SEKILAS BIOGRAFI AHLI PENDIDIKAN ISLAM
A.
Biografi
Al-Ghozali
Nama lengkapnya
adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad abu Hamid
Al-Ghozali/Ghozzali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di desa
Ghozalah, Thusia, wilayah Khurosan, Persia. Atau sekarang yang lebih dikenal
negara Iran. Ia juga keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan
raja-raja saljuk yang memerintah daerah Khurosan, Jibal Irak, Jazirah, Persia,
dan Ahwaz.
Al-Ghozali
merupakan anak seorang yang kurang mampu. Ayahnya adalah seorang yang jujur,
hidup dari usaha mandiri, pemintal benang dan bertenun kain bulu (wol). Ayahnya
juga sering mengunjungi rumah alim ulama’, hal ini dilakukan ayah karena ia
pada dasarnya juga sangat senang menuntutu ilmu serta berbuat jasa kepada
mereka.
Dia
(Al-Ghozali) adalah pemikir ulung islam yang mendapat gelar “pembela
islam”(hujjatul islam), “hiasan agama”(zainuddin), ada pula orang yang
memanggilnya dengan sebutan”samudra yang menghanyutkan”(bahrun mughriq), dan
lain-lain. Gelar tersebut disenmatkan kepada Al-Ghozali karena ia seorang yang
mengabdikan hidupnya pada agama dan masyarakat baik melalui pergaulannya ketika
beliau masih hidup dan lewat karya-karyanya.
Kira-kira lima
tahun sebelum beliau pulang ke hadirat Allah, beliau kembali ke tempat asalnya
di Thusia. Ia mengahabiskan waktunya untuk menuntut dan menyebarkan ilmu. Hal
ini terbukti setelah ia kembali ke Thusia beliau membangun sebuah madrasah
disamping rumahnya. Beliau juga masih sempat untuk mengajar dan menuangkan
gagasan-gagasannya kedalam bentuk tulisan. Al-Ghozali wafat pada hari Senin,
tanggal 14 Jumadil al-tsani tahun 505 H/18 Desember1111 M. saat itu usia baru
55 tahun. Dan dimakamkan disebelah tempat khalwatnya. Al-Ghozali meninggalkan 3
orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah
meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya (Al-Ghozali), dan karena
anaknya inilah, ia di panggil “Abu Hamid” (bapak si Hamid) .
Riwayat
Pendidikan Al-Ghozali.
Sebelum ayahnya
Al-Ghozali meninggal dunia, ia pernah menitipkan kedua anaknya(seorang
diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan
Al-Ghozali), kepada seorang sufi (sahabat karib ayahnya). Ayahnya berwasiat
kepada sahabatnya untuk memberikan pendidikan kepada kedua anaknya dengan
menggunakan harta warisan yang di tinggalkannya.
Setelah harta
peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi itu untuk
menafkahi mereka berdua, karena pada dasarnya ia pun hidup dalam kekurangan.
Namun, beliau memberikan masukan agar mereka melanjutkan belajar ke madrasah,
salain karena disana mereka bisa mewujudkan cita-cita luhur mereka untuk
menjadi orang yang alim, mereka juga akan mendapatkan makan untuk kelangsungan
hidup mereka
Bersama
saudaranya (Ghozali dan Ahmad) tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk
mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya. Memang, Pada saat itu masalah
pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu
di tanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan
jika pada saat itu bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah,
menengah, sampai elit.
Di dalam
madrasah tersebut, Al-Ghozali(seorang anak yang dititipkan tersebut)
mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari
tasawwuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian Al-Ghozali
memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, dan disinilah ia bertemu dengan imam
Haromain.
