TRANSLATE THIS BLOG

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 02 Oktober 2012

surau dan perkembangannya



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Selain sebagai tempat ibadah, dakwah dan media umat berkumpul, surau disinyalir sebagai salah satu institusi pendidikan Islam pertama di Minangkabau Sumatera Barat. Dari hasil penelurusan sejarah, surau telah menjadi sarana (institusi) penting dalam rangka ikut melakukan pencerdasan dan kemajuan masyarakat, khususnya pembelajaran keagamaan dan penanaman nilai-nilai moral. Bahkan lebih dari itu, pendidikan surau mempunyai reputasi yang cukup besar terhadap penyebaran agama Islam ke berbagai daerah dan wilayah sekitar. Sebagai sebuah sarana pendidikan agama, surau tetap dapat kita jumpai sampai sekarang, walaupun eksistensinya kemungkinan tidak lagi sebagaimana peran di masa lalu, yakni kembali pada fungsi semula sebagai tempat shalat, i`tikaf dan dzikir.
Sebutan surau biasanya dikonotasikan (disama artikan) dengan istilah langgar atau mushalla. Meskipun secara substantif term tersebut tidak sepenuhnya bisa disamakan begitu saja. Karena dari segi kelahiran, surau muncul jauh sebelum langgar atau mushalla berdiri, dan istilah surau itu merupakan warisan dari agama Hindu-Budha atau para leluhur mereka yang menganut animisme, dinamisme ataupun politeisme. Penggunaan istilah langgar biasanya digunakan shalat dan mengaji bagi kaum muslim di Jawa. Setelah melaksanakan ibadah shalat, para jama’ah melanjutkan dengan membaca Al-Qur’an bersama yang dipimpin imam (guru) yang ditunjuk sebagai pendidik di surau.
Kerena itu, mempelajari kapita selekta pendidikan Islam- di sini lebih tepat didefinisikan sebagai rekonstruksi realitas pada masa lalu, kini dan yang akan datang. Secara metodologis, penulisan ini mengambil bentuk pendekatan-pendekatan yang bersifat historis dan sosiologis. Sebab, untuk menghindari kejenuhan dalam mengkaji spesifikasi topik ini, maka perbincangan dilakukan dengan cara menyelam ke dasar sejarah dan kembali melihat realitas.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah Penegertian Surau dalam ruang lingkup pendidikan?
2.      Bagaimankah asal-usul suraua?
3.      Bagaimanakah Dan Fungsi Surau?
4.      Bagaimanakah krisis surau?
5.      Bagaimankah hubungan Surau Dan Kehidupan Sosial Budaya Minangkabau?
C.     TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan tak lain adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah kapita selekta pendidikan agama islam dan tak lupa juga agar kita semua mendapatkan pengetahuan yang lebih tentang pendidikan islam.




















BAB II
PEMBAHASAN
SURAU
A.    PENGERTIAN SURAU
Suatu bangunan kecil tempat shalat yang dipergunakan juga sebagai tempat mengaji Alquran bagi anak-anak dan tempat belajar agama bagi orang dewasa. Kata surau berasal dari istilah Melayu Indonesia dan penggunaannya meluas di Asia Tenggara. Pengertian surau ini dalam penggunaannya hampir sama dengan istilah langgar atau musala.
Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang terletak di puncak bukit atau di tempat lebih tinggi dibandingkan lingkungannya, dipergunakan untuk penyembahan arwah nenek moyang. Dalam sejarah Minangkabau, diduga bahwa surau itu didirikan pada masa Raja Adityawarman pada tahun 1356 di kawasan Bukit Gombak. Surau tersebut, di samping berfungsi sebagai tempat berkumpul anak-anak muda mempelajari berbagai ilmu pengetahuan serta ketrampilan dan tempat berkumpulnya para lelaki dewasa.
Menurut sidi Gazalba, Merupakan sebuah peninggalana masyarakt setempat sebelum datangnya islam. Surau dalam adat minangkabau berarti kaum, suku, ras Indu, yang didirika sebagai pelengkap rumah gadang disini beberapa keluarga yang saparuik (berasval dari satu keturunan) berkumpul.
Surau yang dimaksudkan berfunsi sebagai tempat berkumpulnya, bertemu, dan menginapnya kaum laki2 yang telah akhil baliq, dan pria tua yang telah uzur. Hal ini berkaitan dengan bahwa aak laki2 tidak mempunyai tempat di rumah gadang atau rumah orang tuaya sendiri, yag mempunyai kamar dan memiliki rumah gadang adalah anak gadis. Sedangkan anak laki-laki yang telah cukup umur harus keluar rumah karena anak gadisnya telah berkeluarrga maka ia akan kembali kekaumnya. Maka ia kembai ke surau.

