BAB II
PEMBAHASAN
A.
HIJRAH RASULULLAH KE THAIF
Setelah
merasakan berbagai siksaan dan penderitaan yang dilancarkan kaum Quraisy,
Rasulullah bersama Zaid bin Haritsah berangkat ke Thaif mencari perlindungan
dan dukungan dari bani Tsaqif dan berharap agar mereka dapat menerima ajaran
yang dibawanya dari Allah.
Setibanya
di Thaif, beliau menuju tempat para pemuka bani Tsaqif, sebagai orang-orang
yang berkuasa di daerah tersebut. Beliau berbicara tentang Islam dan mengajak
mereka supaya beriman kepada Allah. Tetapi ajakan beliau terebut ditolak
mentah-mentah dan dijawab secara kasar. Kemudian Rasulullah bangkit dan
meninggalkan mereka, seraya mengharap supaya mereka menyembunyikan berita
kedatangannya ini dari kaum Quraisy, tetapi merekapun menolaknya.
Mereka
lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya
dengan batu, sehingga mengakibatkan cidera pada kedua kaki Rasulullah. Zaid bin
Haritsah berusaha keras melindungi beliau, tetapi kewalahan, sehingga ia
sendiri terluka.
Setelah
Rasulullah sampai di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah kaum penjahat dan para
budak yang mengejarnya berhenti dan kembali. Tetapi tanpa diketahui ternyata
beliau sedang diperhatikan oleh dua orang anak Rabi’ah yang sedang berada di
dalam kebun.
Setelah
merasa tenang di bawah naungan pohon kurma, Rasulullah mengangkat kepalanya
seraya mengucapkan doa berikut, “Ya Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku
kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai
Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi yang
lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan
? Kepada orang jauh ynag berwajah suram terhadapku, atau kah kepada musuh yang
akan menguasai diriku ? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak
kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku.
Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan
mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau
turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan
kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.“
Berkat doa
Rasulullah itu tergeraklah rasa iba di dalam hati kedua anak lelaki Rabi’ah
yang memiliki kebun itu. Mereka memanggil pelayannya seorang Nasrani, bernama
Addas, kemudian diperintahkan, “Ambilkan buah kurma, dan berikan kepada orang
itu!“ Ketika Addas meletakkan kurma itu di hadapan Rasulullah, dan berkata
kepadanya,“ Makanlah!“ Rasulullah mengulurkan tangannya seraya mengucapkan,
“Bismillah.“ Kemudian dimakannya.
Mendengar
ucapan beliau itu, Addas berkata, “Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah
diucapkan oleh penduduk daerah ini. “Rasulullah bertanya, “Kamu dari daerah
mana dan apa agamamu?“ Addas menjawab,“ Saya seorang Nasrani dari daerah Ninawa
(sebuah desa di Maushil sekarang). “Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kamu dari
negeri seorang saleh yang bernama Yunus bin Matius ?“ Rasulullah saw
menerangkan “Yunus bin Matius adalah saudaraku. Ia seorang Nabi dan aku pun
seorang Nabi.“ Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan Rasulullah,
lalu mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki beliau.
Kemudian
Rasulullah bersama Zaid berangkat menuju ke Mekkah. Ketika itu Zaid bin Haritsa
bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah,
sedangkan penduduknya telah emngusir engkau dari sana?“ Beliau menjawab, “ Hai
Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.“
Lalu
Rasulullah mengutus seorang lelaki dari Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin Adi
dan mengabarkan bahwa Rasulullah ingin masuk ke Mekkah dengan perlindungan
darinya. Keinginan Rasulullah ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya
Rasulullah kembali memasuki Mekkah.
Dari
peristiwa hijrah yang dilakukan Rasulullah ini dan dari siksaan dan penderitaan
yang ditemuinya dalam perjalanan ini, kemudian dari proses kembalinya
Rasulullah ke Mekakh, kita dapat menarik beberapa perlajaran bahwa semua bentuk
penyiksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullahs, khususnya dalam perjalanan
hijrah ke Thaif ini hanyalah merupakan sebagian dari perjuangan tabligh-nya
kepada manusia.