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut :
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut :
“Al-Ghozali mempelajari
ilmu fiqh, mantiq ,dan ushul, dan dipelajarinya antara lain: filsafat dari
risalah-risalah dari ikhwanus shofakarang Al-farabi, Ibnu Miskawaih. Sehingga
melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghozali dapat menyelami paham-paham
Aristothelesdan pemikir Yuunani yang lain. Juga ajaran Imam Syafi’I, Harmalah,
Jambad, Al-Muhasibi, dan lain-lain, bukan tidak membekas pada pendidikan
Al-Ghozali. Begitu jugaImam Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid Al-Qusyairiyang
terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam mengajar tasawuf kepada
Al-Ghozali. Ia juga mempelajari agama-agama lain seperti masehi”.
Dan pada tahun
483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhomiyyah Bagdad.
Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan berhasil. Selama di Bagdad,
selain mengajar ia juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran
golongan bathiniyyah, ismailliyah, filsafat, dan lain-lainnya.
B.
Biografi
al-Zarnuji
Plessner mengatakan al-Zarnuji adalah salah seorang filosof Arab yang tidak
diketahui nama dan waktu hidupnya secara pasti. Ada yang menyebutnya dengan
Burhān al-Dīn, ada juga yang menyebutnya dengan Burhan al-Islam. Namun, kedua
nama itu diperkirakan sebagai julukan saja atas jasa-jasanya dalam menyebarkan
Islam. Nama "al-Zarnuji" sendiri diyakini bukan nama asli, tetapi
nama yang dinisbahkan kepada tempat, yakni Zurnuj atau Zaranj. Al-Qurasyi
mengatakan Zurnuj adalah sebuah tempat di wilayah Turki. Sedangkan menurut
Hamawi, Zurnuj adalah sebuah tempat yang terkenal di ma wara’a al-nahr wilayah
Turkistan, tetapi menurut para pakar geografi daerah ma wara’a al-nahr itu
bukan di Turkistan, melainkan di Turki. Dengan demikian diperkirakan bahwa ia
berasal dari Turki. Mengenai masa hidupnya juga masih belum jelas, kecuali
sebatas perkiraan-perkiraan saja. Satu-satunya penulis yang menunjuk tahun
wafatnya adalah Fuad al-Ahwani. Menurut dia al-Zarnuji wafat tahun 591/1194.
Namun, tahun yang ditunjuk oleh al-Ahwani ini terbantahkan, karena bila
ditelusuri dari guru-gurunya ternyata al-Zarnuji merupakan salah seorang murid
dari Syekh Burhān al-Dīn Ali bin Abi Bakar al-Farghani al-Marghinani (w. 1197),
penulis Kitab al-Hidayah fî Furu’ al-Fiqh.
Hal ini dapat diketahui dari seringnya ia menyebut namanya dan mendoakan
supaya Allah menyucikan ruhnya.
Menurut al-Qurasyi, al-Zarnuji adalah seorang pendidik abad ke-13,
sedangkan G. E. Von Grunebaum dan Theodora M. Abel mengatakan bahwa ia seorang
ulama yang hidup menjelang akhir abad ke-12 dan permulaan abad ke-13.
Penunjukan tahun ini hampir sama dengan perkiraan Marwan Qabbani. Sedangkan
al-Ahwani menyebutkan bahwa Muhammad al-Kafrawi menempatkan ia dalam generasi
ke-12 dari ulama Hanafiyyah yang diperkirakan hidup pada sekitar tahun
620/1223. Terlepas dari kontroversi penunjukan tahun-tahun tersebut, yang jelas
hampir dapat dipastikan bahwa ia hidup di ujung pemerintahan Abbasiyah di
Baghdad.
Al-Zarnuji adalah orang yang diyakini sebagai satu-satunya pengarang kitab Ta’līm
al-Muta’allim, akan tetapi ketenaran nama beliau tidak sehebat kitab yang
dikarangnya. Dalam
satu literatur disebutkan bahwa al-Zarnuji adalah seorang filosof arab yang
namanya disamarkan, yang tidak dikenal identitas namanya secara pasti.