Dengan datangnya Islam ke Sumatera Barat, surau juga mengalami proses islamisasi, walaupun sisa-sisa kesakralan surau di sana masih terlihat jelas, seperti adanya puncak (gonjong) yang merefleksikan kepercayaan mistis dan sekaligus sebagai simbol adat. Namun fungsi surau di sana tetaplah sama hanya saja fungsi keagamaannya menjadi semakin penting.
Di samping dipergunakan sebagai tempat ibadah, surau juga menjadi lembaga pendidikan dan pengajaran serta kegiatan sosial budaya. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi surau di Minangkabau lebih menyerupai pesantren di Pulau Jawa atau pondok di Malaysia. Perkembangan tersebut dimulai sejak Syekh Burhanuddin mendirikan surau di Ulakan, Pariaman, pada abad ke-17 setelah dia kembali dari belajar agama dari Syekh Abdul Rauf Singkel, seorang ulama besar Aceh.
Pada umumnya, surau dalam pengertian pesantren di Sumatera Barat dimiliki dan dikelola oleh syekh secara turun temurun. Surau-surau tersebut biasanya mempunyai banyak bangunan. Bahkan surau besar bisa mempunyai bangunan sampai dua puluh buah atau lebih. Ada bangunan utama, bangunan untuk tamu, tempat suluk, tempat tinggal para murid serta tempat tinggal syekh. Sedangkan penyelenggaraan pendidikannya biasanya tidak mempunyai tingkatan kelas, walau terkadang ada semacam pembagian kelompok murid. Pengelompokannya biasanya berdasarkan kelompok ilmu yang dipelajari oleh murid. Metode pengajaran yang dipakai adalah ceramah, pembacaan dan hafalan yang biasanya dikenal dengan nama halaqah (belajar secara melingkar sekitar guru). Bahkan ada surau-surau yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu tertentu saja, seperti bahasa Arab, ilmu fikih, ilmu mantik dan sebagainya.
Pada dasawarsa kedua abad 20, setelah kelompok Muslim modernis mulai memperkenalkan sistem pendidikan klasikal ala Belanda dan juga bentuk madrasah, popularitas surau di kalangan masyarakat Sumatera Barat mulai menurun. Sebenarnya peranan surau sebagai lembaga pendidikan mulai disaingi, sejak pertengahan abad 19, saat pemerintah Belanda mendirikan sekolah di kota-kota yang merupakan benteng-benteng. Sejak tahun 1933 jumlah surau di Sumatera Barat terus menurun. Adapun setelah zaman kemerdekaan, hanya beberapa surau dengan sistem pesantren saja yang masih bertahan.
B.     ASAL USUL SURAU
Kata surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan penggunaannya meluas sampai di Asia Tenggara. Sebutan surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah digunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan agama Hindu-Budha. Pada masa awalnya, surau juga digunakan sebagai tempat penyembahan ruh nenek moyang. Keberadaan surau cenderung mengambil tempat di puncak atau daratan yang tinggi untuk melakukan kontemplasi (asketis) para warga yang sedang bermunajat kepada Yang Maha Agung. Sehingga bangunan surau dikesankan sebagai bangunan yang ‘mistis’, karena memiliki ‘keramat’ atau sakral yang dipercayai oleh segenap warga disekelilingnya.
Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada 1356 M. yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak. Seperti kita tahu dalam lintasan sejarah Nusantara, bahwa pada masa ini adalah masa keemasan bagi agama Hindu-Budha, maka secara tidak langsung dapat dipastikan bahwa eksistensi dan esensi surau kala itu adalah sebagai tempat ritual bagi pemeluk agama Hindu-Budha.
Setelah keberadaan agama Hindu-Budha mulai surut dan pengaruh selanjutnya digantikan Islam, surau akhirnya mengalami akulturasi budaya ke dalam agama Islam. Setelah mengalami islamisasi, surau akhirnya menjadi pusat kegiatan bagi pemeluk agama Islam dan sejak itu pula surau tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang mistis atau sakral. Surau menjadi media aktivitas pendidikan umat Islam dan tempat segala aktivitas sosial.
Kedatangan Islam ke Sumatera Barat telah memberikan pengaruh dan perubahan bagi kelangsungan surau sebelumnya. Surau mulai terpengaruh dengan panji-panji penyiaran agama Islam. Dengan waktu yang tidak lama, surau kemudian mengalami islamisasi, walaupun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan suasana kesakralan dan merefleksikan sebagai simbol adat Minangkabau.
Proses islamisasi surau begitu cepat dengan ditandai beberapa aktivitas keagamaan. Meski tidak harus merubah label namanya, kaum Muslim dapat menerima (mempertahankan) tanpa mempertanyakan keberadaan asal-usulnya. Karena yang lebih penting masa itu adalah adanya sarana yang efektif untuk melakukan menyiarkan agama Islam. Nama atau label bukanlah hal yang prinsip dan yang lebih esensi adalah semangat dalam menciptakan suasana dan aktivitas di kalangan umat Islam dalam memperkokoh keimanan dan keislamannya. Nilai-nilai semangat inilah yang dipegangi umat Islam hingga surau dikenal khalayak luas sepanjang sejarah.