Diutusnya
Rasulullah bukan hanya untuk menyampakan aqidah yang benar tentang alam dan
penciptaannya, hukum-hukum ibadah, akhlak, dan mu’amalah tetapi juga untuk
menyampaikan kepada kaum muslimin kewajiban bersabar yang telah diperintahkan
Allah dan menjelaskan cara pelaksanaan sabar dan mushabarah (melipatgandakan
kesabaran) yang diperintahkan Allah di dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap
siaga dan bertawakalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.“ (QS. Ali Imran :
200).
Dalam
memandang fenomena hijrah Rasulullah ke Thaif ini, mungkin ada orang
menyimpulkan bahwa Rasulullah telah menemui jalan buntu dan merasa putus asa,
sehingga dalam menghadapi penderitaan yang sangat berat itu ia mengucapkan doa
tersebut kepada Allah, setelah tiba di kebun kedua anak Rabi’ah. Tetapi
sebenarnya Rasulullah telah menghdapi penganiayaan tersebut dengan penuh ridha,
ikhlas dan sabar. Seandainya Rasulullah tidak sabar menghadapinya tentu beliau
telah membalas jika suka tindakan orang-orang jahat dan para tokoh Bani Tsaqif
yang mengerahkan mereka. Namun ternyata Rasulullah tidak melakukannya.
Aisyah, ia
berkata: “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih
berat dari peristiwa Uhud ?“ Jawab Rasulullah, “Aku telah mengalami berbagai
penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan
ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil
bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di
Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba
munsul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat
penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu,“ Rasulullah melanjutkan,
kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku
lalu berkata, “ Wahai Muhammad !Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan
kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah
mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku
bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.“ Jawab Rasulullah,
“Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan
mereka generasi yang menyambah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan
sesuatu pun.“ (HR. Bukhari Muslim).
Ini
menunjukkan bahwa Rasulullah ingin mengajarkan kepada para sahabatnya dan
umatnya sesudahnya, kesabaran dan seni kesabaran dalam menghadapi segala macam
penderitaan di jalan Allah.
Demi Allah
! Ini bukanlah ketabahan manusia biasa yang memiliki kekuatan lebih dalam
menghadapi penderitaan dan tekanan. Tetapi ia adalah keyakinan Nubuwwah yang
telah menghujam dalam di dalam hatinya. Rasulullah mengetahui bahwa segala
tindakkannya itu semata-mata untuk menjalankan perintah Allah dan berjalan di
atas jalan yang diperintahkan-Nya, beliau tidak pernah ragu sedikitpun bahwa
Allah pasti akan memenangkan urusan-Nya, dan bahwa Dia telah menjadikan
ketentuan bagi tiap sesuatu.
Sesungguhnya
penderitaan dan musibah yang menimpah manusia mempunyai beberapa hikmah. Di
antaranya, akan membawa orang yang mengalami musibah dan penderitaan itu kepada
pintu Allah dan meningkatkan ‘Ubudiyah kepada-Nya. Maka tidak ada pertentangan
antara kesabaran terhadap penderitaan dan pengaduan kepada Allah. Bahkan kedua
sikap ini merupakan tuntutan yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Melalui
kesabarannya terhadap penderitaan dan penganiayaan, Rasulullah ingin
mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran ini adalah tugas setiap kaum muslimin.
B.
ISRA’ MI’RAJ
Peristiwa Isra’
Mi’raj adalah salah satu peristiwa yang agung dalam perjalanan hidup Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian orang meyakini kisah
yang menakjubkan ini terjadi pada Bulan Rajab. Benarkah demikian? Bagaimanakah
cerita kisah ini? Kapan sebenarnya terjadinya kisah ini? Bagaimana pula
hukum merayakan perayaan Isra’ Mi’raj? Simak pembahasannya dalam
tulisan yang ringkas ini.
1.
Pengertian
Isra’ Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’
bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah
perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah
ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)
Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat
yang dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga
khusus yang digunakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman Allah dalam
surat An Najm ayat 1-18
2.