Seorang penulis
muslim membuat spekulasi bahwa al-Zarnuji aslinya berasal dari daerah
Afganistan, kemungkinan ini diketahui dengan adanya nama Burhān al-dīn, yang
memang disetujui oleh penulis bahwa hal itu biasanya digunakan dinegara ini.
Terkait dengan hal tersebut, beberapa peneliti berpendapat bahwa dilihat dari
nisbahnya nama al-Zarnuji diambil berdasar pada daerah dari mana ia berasal
yaitu daerah Zarand. Zarand adalah salah satu daerah diwilayah Persia yang
pernah menjadi ibu kota Sijistan yang terletak disebelah selatan Herat.
Sedikit sekali
dan dapat dihitung dengan jari bahwa ada sebuah buku atau kitab yang menulis
tentang biografi/riwayat hidup penulis kitab Ta’līm al-Muta’allim
tersebut. Dan beberapa kajian terhadap kitab Ta’līm al-Muta’allim, tidak
dapat menunjukkan secara pasti mengenai waktu kehidupan dan karir yang
dicapainya. Sehingga pengetahuan kita tentang al-Zarnuji sementara ini berdasar
pada studi M. Plessner yang dimuat dalam Encyclopedia of Islam.
Dalam buku
Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk 70 tahun Prof. H. Munawir
Sadjali, M.A., Affandi Muchtar mendapat informasi lain tentang al-Zarnuji
berdasar pada data dari Ibn Khalilkan, adalah al-Zarnuji merupakan salah
seorang guru Rukn al-Dīn Imām Zada (Wafat sekitar tahun 573 H) dalam bidang
fiqih. Imām Zada juga berguru pada Syekh Ridha al-Dīn al-Nishapuri (wafat
sekitar antara tahun 550 dan 600 H) dalam bidang Mujahadah. Kepopuleran Imām
Zada diakui karena prestasinya dalam bidang Ushūluddin bersama dengan
kepopuleran ulama lain yang juga mendapat gelar rukn (sendi). Mereka
antara lain Rukn al-Dīn al- ‘Amidi (wafat : 615 H) dan Rukn al-Dīn al-Tawusi
(wafat: 600 H). Dari data ini dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji hidup sezaman
dengan Syekh Ridha al-Dīn al-Nisaphuri.
Kelahiran atau
masa hidup al-Zarnuji hanya dapat diperkirakan lahir pada sekitar tahun 570 H,
sedangkan tentang kewafatan al-Zarnuji terdapat perbedaan, ada yang menyatakan
al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H (1195 M) dan menurut keterangan Plessner,
bahwasannya ia telah menyusun kitab tersebut setelah tahun 593 H (1197),
perkiraan tersebut berdasar adanya fakta bahwa al-Zarnuji banyak mengutip
pendapat dari guru beliau yang yang ditulis dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim,
dan sebagian guru beliau yang ditulis dalam kitab tersebut meninggal dunia pada
akhir abad ke-6 H, dan beliau menimba ilmu dari gurunya saat masih muda.
Al-Zarnuji merupakan ulama yang hidup satu periode dengan Nu’man bin Ibrahim
al-Zarnuji yang meninggal pada tahun yang sama, diapun meninggal tidak jauh
dari tahun tersebut karena keduanya hidup dalam satu periode dan generasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620 H,
atau dalam kata lain al-Zarnuji hidup pada seperempat akhir abad ke-6 sampai
pada dua pertiga pertama dari abad ke-7 H (abad XII – awal abad XIII Masehi).
C.
Biografi KH.
Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan
lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25
Pebruari 1923. Ia berangkat dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu
agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar
kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Aminah, putri KH. Ibrahim yang
pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakartaa
Pada usia yang
masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung denan
memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar
dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab
letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa
kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan.
Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan
lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar.
KH. Ahmad
Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau
memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti
Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan
dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib
dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan
mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan
syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Dengan
kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan
pembaharuan islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan
pembaharuan islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH.
Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para
muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai
politik. Seperti Budi Utomo da Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan
utnuk beramal demi kemajuan umat islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal
pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang
Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta
D.
Biografi KH. M.
Hasyim Asy’ari
Nama lengkap
KH. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd al-Wahid ibn ‘Abd
al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abdur ar-Rohman yang dikenal
dengan Jaka Tingkir, Sultan Hadiwijaya ibn Abdullah Ibn Abdul Aziz ibn Abd
al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden Ainul Yaqin disebut Sunan Giri. Ia lahir
di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur pada hari Selasa kliwon 24
Dzulqa’dah 1287 H. bertepatan pada tanggal 14 Februari 1871. KH. Hasyim Asy’ari
wafat pada tanggal 25 Juli 1947 pukul 03.45 dini hari bertepatan dengan tanggal
7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.
Pada masa muda
KH. Hasyim Asy’ari, ada dua sistem pendidikan bagi penduduk pribumi Indonesia, Pertama
adalah sistem pendidikan uyang disediakan untuk para santri muslim di
pesantren yang focus pengejarannya adalah ilmu agama. Kedua adalah
sistem pendidikan barat yang dikenalkan oleh kolonial Belanda dengan tujuan
menyiapkan para siswa untuk menempati posisi-posisi administrasi pemerintahan
baik tingkat rendah maupun menengah.
Semasa
hidupnya, KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, Abd
al-Wahid, terutama pendidikan di bidang Al-qur’an dan penguasaan beberapa
literature keagamaan.Setelah itu ia pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai
pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, Siwalan Baduran,
Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo. Setelah menimba ilmu di
pondok pesantren Sidoarjo, ternyata KH. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk
terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada KH. Ya’kub yang merupakan kyai di
pesantren tersebut. Kyai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan
KH. Hasyim Asy’ari sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya,
Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun.
Setelah
menikah, KH. Hasyim Asy’ari bersama istrinya Segera melakukan ibadah haji.
Sekembalinya dari tanah suci, mertuanya menganjurkannya untuk menuntut ilmu di
Makkah. Menuntut ilmu di kota mekkah sangat diidam-idamkan oleh kalangan santri
saat itu, terutama dikalangan santri yang berasal dari Jawa, Madura,Sumatera
dan kalimantan. Secara struktur sosial, seseorang yang mengikuti pendidikan di
Makkah biasanya mendapat tempat lebih terhormat dibanding dengan orang yang
belum pernah bermukim di Makkah, meski pengalaman kependidikannya masih
dipertanyakan.
Dalam
perjalanan pencarian ilmu pengetahuan di Makkah, KH.Hasyim Asy’ari bertemu
dengan beberapa tokoh yang kemudian dijadikannya sebagai guru-gurunya dalam
berbagai disiplin. Diantara guru-gurunya di Makkah yang terkenal adalah sebagai
berikut. Pertama, Syaikh Mahfudh al-Tarmisi, seorang putera kyai
Abdullah yang memimpin pesantren Tremas. Dikalangan kyai di Jawa, Syeikh
mahfudh dikenal sebagai seorang ahli Hadist Bukhari. Kedua, Syaikh Ahmad
Khatib dari Minangkabau. Syaikh Ahmad Khatib menjadi ulama bahkan sebagai guru
besar yang cukup terkenal di Makkah, di samping menjadi salah seorang
imam di Masjid al-Haram untuk para penganut Mazhab Syafi’i. Ketiga, KH.
Hasyim Asy’ari berguru kepada sejumlah tokoh di Makkah, yakni Syaikh al-Allamah
Abdul Hamid al-Darutsani dan Syaikh Muhammad Syuaib al-Maghribi. Selain iyu, ia
berguru kepada Syaikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid
Ahmad ibn Hasan al-Attar, Syaikh Sayid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad as-Saqaf,
Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Shaleh Bafadhal dan
Syaikh Sultan Hasyim Dagatsani.