Setelah diketahui perannya yang begitu sentral dan vital, pendidikan surau banyak didirikan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, dan bukan lagi mengambil tempat terpencil sebagaimana di masa agama Hindu-Budha. Hal ini disinyalir bahwa jika surau berdiri dekat dengan lingkungan komunitas masyarakat, maka fungsi surau akan semakin efektif. Mereka sewaktu-waktu bisa melakukan shalat, dzikir dan i’tikaf dengan tanpa menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan. Dengan demikian, peran surau semakin tinggi dan dekat di hati masyarakat.
Selepas dari akar kefungsian ritual Hindu-Budha, surau bagi kaum Muslim difungsikan lebih luas lagi, serta sebagai salah satu ujung tombak keberhasilan pengajaran agama Islam. Kedudukan surau di kalangan umat Islam lebih kompleks dibandingkan sebelumnya. Peran surau menjadi multifungsi bagi pembentukan kader Muslim. Bahkan disinyalir selain sebagai tempat ibadah (shalat, dzikir, i’tikaf) dan pengajaran Al-Qur’an, surau juga berperan sebagai lembaga sosial seperti pertemuan atau rembug desa/kampung, upacara-upacara keagamaan, dan menjadi pusat informasi lainnya.
Tidak seperti sebelumnya, surau yang terkesan “mistis”, di kalangan umat Muslim surau berubah menjadi tempat yang ramai didatangi orang. Bagi remaja misalnya, mereka banyak menyempatkan bersinggah sesaat untuk beristirahat atau bahkan mereka ada yang bermalam di situ. Hal ini akhirnya membawa pengaruh positif kala itu, karena umumnya kebiasaan adat di sana, bagi usia jejaka (berstatus belum kawin) atau sebagian ada yang berstatus duda dipandang kurang etis jika tetap berkumpul dengan keluarga di rumah. Sehingga keberadaan surau semakin membongkar ‘mitos’ dengan ramai dan padatnya orang berkunjung ke surau.
Dalam perkembangannya, surau pernah mengalami pasang surut. Ketika akhir abad XVIII, yang ditandai dengan semboyan kembali kepada ‘ajaran syari’at ‘surau pernah dihancurkan oleh pemuda-pemuda yang tidak setuju terhadap keberadaan surau. Sebab, surau dituduh sebagai lahan subur untuk kegiatan tahayyul, bid’ah, dan hurafat (TBC). Tekanan dari gerakan tajdid semacam ini membawa implikasi buruk bagi kelembagaan surau dan pengajaran Islam.
Perlawanan dari kelompok yang cenderung berfikir ‘puritan’ berakhir karena memperoleh musuh baru yang lebih dahsyat ketimbang hanya seputar kagiatan TBC, yakni kolonialisme. Mereka yang semula memusuhi surau akhirnya mengalihkan perhatian untuk membendung dan memerangi para kolonial. Sehingga sedikit demi sedikit gerakan ‘anak muda’ itu terkuras untuk menghadapi penjajah. Dalam pandangan mereka musuh yang paling berbahaya adalah missionaris kolonial.
Karena itu, sebagai upaya untuk membendung kolonialisme adalah dengan cara menyebarkan dan pendalaman agama Islam melalui lembaga-lembaga dakwah. Melalui lembaga semacam ini, mereka mengobarkan semangat untuk menentang segala bentuk penindasan. Bahwa umat Islam bukanlah umat yang diperlakukan semena-mena, tetapi seperti umat lainnya yakni memiliki kebebasan yang sama. Dengan perhatian baru inilah surau mendapat angin segar untuk hidup kembali dan melakukan perubahan-perubahan yang mendasar.
Setelah satu abad kemudian, surau berusaha bangkit lagi dengan dikemas melalui sistem yang baru. Kemasan yang baru ini akibat pengaruh dari modernisasi yang mulai masuk ke Nusantara. Beberapa dari sistem pendidikan surau diperbaiki dan pelayanan lebih bersifat efektif. Kegiatan-kegiatan tidak hanya terfokus pada kegiatan keagamaan tetapi sudah berbicara masalah-masalah yang menyangkut fenomena kehidupan manusia sehari-hari.
Sebagai sebuah warisan Hindu-Budha, surau telah banyak memberikan ‘barokah’ bagi umat Islam. Hal ini bisa kita saksikan dengan menjamurnya lembaga-lembaga keagamaan yang hampir sejenis merupakan kelanjutan dari lembaga surau tersebut. Serta nilai yang sangat berharga adalah banyaknya guru agama (guru ngaji) yang dihasilkan dari pendidikan surau. Mula-mula penghargaan masyarakat terhadap pendidikan agama adalah dari surau dan bukan pendidikan agama yang formal.