Kisah
Isra’ Mi’raj
Secara
umum, kisah yang menakjubkan ini disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla
dalam Al-Qur`an dalam firman-Nya:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam
firman-Nya:
“Demi
bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru,
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang
diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang
cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia
berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi,
maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih
dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah
Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka
apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah
dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya
yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada
surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha
diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya
dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling
besar”. (QS.
An-Najm : 1-18)
Adapun
rincian dan urutan kejadiannya banyak terdapat dalam hadits yang shahih dengan
berbagai riwayat. Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab beliau yang
berjudul Al Isra` wal Mi’raj menyebutkan 16 shahabat yang meriwayatkan
kisah ini. Mereka adalah: Anas bin Malik, Abu Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Ibnu
‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslamy,
Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin Aus, Shuhaib, Abdurrahman bin Qurath, Ibnu
‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan ‘Umar radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Di antara
hadits shahih yang menyebutkan kisah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam shahihnya , dari sahabat Anas bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“
Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih yang panjang, lebih besar
dari keledai dan lebih kecil dari baghal, dia meletakkan telapak kakinya di
ujung pandangannya (maksudnya langkahnya sejauh pandangannya). Maka sayapun
menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat
yang digunakan untuk mengikat tunggangan para Nabi. Kemudian saya masuk ke
masjid dan shalat 2 rakaat kemudian keluar . Kemudian datang kepadaku
Jibril ‘alaihis salaam dengan membawa bejana berisi khamar dan
bejana berisi air susu. Aku memilih bejana yang berisi air susu. Jibril
kemudian berkata : “ Engkau telah memilih (yang sesuai) fitrah”.
Kemudian
Jibril naik bersamaku ke langit (pertama) dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka
dibukakan bagi kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Adam. Beliau
menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke langit kedua,
lalu Jibril ‘alaihis salaam meminta dibukakan pintu, maka dikatakan
(kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang
bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit kedua) dan
saya bertemu dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya shallawatullahi
‘alaihimaa, Beliau berdua menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian
Jibril naik bersamaku ke langit ketiga dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka
dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf
‘alaihis salaam yang beliau telah diberi separuh dari kebagusan(wajah). Beliau
menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku
ke langit keempat dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan
(kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang
bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab: “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketiga)
dan saya bertemu dengan Idris alaihis salaam. Beliau menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman yang artinya : “Dan Kami telah
mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (Maryam:57).
Kemudian
Jibril naik bersamaku ke langit kelima dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab:“Muhammad”
Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka
dibukakan bagi kami (pintu langit kelima) dan saya bertemu dengan Harun
‘alaihis salaam. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku
Kemudian
Jibril naik bersamaku ke langit keenam dan Jibril meminta dibukakan
pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”.
Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan:
“Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi
kami (pintu langit) dan saya bertemu dengan Musa. Beliau menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit
ketujuh dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa
engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab, “Muhammad” Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?” Dia menjawab, “Dia
telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit ketujuh) dan saya bertemu
dengan Ibrahim. Beliau sedang menyandarkan punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap
hari masuk ke Baitul Ma’muur tujuh puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi.
Kemudian Ibrahim pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya
seperti telinga-telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia
diliputi oleh perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari
makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya
Lalu
Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah mewajibkan kepadaku 50
shalat sehari semalam. Kemudian saya turun menemui Musa ’alaihis salam.
Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab:
“50 shalat”. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan,
karena sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Sesungguhnya saya
telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”. Beliau bersabda :“Maka sayapun kembali
kepada Tuhanku seraya berkata: “Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”.
Maka dikurangi dariku 5 shalat. Kemudian saya kembali kepada Musa dan
berkata:“Allah mengurangi untukku 5 shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu
tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah
keringanan”. Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku Tabaraka wa
Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam, sampai pada akhirnya Allah berfirman:“Wahai
Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari semalam, setiap shalat
(pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat. Barangsiapa yang meniatkan kejelekan
lalu dia tidak mengerjakannya, maka tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun.