Diantara
ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh KH M. Hasyim Asy’ari selama di
Makkah, adalah Fiqh, dengan konsentrasi mazhab Syafi’i, ulum al-Hadist, tauhid,
tafsir, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah dan
lain-lain). Dari beberapa disiplin ilmu itu, yang menarik perhatian
beliau adalah disiplin hadist imam Muslim. Hal ini didasarkan pada asumsi yang
menyatakan bahwa untuk mendalami ilmu hukum Islam, disamping mempelajari
al-Qur’an dan tafsirnya secara mendalam, juga harus memiliki pengetahuan yang
cukup baik mengenai hadis dengan syarh dan hasyiyah-nya. Untuk
itulah, disiplimn hadist menjadi yang sangat penting untuk dipelajari.
Perjalanan
intelektal KH. Hasyim Asy’ari di Makkah berlangsung selama 7 tahun. Masa ini
tampaknya telah membuat beliau memiliki kecakapan-kecakapan sendiri, terutama
dalam pengetahuan keagamaan. Oleh karena itu, pada tahun 1900 M, beliau pulang
kampung halamannya. Dalam catatan Zamarkhsyi Dhofier, setelah beberapa bulan
kembali ke Jawa, beliau mengajar di pesantren Gedang, sebuah pesantren yang
didirikan oleh kakeknya KH. Usman. Setelah mengajar di pesantren ini, ia
membawa 28 orang santri untuk mendirikan pesantren baru dengan seizin kyainya.
Dengan dukungan
itulah, diantaranya KH. Hasyim Asy’ari berpindah tempat dengan memilih daerah
yang penuh tantangan yang dikenal dengan daerah ”hitam”. Tepat pada tanggal
26Rabiul Awwal 1320 H. Bertepatan dengan 6 Februari 1906 M, KH Hasyim Asy’ari
mendirikan pondok pesantren Tebuireng. Di pesantren inilah banyak melakukan
aktivitas-akivitas sosial-kemanusiaan sehingga ia tidak hanya berperan sebagai
pimpinan pesantren secara formal, tetapi juga pemimpin kemasyarakan secara
informal.
Sebagai
pemimpin pesantren, beliau melakukan pengembangan instiusi pesantrenya, termask
mengadakan pembaharuan sistem dan kurikulum. Jika pada saat itu pesantren hanya
mengembangkan sistem halaqah, maka beliau mmperkenalkan sistem belajar
madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, disamping pendidikan
keagamaan.
Aktifitas KH.
Hasyim Asy’ari di bidang sosial yang lain adalah mendirikan organisasi Nahdhaul
Ulama, bersama dengan ulama besar lainnya, seperti Syaikh Abdul Wahab da Syaikh
Bishri Syansuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi
yang didirkannya ini memiliki tujuan untuk memperkokoh pengetahuan keagamaan di
kalangan masyarakat, sebagaimana termaktub dalam Statuten Perkoempoelan
Nahdlatoul-’Oelama,;. Fatsal 2.Adapoen maksoed perkoempoelan ini
jaitoe:”memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam empat,
jaitoe Imam Moehammad bin Idris asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe
Hanifah an-Noeman, atau Imam bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang
mendjadikan kemaslahatan Agama Islam”.
Organisasi
Nahdlatul Ulama’ ini didukung oleh para ulama, terutama ulama Jawa dan
komunitas pesantren. Memang pada awalnya, organisasi ini dikembangkan untuk
meresponi wacana negara khilafah dan gerakan purifikasi yang dimotori oleh
Rasyid Ridla di Mesir. Akan tetapi, pada perkembangannya kemudian organisasi
itu melakukan rekontruksi social keagamaan yang lebih umum. Dewasa ini,
Nahdlatul Ulama berkembang menjadi organisasi sosial keagamaan terbesar di
Indonesia.
KH. Hasyim
Asy’ari wafat pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H di kediaman beliau, yaiu Tebuireng
Jombang, dan dimakamkan di Pesantren yang beliau bangun.
0 komentar:
Posting Komentar