinasti Murabbiatun adalah salah satu dinasti Islam yang berkuasa di Maghribi, Spanyol. Nama Murabbitun berkaitan erat dengan nama tempat tinggal mereka (Ribat, semacam Madrasah). Mereka biasa juga diberi sebutan Al Mulassimun (pemakai kerudung menutupi wajah). Asal usul dinasti dari Lemtuna, salah satu puak dari suku Senhaja. Berawal dari sekitar 1000 anggota pejuang dan ajaran madzhab yang mereka anut. wilayahnya meliputi Afrika Barat Daya dan Andalus.[20]

Khalifah Dinasti Murabbitun adalah sebagai berikut:

1.      Yahya bin Umar, membentuk pembinaan keagamaan bersama saudaranya Abu Bakar bin Umar yang dinamakan Ribat di pulau Niger, Senegal yang dinamakan Al Murabbitun. Abdullah bin Yasin adalah guru madzhab Maliki yang bersedia mengemban tugas tersebut. Wilayah kekuasaan sampai ke Wadi Dara.

2.      Abu bakar bin Umar, ia meneruskan gerakan penaklukan ke Sahara, Maroko. Tahun 450H/1058M, ia menyebrang ke Atlas Tinggi. Setelah itu diadakan penyerangan ke Maroko Tengah dan Selatan. Selanjutnya memerangi suku Barghawata yang dianggap menganut paham bid’ah.

3.      Abu Ya’kub Yusuf bin Tasyfin. Pada masa ini dibangun Marakesy untuk dijadikan Ibu Kota Pemerintahan. Ekspansi wilayah masih terus dilanjutkan dan bahkan sampai ke aljiers (Al Jazair). Pada masa ini, Murabbitun mengalami kejayaan. Puncak prestasi dan karir politinknya, ketika ia berhasil menyebrang ke spanyol dan mengalahkan Raja Alfonso VI, kemudian merebut Granada, Malaga, Muluk al Thawaif, almeria, Badagoz, Saragosa dan pulau Balearic, dan ia mendapat gelar Amir al Mukminin.

4.      Ali bin Yusuf, ia melanjutkan politik pendahulunya dan berhasil mengalahkan anak Alfonso VI pada tahun 1088M. Namun lambat laun dinasti Murabbitun mengalami kemunduran dalam memperluas wilayah dikarenakan perubahan sikap mental dengan kemewahan yang berlebihan. Ali mengalami kekalahan pada pertempuran di Cuhera tahun 522H/1129M dan sejak itu berangsur melemah.

5.      Tasyfin bin Ali

6.      Ibrahim bin Tasyfin

7.      Ishak bin ali[21]

Menjelang pertengahan abad XII, Murabbitun mulai retak. Di Spanyol, Muluk al Thawaif menolak kekuasaannya. Di Maroko sebuah gerakan (Muwahhidun) mulai mengingkari.

Kelemahan kemudian kehancuran  Dinasti ini disebabkan oleh :

1.      Lemahnya disiplin tentara dan merajalelanya korupsi melahirkan disintegrasi.

2.      Berubahnya watak keras pembawaan Barbar menjadi lemah ketika memasuki Andalus ketika memasuki kehidupan Maroko dan Andalus yang mewah.

3.      Merka memasuki Andalus ketika  kecemerlangan intelektual kalangan Arab telah mengganti kesenangan berperang.

4.      Kontak dengan peradaban yang sedang menurun dan tidak siap mengadakan asimilasi.

5.      Dikalahkan oleh Dinasti dari rumpun keluarganya sendiri, yaitu Al Muwahhidun.[22]



E.     Dinasti Muwahhidun (1130 – 1269 M)

Al Mohadiyah atau Al Muwahhidun muncul sebagai reaksi dari Al Murabbitun yang dianggap telah melakukan banyak penyimpangan dalam aqidah, berkembang di Afrika Utara berpusat di Marakesy dan sebagian wilayah Andalus (Spanyol).

Pada masa akhir Murabbitun, abdullah bin Tumart, seorang sufi masjid Cordova, melihat sepak terjang kaum Murabbitun, ia memperbaikinya. Ia kemudian berangkat ke Baghdad menambah ilmu kepada Imam Al Ghazali. Setelah dirasa memadai, ia kembali dan mempropagandakan ajarannya yang berpaham tauhid dan pengikutnya disebut Muwahhidun.