Jika dia mengerjakannya, maka ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya
turun sampai saya bertemu dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal
ini kepadanya. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah
keringanan”, maka sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku
sampai sayapun malu kepada-Nya”. (H.R Muslim 162)
3. Kapankah Isra` dan Mi’raj?
Sebagian
orang meyakini bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab. Padahal, para
ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal kejadian kisah ini. Ada
beberapa perbedaan pendapat mengenai penetapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj
, yaitu :
a. Peristiwa tersebut terjadi pada
tahun tatkala Allah memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
nubuwah (kenabian). Ini adalah pendapat Imam Ath Thabari rahimahullah.
b. Perisitiwa tersebut terjadi lima
tahun setelah diutus sebagai rasul. Ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh
Imam An Nawawi dan Al Qurthubi rahimahumallah.
c. Peristiwa tersebut terjadi pada
malam tanggal dua puluh tujuh Bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian. Ini adalah
pendapat Al Allamah Al Manshurfuri rahimahullah.
d. Ada yang berpendapat, peristiwa
tersebut terjadi enam bulan sebelum hijrah, atau pada bulan Muharram tahun
ketiga belas setelah kenabian.
e. Ada yang berpendapat, peristiwa
tersebut terjadi setahun dua bulan sebelum hijrah, tepatnya pada bulan Muharram
tahun ketiga belas setelah kenabian.
f. Ada yang berpendapat, peristiwa
tersebut terjadi setahun sebelum hijrah, atau pada bulan Rabi’ul Awwal tahun
ketiga belas setelah kenabian.
Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri
hafidzahullah menjelaskan : “Tiga pendapat pertama tertolak. Alasannya
karena Khadijah radhiyallahu ‘anha meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh setelah kenabian,
sementara ketika beliau meninggal belum ada kewajiban shalat lima waktu. Juga
tidak ada perbedaan pendapat bahwa diwajibkannya shalat lima waktu adalah pada
saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Sedangakan tiga pendapat lainnya, aku
tidak mengetahui mana yang lebih rajih. Namun jika dilihat dari kandungan surat
Al Isra’ menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada
masa-masa akhir sebelum hijrah.”
Dapat kita simpulkan dari penjelasan
di atas bahwa Isra` dan Mi’raj tidak diketahui secara pasti pada
kapan waktu terjadinya. Ini menunjukkan bahwa mengetahui kapan waktu terjadinya
Isra’ Mi’raj bukanlah suatu hal yang penting. Lagipula, tidak
terdapat sedikitpun faedah keagamaan dengan mengetahuinya. Seandainya ada
faidahnya maka pasti Allah akan menjelaskannya kepada kita. Maka memastikan
kejadian Isra’ Mi’raj terjadi pada Bulan Rajab adalah suatu kekeliruan. Wallahu
‘alam..
4.
Hikmah
Terjadinya Isra`
Apakah
hikmah terjadinya Isra`, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak Mi’raj langsung dari Mekkah padahal hal tersebut memungkinkan?
Para ulama menyebutkan ada beberapa hikmah terjadinya peristiwa Isra`,
yaitu:
a. Perjalanan Isra’ di
bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih memperkuat hujjah bagi orang-orang
musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke langit, seandainya ditanya
oleh orang-orang musyrik maka beliau tidak mempunyai alasan yang memperkuat
kisah perjalanan yang beliau alami. Oleh karena itu ketika orang-orang
musyrik datang dan bertanya kepada beliau, beliau menceritakan tentang kafilah
yang beliau temui selama perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut
pulang dan orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru
mengetahui benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
b. Untuk menampakkan hubungan antara
Mekkah dan Baitul Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah
pengikut para nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul
Maqdis dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan beliau
melihat kedua kiblat dalam satu malam.
c. Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa
dengan mereka di Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka.
Nabi
Muhammad s.a.w hijrah ke Madinah setelah mendapatkaan wahyu dari Allah (Q.s.
Al-anfal ayat 30). Diterangkan bahwa ada orang-orang yang berdaya upaya untuk
mencelakai Nabi. Nabi berhijrah bersama sahabatnya Abu bakar a.s.