Di ‘Ranah Minang’, surau adalah kata lain untuk mesjid. Dalam perjalanan sejarah di ranah minang, surau menjadi instrumen utama dalam pengembangan karakter manusia minang tempo doeloe. Anak lelaki yang sudah akil balig “diperintahkan” oleh orang tuanya untuk tidur di surau. Sejarah mencatat, cendikiawan minang tempo doeloe memulai “perjalanan” untuk menemukan kecakapan hidup dalam bentuk eksistensi diri, kecakapan adaptasi diri, kecakapan komunikasi, kecakapan memilah masalah, memilih masalah, dan mengambil keputusan berdasar musyawarah yang bersandar pada “buliek aie kano pambuluah, buliek kato kano mufakat” (bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat), serta bentuk-bentuk kecakapan sosial, dan kecakapan personal pada tahap paling dini di surau yang saat itu eksis di nagari-nagari di ‘Ranah Minang’.
Pada tahun 2000-an, para pakar pendidikan dari negara barat menggulirkan konsep ‘Kecakapan Hidup” (Life Skill) yang diamini oleh pakar pendidikan di Indonesia (yang umumnya berpendidikan hingga level strata 3), untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah di Indonesia.
Sejatinya, konsep ‘Kecakapan Hidup’ berisikan sebuah pola atau konsep: bagaimana seorang peserta didik (murid) didorong untuk menemukan ‘Kecakapan Hidup’ melalui proses pembelajaran yang dilaluinya di sekolah.
Kecakapan Hidup yang diharapkan dapat dimiliki peserta didik antara lain: (a) Eksistensi Diri, (b) Kecakapan Adaptasi Diri, (c) Kecakapan Komunikasi, (d) Kecakapan Memilah Masalah, (e) Kecakapan Memilih Masalah, (f) Kecakapan Mengambil Keputusan, (e) Kecakapan Sosial, dan (f) Kecakapan Personal, sesuatu yang sudah dilaksanakan oleh para jenius lokal dari “Ranah Minang’ ratusan tahun yang lampau! (budaya alam minangkabau sungguh penuh dengan ‘ajaran’ etika, estetika, dan ‘ilmu pendidikan’, yang sayangnya dilihat “sebelah mata’, bahkan oleh pakar pendidikan yang berdarah minang dan lahir di minang sekalipun, sehingga saya pernah berasumsi; Jangan-jangan sebagian para pakar ini sama dengan kebanyakan anak negeri ini, sudah kehilangan rasa` percaya diri, melihat apa saja yang datang dari barat itulah yang terbaik, dan patut dicontoh, termasuk barangkali “valentine day” yang disambut kedatangannya oleh remaja kota dengan meriah).
Sejarah Minangkabau mencatat bahwa negeri ini, sebagaimana wilayah lain di republik ini pernah mengalami penjajahan fisik dalam bentuk kolonialisme struktural (pemerintahan di bawah Belanda dan Jepang) maupun kultural (kolonialisme budaya).
Kolonialisme budaya – yang diistilahkan oleh Bung Karno, sebagai: Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme (saya mendengar beliau mengatakan hal ini lewat pidato radio ketika saya masih berusia 10 tahun, di desa Sidodadi-Aceh Timur, saat itu tak ada satupun orang pergi ke sawah, semuanya mendengar pidato Bung Karno lewat Radio yang diikat di tiang listrik) masih terus mengakar dalam jiwa bangsa – walaupun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, dan memberi bekas yang dalam ke dalam jiwa anak bangsa, termasuk anak bangsa yang lahir dan besar di ranah minang.
Penetrasi budaya melalui kolonialisme budaya ini, perlahan tapi pasti membuat peran surau sebagai pembentuk jati diri “urang awak” mulai terkikis, hal ini sudah “diperingatkan” oleh budayawan Minang, almarhum Engku Ali Akbar Navis. Pada tahun 1956, AA Navis – nama pena beliau – menulis cerpen yang menghebohkan, “Robohnya Surau Kami” sebuah kumpulan cerpen sosio-religi.
Melalui cerpen ini, almarhum secara halus dan sangat berbudaya mengingatkan warga Minangkabau akan bahaya ‘kolonialisme budaya’ yang dapat menghancurkan (“merobohkan”) peran surau dalam pembentukan karakter masyarakat minang.
Apa yang disinyalir oleh Engku Navis puluhan tahun yang lampau, kini menjadi kenyataan. Saat ini fungsi surau sebagai pembentuk karakter masyarakat minang, telah benar-benar “roboh”. Kolonialisme budaya, telah berhasil merubah persepsi warga minangkabau terhadap peran dan fungsi surau. Surau menjadi hanya sekedar tempat salat semata, tidak lebih! Persepsi seperti ini bahkan merasuki alam pikiran cendikiawan minang dan guru agama Islam yang berasal dari minang, bahkan guru agama Islam di INS Kayutanam yang notabene berada di ranah minang!
Bahaya ‘kolonialisme budaya’ ini jauh sebelumnya juga telah “ditangkap” oleh almarhum Engku Muhammad Syafei, putra Banjar – Kalimantan Selatan yang besar dan menghabiskan usianya untuk mengabdi di ranah minang. Pada tahun 31 Oktober 1926 beliau mendirikan perguruan INS yang mendidik anak bangsa melalui konsep “Tigo Tungku Sajarangan”, Otak (Akademik), Hati (Akhlak Mulia), dan Tangan (Ketrampilan).