Ibnu Tumart merupakan pencetus gerakan Muwahhidun, tetapi ia sendiri tidak pernah menjadi sultan dan mendakwakan dirinya sebagai Al Mahdi. Ia memberantas golongan Murabbitun yang menyimpang, mewnyerukan kemurnian tauhid, menentang kekafiran, antrophomorpisme dan mengajak umat untuk amar ma’ruf nahi munkar. Di Tanmal, ia merumuskan sistem militernya sebagai organisasi pemerintahan. Disusunlah 4 Dewan yang terdiri dari :

1.      Dewan Menteri (Ahl al Asyrah/ Ahl al Jama’ah), terdiri dari sepuluh orang pembai’ah al Mahdi (Kepala dari kalangan murid-murid)

2.      Dewan Majelis Pemuka Suku, terdiri dari lima puluh orang (al Khamsin) wakil tiap suku

3.      Majelis Rakyat, terdiri dari para murid (al Thalabah), para keluarga al Mahdi (ahl al dar), qabilah Hurghah dan ahl Tanmaal[23]

4.      Al Ghirat, rakyat biasa[24]

Kebijaksanaan yang ditetapkan adalah menghormati Undang-Undang dan Peraturan, bersifat terpuji, shalat tepat waktu, melaksanakan wirid dan mentaati buku akidah Muwahhidun.

Khalifah Daulah Muwahhidun adalah sebagai berikut:

1.      Abdul Mu’min bin Ali al Khawfi

Awal kepemimpinannya diarahkan kepada dua hal, yaitu :

a.       Pemasyarakatan ajaran Muwahhidun ke seluruh kabilah di Maghribi

b.      Mengakhiri kekuasaan Murabbitun

Usaha Abdul Mu’min bin ali al Khawfi :

a.       Pada tahun 1137, semua kabilah yang ada di negeri Tanmaal dan Shaal mengakui, tunduk dan berjanji sumpah setia

b.      Tahun 526H/1131M, menaklukan daerah Nadha, Dir’ah, Tinger, Fajar dan Giyasah

c.       Tahun 534H/1139M, melancarkan serangan ke Murabbitun

d.      Tahun 540H/1145M, menaklukan Fas dan Marokes setahun kemudian

e.       Menaklukan al Jazair (1152M), Tripoli(1154M), dan sebagian wilayah Andalusia yang dikuasai Kristen

f.       Tahun 558H/1162M, menyerang pedalaman Spanyol, akan tetapi ia meninggal sebelum rencananya terlaksana.

Pada masa ini merupakan puncak Daulah Muwahhidun

2.      Abu Ya’qub Yusuf (1163-1184 M)

Usaha-usahanya :

a.       Tahun 565H/1170M, menguasai Toledo

b.      tahun 1180 M, menguasai bagian barat Andalus

c.       Tahun 1156 M, Menaklukan Almeria

d.      Tahun 1156-1160M, menaklukan Granada dan negeri-negeri sampai ke Lembah Jeni, memerangi orang Kristen

e.       Tahun 580H/1184M, menaklukan Syantarin-Andalusia

Kemajuan-kemajuan yang dicapai :

a.       Bidang Militer, ditandai dengan kemampuan kerjasama Muwahhidun dengan tentara Salahudin Al Ayubi di Mesir untuk mengusir tentara Salib

b.      Ilmu Pengetahuan, ditandai dengan munculnya ulama Ibn Rusyd (Filsafat), Ibn Tufail (Filsafat), Ibnu Malik (Ilmu Nahwu), Hafidz Abu Bakar al Jadd (Fikih), dan Abi Bakar Ibn Zhuhr (Ilmu kesehatan).

3.      Abu Yusuf al Manshur (1184-1199M)

Al Manshur mencatat kemenangan atas penduduk Bani Hamad di Bajaya setelah ia meminta bantuan Bahuddin, panglima Salahuddin Al Ayyubi 584H/1184M. Tahun 1195M, Abu yusuf berhasil mematahkan kekuatan Alfonso VIII setelah menguasai benteng Alarcos kemudian menguasai Toledo dan akhirnya kembali ke Sevilla (Ibu kota baru)

4.      Muhammad Ibnu Ya’qub al Nashir (berumur 17 tahun)

Karena khalifah lemah, pemerintah dijalankan para menterinya. Akan tetapi terjadilah persaingan diantara para menteri dan pemberontakan terjadi di wilayah-wilayah taklukan. Kota-kota di spanyol kembali dikuasai oleh tentarakristen dan pada tahun 667H/1269M, bani Marin berhasil menguasai Marakesh dan berakhirlah dinasti Muwahhidun.