Sebelum melakukan perjalanan ke
Madinah, Nabi bersama Abu Bakar bersembunyi di gunung tsur dalam Gua tsur
selama 3 hari 3 malam.
Pada saat itu Nabi dan Sahabat Abu
Bakar tengah pengejaran para kaum musyrikin quraisy. Mereka hendak membunuh
Nabi sebagai upaya memadamkan cahaya islam.
Namun, upaya pengejaran belum
berhasil karena banyak pertolongan Allah diberikan kepada Nabi dan Abu Bakar.
Terlihat dari adanya sarang laba-laba dan sarang telur merpati di pintu gua
tsur. Sehingga mengindikasikan tidak ada orang di dalamnya.
Barulah setelah itu, Nabi bersama
sahabat Abu Bakar memulai perjalanan menuju Madinah. Diriwayatkan bahwa Nabi
dan Abu bakar melakukan perjalanan bersama dua orang penunjuk jalan yaitu
Abdullah bin Uraiqith dan Amir Bin Fuhairah dengan berkendaraan unta.
Kaum musyrikin quraisy setelah
kehilangan Nabi dan Abu Bakar, mereka sibuk menyiarkan ke sekeliling kota Mekah
dan kepada Suku-suku dan kabilah, kepala-kepalanya dimintai pertolongan untuk
mencari Nabi Muhammad. Siapapun yang berhasil menangkap nabi akan diberikan 100
ekor unta.
Di tengah perjalanan di sebuah dusun
bernama qudaidin. Salah seorang penduduknya mengenali Nabi dan sahabat Abu
bakar. Kemudian diceritakan kepada pemimpin kabilahnya bernama Suraqah bin
Malik Al Mudlij. Namun Suraqah menyangkalnya karena ia ingin menangkapnya
sendirian.
Secepatnya Suraqah mengejar
perjalanan Nabi dan Sahabat Abu Bakar. Abu bakar yang mengetahui ada
seseorang mengejarnya merasa khawatir sampai menangis kalau orang tersebut
menangkap Nabi. Nabi pun berdoa’a kepada Allah dan dengan kehendak Allah
berulang kali kuda yang ditunggangi Suraqah tergelincir dan Suraqah jatuh
terpelanting ke tanah. Keluarlah rasa bahwa kemenangan akan di dapat oleh Nabi
Muhammad.
Kemudian Suraqah memanggil nama Nabi
dan meminta perlindungan dari bahaya dan juga mengucapkan beribu maaf.
Akhirnya mengadakan perjanjian tertulis.
Dari Suraqahlah Nabi mulai
mengetahui tentang imbalan 100 ekor unta jika berhasil menangkapnya. Nabi
tersenyum dan memerintahkan untuk merahasiakan tentang kepergian dirinya.
Selanjutnya Nabi dan sahabat Abu
Bakar singgah di sebuah perkemahan milik seorang perempuan bernama Ummu Ma’bad.
Mereka hendak membeli kurma, daging, dan air susu. Pada saat itu nabi melihat
seekor kambing yang kurus menderita payah dan sakit. Beliau hendak memerah
susunya dengan ijin Allah memancarlah begitu banyak air susu, padahal kambing
itu sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air susu. Peristiwa menakjubkan ini
diceritakan kembali oleh Ummu Ma’bad kepada suaminya Abu Ma’bad. Sampai-sampai
ia pun bercita-cita jika bertemu Nabi ingin menjadi pengikut dan sahabatnya.
Sesudah itu, bertemu pula dengan
rombonganm kafilah dari Qabilah Banu Sahmin yang dikepalai oleh Buraidah bin
Al-Hashib Al-Aslamy. Buraidah yang berhasrat mendapatkan hadiah 100 ekor unta
ingin pula menangkap Nabi.
Beserta 70 orang kaumnya hendak
menangkap Nabi namun dengan kehendak Allah seketika itu mereka semua membaca
Syahadat dan berislam.
Sebelum sampai di Madinah beliau
telah mendapat pengikut baru yang dijumpai selama perjalanan. Mereka mengiringi
Nabi hingga ke Madinah. Saat masuk ke Madinah dikibarkanlah bendera.
0 komentar:
Posting Komentar