Sepeninggal Engku M Syafei – ditambah dengan kebijakan pemerintah yang mengadopsi konsep pendidikan barat yang menafikan posisi jiwa (dalam hal ini ‘ruh’) – pamor INS Kayutanam – bersama perguruan Taman Siswa meredup, bahkan INS Kayutanam kini hampir benar-benar tenggelam.
Allah yang Maha Pemurah agaknya tidak berkenan melihat INS Kayutanam tenggelam. Melalui kiprah pengurus Yayasan, pada tahun 2008, konsep Engku M. Syafei digali kembali, dan ditemukanlah ‘Kurikulum Berbasis Talenta’ yang digali dari konsep “Tungku Tigo Sajarangan” ala Engku M Syafe’i (Otak, Hati, dan Tangan) serta konsep “Tungku Tigo Sajarangan” yang berasal dari ‘Alam Budaya Minangkabau’ (“Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah).
Kurkulum Berbasis Talenta sendiri terdiri dari “Tungku Tigo Sajarangan, yaitu: (a) Tungku 1: ‘Aspek Akademik’ (Ilmu-ilmu sains dan Bahasa), (b) Tungku 2: ‘Aspek Ketrampilan’ (Ketrampilan Teknik, Ketrampilan Tangan), dan Tungku 3: ‘Aspek Akhlak Mulia’ yang berisikan ajaran tentang; (a) hubungan manusia dengan Tuhan, (b) hubungan manusia dengan manusia, (c) hubungan manusia dengan dirinya sendiri, (d) hubungan manusia dengan lingkungan, (e) keteladanan Rasulullah dan Sahabat, (f) baca tulis Al Qur’an, (g) pemahaman terhadap Al Qur’an, (h) budaya minang, (i) etika-estetika, dan (j) budi pekerti.
Kuri”kulum Berbasis Talenta, memiliki “Tigo Tungku”. “Tungku” yang pertama
Suatu karya yang dihasilkan oleh leluhur ratusan tahun yang lampau, serta orang-orang terdahulu bukanlah sesuatu yang serta merta dapat dimasukkan ke dalam kategori “ketinggalan zaman”. Konsep pendidikan berbasis talenta (bakat bawaan) yang digulirkan oleh Engku M. Syafei puluhan tahun yang lampau, bahkan pada akhirnya diakui oleh pemerintah. Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah (PP) No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sebagaimana berikut;
1) UU No.20 Tahun 2003, tentang pendidikan, (Pasal 12 ayat 1 butir b; Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya), dan,
2) PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Bab IV pasal 19; ‘Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berparti-sipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan ke-mandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik’.
Undang-undang pendidikan juga dengan tegas mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia!
Akhlak mulia tidak akan diperoleh dari ‘Pengetahuan Agama’ yang hanya diberikan di depan kelas selama 2 jam/minggu. Kolonialisme
Budaya telah “menjatuhkan” agama dari posisinya menjadi setara dengan pengetahuan sains, ilmu sosial, dan bahasa! Setara dengan budaya (sementara agama dalam hal ini Islam bukanlah produk budaya) Penilaian terhadap pemahaman dan penerapan agama peserta didik setara dengan penilaian terhadap kemampuan peserta didik memahami fisika, matematika, bahasa, biologi dan pelajaran lain yang merupakan produk budaya.
Menyadari hal ini, INS Kayutanam melancarkan gerakan ‘Kembali ke Surau’, agama (Islam) diajarkan di surau atau mesjid, karena itulah yayasan berketetapan menggalakkan “Gerakan Kembali ke Surau” (GKS). Agama yang penuh dengan nilai-nilai akhlak mulia diajarkan di surau atau mesjid, dengan tetap menyisipkan aspek akhlak mulia pada aspek akademik dan ketrampilan melalui ‘Pembelajaran Berbasis Fitrah’.Melalui Gerakan Kembali ke Surau, peran dan fungsi surau coba akan dikembalikan sebagaimana peran dan fungsi surau ketika alam minangkabau masih terbebas dari ‘kolonialime budaya
“Memerangi” kolonialisme budaya bukanlah perkara mudah, penuh dengan rintangan dan tantangan, karena kolonialisme budaya adalah pengawal kepentingan kolonialisme dan imperialisme gaya baru dalam hal penguasaan aset ekonomi dan sumber daya di negara berkembang, termasuk ranah minang yang merupakan bagian dari negara berkembang yang bernama Indonesia.Maka jika Indonesia ingin terbebas dari kolonialisme budaya diperlukan sumber daya manusia yang berkarakter yang hanya dapat diperoleh melalui pendidikan yang berkarakter. INS Kayutanam adalah salah satunya!