Faktor-faktor kemunduran dinasti Muwahhidun di antaranya sebagai berikut:

1.      Perebutan tahta dikalangan keluarga Dinasti

2.      Melemahnya kontrol terhadap penguasa daerah

3.      Mengendurnya tradisi disiplin

4.      Memudarnya keyakinan akan keagungan misi Al Mahdi bin Tumart, bahkan namanya tak disebut lagi dalam dokumen negara. Begitu pula mata uang masa terakhir.[25]

BAB III

ANALISIS KRITIS



Melihat pembahasan di atas, kami dapat memahami bahwa ternyata kehidupan pemerintahan pada zaman dahulu tidak berbeda jauh dengan kehidupan di masa kini, misalnya tentang kekuasaan. Di zaman dahulu para masyarakat atau orang yang merasa mempunyai kekuatan, baik secara materi maupun sebaliknya, berlomba-lomba untuk mendapatkan kekuasaan, baik dengan jalan perang maupun secara halus. Seperti halnya di zaman sekarang, mereka yang memiliki kekuatan terutama materi, mereka berusaha untuk  mendapatkan kekuasaan.

Kemajuan yang dicapai pada masa tersebut antara lain dalam pembangunan yang sampai saat ini masih dapat kita lihat. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan juga tidak dapat kita pungkiri. Selain itu, perluasan wilayah kekuasaan juga menyebabkan Islam lebih dikenal dan tersebar ke berbagai daerah. Kemajuan tersebut disebabkan oleh perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi dan semangat untuk menyebarkan ajaran Islam. Pelajaran yang dapat kita ambil dari kemajuan tersebut adalah kita harus memperhatikan terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dan dakwah.

Kemunduran yang terjadi di masa dinasti-dinasti ini, yaitu terjadinya korupsi, pegawai pemerintahan yang tidak jujur, melemahnya kedisiplinan, kurangnya persatuan dan lain-lain. Ini juga terjadi di masa sekarang khususnya di  Negara tercinta kita ini.

Sebenarnya sejarah telah banyak memberikan pelajaran bagi kehidupan kita di masa sekarang, terutama mengenai masalah dalam pemerintahan. Kalau para penguasa mau berkaca pada masa yang lalu dan mengambil hikmahnya, mungkin Negara kita bisa maju. Khususnya bagi umat Islam, mungkin bisa bangkit dan berjaya lagi seperti dulu. Karena, Negara kita mayoritas Islam, dan pemimpin kita juga orang-orang Islam, seharusnya mereka tahu sejarah mengenai peradaban Islam, dengan begitu mereka bisa mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran di masa lalu, sehingga faktor-faktor itu yang ada di masa sekarang mereka jauhi dan faktor-faktor kemajuan di masa lalu mereka terapkan di masa sekarang ini. Mungkin dengan begitu bisa membuat Negara kita maju.

BAB IV

P E N U T U P



A.    Kesimpulan

Dinasti Aghlabiyah ini didirikan di Aljazariyah dan Sisilia oleh Ibrahim bin Aghlab, seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemampuan ilmu administrasinya, ia mampu mengatur roda pemerintahannya dengan baik.

Dinasti Fathimiyah didirikan oleh Said bin Husain alias Ubaidillah al-Mahdi pada tahun 909 M. oleh karena itu Dinasti ini juga disebut Dinati Ubaidiyah. Dinasti Fathimiyah berdiri di Tunisia, sebelum akhirnya pindah ke Mesir pada 969 M. Dinamakan Fathimiyah karena dikaitkan dengan Fatimah binti Muhammad saw., istri Ali bin Abi Thalib. Ubaidillah mengklaim dirinya sebagai keturunan Ali dan Fatimah melalui Ismail bin Ja’far as-Sidiq. Dinasti Fathimiyah bermazhab syiah. Dinasti ini berkuasa tahun 297 – 567 H / 909 – 1171 M.