Tangerang, 18 Februari 2009. Pkl. 02:01
Catatan: Pandawa Lima adalah julukan yang diberikan oleh Bapak Farid Anfasa Moeloek kepada lima orang relawan revitalisasi INS Kayutanam, dari daerah yang berbeda.
1. Achjar Chalil (lahir di Aceh Timur)
2. Hudaya Latuconsina (lahir di Ambon
3. Soleh Dimyathie (lahir di Pati-Jateng)
4. Bambang Muhadi (lahir di Sleman-Yogyakarta)
5. Naijan Lengkong (lahir di Tangerang-Banten)
Fungsi surau
Surau yang dimaksudkan berfunsi sebagai tempat berkumpulnya, bertemu, dan menginapnya kaum laki2 yang telah akhil baliq, dan pria tua yang telah uzur. Hal ini berkaitan dengan bahwa aak laki2 tidak mempunyai tempat di rumah gadang atau rumah orang tuaya sendiri, yag mempunyai kamar dan memiliki rumah gadang adalah anak gadis. Sedangkan anak laki-laki yang telah cukup umur harus keluar rumah karena anak gadisnya telah berkeluarrga maka ia akan kembali kekaumnya. Maka ia kembai ke surau.
Seiring dengan masuknya islam maka fungsi surau tidak dihilangkan tetapi malah ditambah selain tempat berkumpul, dan tempat tinggal maka fungsi surau juga digunakan sebagai tempat sholat, mengaji, dan lain-lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya fungsi surau dan mesjid juga dipisahkan. Fungsi mesjid hanya digunakan untuk kegiatan ibadah dalam artian sempit, seperti shlat lima waktu, sholat jum’at. Sedangkan fungsi surau digunakan untuk kepentingan yang lebih luas seperti tempat belajar mngaji, tempat belajar agama, berkumpul, dan berapat, tempat suluk’ tempat penginapan para musafir, tempat berkasidah atau gambus, disamping tempat menginap para lelaki.
Surau yang sebenarnya fungsinya adalah mesjid dalam ukuran yang kecil, merupakan sesuatu yang khas dari islam di Indonesia. Surau atau langgar ini berdiri mendahului mesjid, karena mesjid mempunyai syarat-syarat tertentu. Kendatipun demikian, mesjid dan surau, merupakan wadah atau tempat khusus yang berlangsung ganda sejak pertama kali keberadaannya.
Secara garis besar fungsi surau dan mesjid tersebut dapat dibedakan sebagai tempat ibadah, dan sebagai tempat pendidikan serta pembudayaan, dan tempat penyelanggaraan urusan ummat. Namun demikian, bentuk sifat fungsi mesjid dan surau tersebut sangat beragam dan bervariasi serta mengalami perkembangan dar waktu kewaktu.
Fungsi mesjid sebagai tempat atau pusat kegiatan dalam menyelanggarakan urusan umat, mulai tampak setelah timbulnya kerajaan- kerajaan islam, dan dibangunnya mesjid-mesjid dengan penguasa diberbagai wilayah dengan tujuan tersebut.
Meskipun demikian surau dan mesjid tetap mempunyai peranan dan fungsi yang sangat penting, tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sekarang sebagai kegiatan lain dalam rangka memanfaatkan mesjid sebagai “Islamic Centre” telah diupayakan dan dilaksanakan.
D.    KRISIS SURAU
Sementara itu kehidupan di Minangkabau terus berkembang dan semakin panyak perantau dar kampong kampong sekitarnya. Kemudian perantau iu bermukim di perkotaan bersama anak dan isri mereka dalam suatu keluarga nuklir. Perlahan namun pasti system keluarga batih yang selama ini dianut mulai tersisihkan oleh system keluarga nuklir.
Dimana peran mamak dalam mendidik anak mulai digantikan oleh ayah mereka sendiri. Sehingga peran ayah mulai meggantikan peran mamak dalam mendidik anaknya yang selama ini dianut dalam adat. Didalam keluarga nuklir anak laki laki tidak lagi disuruh tinggal disurau mereka mulai mendapat kamar dalam rumah orangtuannya. Karena control pendidikan anak langsung berada dibawah pengawasan ayahnya. Kalaupun mereka disuruh kesurau itupun hanya untuk mengaji atau belajar, mereka tidak lagi bermukim atau bermalam disana.
Belanda mulai mendirikan HIS (hollandsch-Inlandsche School) di bukittinggi pada tahun 1850. dan mulailah orang tua mulai menyerahkan pendidikan anaknya pada sekolah sekolah belanda  dan tidak lagi pada surau.
Pada mulanya HIS adalah semacam sekolah dasar yang diperuntukan untuk keluarga belanda dan keluarga pribumi dar kaum bangsawan. Sehngga dikenal dengan sekolah Raja. Kemenangan kaum liberl dalam parlemen belanda membuat belanda harus menjalankan “ethische politiek”, sehingga menyebabkan belanda harus mebuat lebih banyak sekolah sekolah untuk pribumi maka mulailah didirikan ”volks school”. Pada tahun 1913 jumahnya mencapai 111 dan meningkat menjadi 358 pada tahu 1915.
Dengan  mulai banyaknya orang yang bersekolah di sekolah belanda raja, mereka juga mulai terpengaruh dengan system pendidikan belanda. Para guru yang menjadi penulis dalam jurnal2 kelompok aristocrat dan pegawai ini mengatakan, cara untuk mencapai kemajuan ialah dengan cara merombak system pendidikan menjadi suatu pendidikan modern ala barat. Karena itu, sekolah sekolah agama menurut mereka sedah ketinggalan zaman dan harus digantikan dengan sekolah sekolah baru yang ebih modern. Untuk itu ulama ulama yang berpengaruh hendaknya tidak lagi mengajar di lembaga lembaga pendidikan.
Hal ini tentu mendapa perlawanan dari kaum ulama dan kaum adat mereka mencemaskan apabila peikira itu  terus berkembang maka dikhawatirkan maka adat akan semakin tergerus dan akhlak dan moral juga ikut hilang.Tetapi sekembalinya empat serangkai yaitu, syeikh jamil jambek dari bukittinggi. H. Abbdullah Ahmad di padang da padang pajang, syeikh Abdul karim Amrullah (haji rasul) dari maninjau dan padang panjang H. Muhammad Thaib Umar dari batusangkar. Kemudian mereka disebut kaum muda. Mereka mulai melancarkan serangan terhadap kaum ulama tradisional dan kaum adapt yang terlalu mebesar besarkan adat.
Memasuki periode kedua abad 20 kaum muda menyerukan agar kembali kepada ajaran al’quran dan hadist dengan menghilangkan sikap taqlid kepada ulama dan ajaran mazhab tertentu.
E.     SURAU DAN KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MINANGKABAU
Minangkabau merupakan salah satu suku yang terdapat di Indonesia yang memiliki kehidupan sosial dan budaya yang khas. Kebudayaan Minangkabau atau Minang tersebar di daerah Sumatra barat, sebagian daratan Riau, Bengkulu bagian utara dan bagian barat Jambi serta negeri sembilan di Malaysia (Wikipidia, 2011).
Menurut A.A. Navis dalam Wikipidia, menerangkan Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam.
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau berkembang di surau karena sisi religiusitas masyarakat Minangkabau tidak dapat kita pisahkan dari kesehariannya. Surau atau musalla/mesjid ini di masyarakat luas, hanya di gunakan untuk tempat beribadah, tapi di masyarakat Minangkabau surau memiliki peran yang cukup banyak seperti belajar mengenai agama, akhlak, pantun, randai dan adat budaya Minangkabau lainnya bahkan di surau jugalah tempat pembentukan pribadi penerus generasi Minang yang siap menanggung bebean dan amanah dikemudian harinya.
Bila membaca sejarah Minangkabau, maka akan ditemukan Kearifan adat dan budaya Minangkabau yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman telah menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Maka salah satu falsafah yang dikenal dari masyarakat Minangkabau adalah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS SBK), Syara’ mangato, Adat mamakai.
Falsafah ini seolah-olah telah mengukuhkan eksistensi agama Islam dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau dan menjadi hal yang tak terpisahkan dalam keseharian masyarakat Minangkabau.
Tidah heran kalau dulunya masyarakat Minangkabau banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional yang berkiprah sampai ke tingkat internasional, itu semua di sebabkan oleh peran surau yang sangat strategis sehingga terbentuklah kepribadian yang tangguh dalam diri masyarakat minangkabau.
Peranan surau dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau hampirlah hilang. Padahal surau memiliki posisi yang strategis dalam pembentukan karakter masyarakat Minangkabau.
Terkait dengan fungsi surau pada masa lalu di Minangkabau yang ternyata tidak hanya sebatas tempat ibadah saja, tetapi juga memainkan peranan yang cukup banyak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka tak salah kiranya apabila dikatakan surau sebagai salah satu pranata sosial di masyarakat Minangkabau. Pranata yang dikenal sebagai salah satu padanan kata untuk institusi, didefenisikan oleh Koendjaraningrat sebagai sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam masyarakat (Tomi Wardana,2010).
Surau menyangkut fungsinya sebagai salah satu atau bagian dari pranata penting dalam masyarakat Minangkabau, telah memainkan peranannya untuk memenuhi berbagai keperluan masyarakat dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Sebut saja fungsi surau sebagai institusi pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak remaja di Minangkabau, selain itu surau juga memainkan fungsinya dalam sosialisasi berbagai informasi yang harus di ketahui masyarakat (Tomi Wardana,2010).
Pengarui globalisasi yang diikuti dengan kemajuan teknologi yang sangat berkembang pesat hingga modernisasi terjadi dimana-mana tidak hanya di kota-kota besar saja, tapi juga sampai ke kota-kota kecil. Dulu masyarakat Minangkabau terlebih generasi mudanya lebih senang meramaikan surau, menghabiskan waktu di surau, tapi sekarang dunia modern telah merubah segalanya.