Bani Ayubiyah merupakan keturunan Ayyub, seorang keturunan suku Kurdi dari Azerbaijan. Nama Ayubiyah dikaitkan dengan nama ayah Salahuddin, Ayyub bin Syadzi. Dinasti ayubiyah berdiri di atas puing-puing dinasti Farimiah Syi’ah di Mesir. Setelah meninggal, Syirkuh diganti oleh Salahuddun al-Ayubi. Kematian khalifah al-Adid dari Fathimiyah pada tahun 567 H/ 1171 M., adalah tanda berakhirnya dinasti Fathimiyah; dan kekuasaan diambil oleh Salahuddin al-Ayubi.

Dinasti Murabbiatun adalah salah satu dinasti Islam yang berkuasa di Maghribi, Spanyol. Nama Murabbitun berkaitan erat dengan nama tempat tinggal mereka (Ribat, semacam Madrasah). Mereka biasa juga diberi sebutan Al Mulassimun (pemakai kerudung menutupi wajah). Asal usul dinasti dari Lemtuna, salah satu puak dari suku Senhaja. Berawal dari sekitar 1000 anggota pejuang dan ajaran madzhab yang mereka anut. wilayahnya meliputi Afrika Barat Daya dan Andalus.

Al Mohadiyah atau Al Muwahhidun muncul sebagai reaksi dari Al Murabbitun yang dianggap telah melakukan banyak penyimpangan dalam aqidah, berkembang di Afrika Utara berpusat di Marakesy dan sebagian wilayah Andalus (Spanyol).

B.     Rekomendasi

Diharapkan dengan adanya sedikit informasi dari makalah ini, kita dapat memetik pelajaran yang ada di dalamya. Karena kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Dan kami mengharapkan agar teman-teman bisa mencari lebih banyak lagi informasi dari buku-buku lain untuk menambah pengetahuan teman-teman.

DAFTAR PUSTAKA



Albert Hourani.2004. Sejarah Bangssa-bangsa Muslim. Bandung: Mizan Media Utama.

Darsono dan Ibrahim.2009.Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam: untuk kelas VIII Madrasah Tsanawiyah. Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Dedi Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Jaih Mubarok. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Mundzirin Yusuf, Irfan Firdaus, Sujadi, Riswinarno, Zuhrotul latifah, dan Syamsul Arifin. 2006. Menelusuri jejak Peradaban Islam: Sejarah Kebudayaan Islam untuk MTs kelas IX. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Musyrifah Sunanto. 2007. Sejarah Islam Klasik. Jakarta:Kencana.

[1]Dedi Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 161-163

[2] Mundzirin Yusuf, Irfan Firdaus, Sujadi, Riswinarno, Zuhrotul latifah, dan Syamsul Arifin. 2006. Menelusuri jejak Peradaban Islam: Sejarah Kebudayaan Islam untuk MTs kelas IX. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Hlm. 44

[3] Jaih Mubarok. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Hlm. 104

[4] Albert Hourani.2004. Sejarah Bangssa-bangsa Muslim. Bandung: Mizan Media Utama. Hlm. 104

[5] Jaih Mubarok . Op.cit.  hlm. 104

[6] Ibid. hlm.101

[7] Ibid. Hlm. 105

[8] Albert Hourani Op cit.  Hlm. 105

[9] Jaih Mubarok. Op cit. Hlm.105

[10] Ibid. Hlm. 101-102

[11] Jaih Mubarok. Op cit. Hlm. 106

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Mundzirin Yusuf, Irfan Firdaus, Sujadi, Riswinarno, Zuhrotul latifah, dan Syamsul Arifin. Op cit. hlm. 54

[15] Jaih Mubarok. Op cit. Hlm 107

[16] Darsono dan Ibrahim.2009.Tonggak Sejarah Kebudayaan Islam: untuk kelas VIII Madrasah Tsanawiyah. Solo:Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Hlm. 88

[17] Jaih Mubarok. Op cit. Hlm.107

[18]Jaih Mubarok. Op cit. Hlm. 108

[19] Ibid

[20] Musyrifah Sunanto. 2007. Sejarah Islam Klasik. Jakarta:Kencana. Hlm. 129

[21] Musyrifah Sunanto.Opcit. Hlm. 132-133

[22] Ibid. Hlm. 135

[23] Ibid.Hlm. 137

[24] Jaih Mubarok. Op cit. Hlm.137

[25] Musyrifah Sunanto. Op cit. Hlm. 140

0 komentar:

Posting Komentar

Translate

Jalanku Untuk-MU