Kecanggihan teknologi telah mengalihkan dunia mereka, barang-barang itu lebih mengasikkan ketimbang ke surau. Banyak masyrakat luar yang kecewa sekarang ini, dulu mereka beranggapan masyarakat minang orang yang taat dan patuh adat, sehingga mereka menyekolahkan anaknya ke daerah Minang dengan tujuan anaknya kelak dapat pelajaran tambahan dari segi agamanya karana bergaul dengan masyarakat Minangkabau, tapi sekarang faktanya malah masyarakat Minangkabaulah yang banyak merubah semuanya
Kalau kita tanya, masih adakah kepribadian yang tangguh itu dalam diri masyarakat Minangkabau? Masihkah pemikiran-pemikiran orang minangkabau itu dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat? Jawabanya tidak, buktinya tidak ada lagi masyarakat minangkabau yang menjadi tokoh nasional, kalaupun ada pasti dulunya beliau sempat merasakan kehidupan surau.
Mana masyarakat minang yang dulu, yang memegang teguh adat dan agama, yang memiliki pepatah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” bukankah telah luntur di makan zaman baik dari segi agama maupun dari segi adat pun begitu.
Tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau pun telah bergeser dari adat istiadat yang di bentuk pemuka-pemuka adat terdahulu. Masyarakat Minangkabau tidak lagi menjadikan niniak mamak atau penghulu sebagai panutan dalam kehidupan sosial, alim ulama tidak lagi menjadi tempat bertanya, dan kemenakan pun tidak lagi menjadikan mamaknya sebagai tempat bermusyawarah dalam kehidupan.
Kita tidak bisa menyalahkan itu semuanya, zaman telah berubah memanglah dulu dan sekarang berbeda, akan tetapi penyesuaian terhadap kondisi dan situasi saat ini yang penting dilakukan oleh masyarakat Minangkabau serta mengarahkan kembali generasi muda Minangkabau kembali ke surau.
Sekarang bukanya tidak mungkin untuk membentuk kepribadian islami itu dalam diri masyarakat Minangkabau apalagi generasi mudanya, hanya saja peran surau tidak akan mungkin sestrategis dulu lagi. Salah satu upayanya dengan membentuk organisasi yang kegiatannya berlangsung di surau, seperti wirid remaja. Melalui gerakan wirid remaja diharapkan generasi muda Minangkabau akan lebih sering berada di surau, dan akan memakmurkan surau seperti dulu lagi.














BAB III
KESIMPULAN
Di samping menjadi tempat untuk beribadah, berdakwah serta berkumpulnya umat, sejak awal surau berfungsi menjadi tempat pengajaran agama dan penerapannya dalam kehidupan. Surau-Surau yang berdiri bukan semata-mata hanya dijadikan tempat ibadah saja, namun lebih dari itu telah menjadi sentral peradaban umat Islam. Jejek-jejak sejarah telah menyebutkan bahwa betapa besar peranan surau dalam menumbuh-kembangkan pola pikir umat Islam.
Surau merupakan istilah yang lahir dari sisa-sisa leluhur (nenek moyang) dan secara khusus merupakan salah satu warisan dari tempat sesembahan agama Hindu-Budha. Surau mengalami akulturasi dengan Islam Minangkabau pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak pada tahun 1356 M.
Ada dua Jenjang pendidikan surau yaitu tingkat rendah dan tingkat atas. Kalau tingkat rendah, murid diajari baca tulis huruf hijaiyyah, sedangkan pada tingkat atas, murid diajari baca kitab. Dengan menggunakan metode sorogan dan halaqah. Kedua metode ini sampai sekarang tetap menjadi ciri khas bagi pendidikan tradisional.
Literatur keagamaan yang berkembang pada pendidikan surau terbatas pada pendidikan Al-Qur’an dan praktek keagamaan. Namun paruh perjalanan akhir baru mengalami perubahan dengan adaya karya-karya yang didatangkan dari di Timur Tengah. Karya-karya seperti ini sangat menekankan pada kajian literalis atau paling tinggi memberikan komentar (syarh) atau catatan pinggir (khawamis).
Dengan demikian, sejak awal penyebaran Islam ke Indonesia dengan saluran pendidikan Islam, surau telah menyumbangkan sebuah corak atau karakteristik sistem pendidikan tersendiri. Apapun yang di ditemui sekarang, sesungguhnya tidak serta merta melupakan sama sekali sejarah masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA

Piliang,Indra.2010.Dari Surau ke Palanta Lapau,dimuat di Majalah Panji Masyarakat.
Hasbullah, Sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo persada, 2001
Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : perpustakaan nasional (KTD) ,1999

Langgulung, Hasan. 1988. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna

1 komentar:

  1. Bagi anda yang punya masalah ekonomi,silahkan KLIK http://mbahsugem.blogspot.com atau Hub:_085_213_703_444 trm ksh.

    BalasHapus

Translate

Jalanku Untuk-MU