tokoh pendidikan islam abad 20
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN ISLAM DAN PEMIKIRANNYA ABAD KE-20
A. MAHMUD YUNUS
1. Riwayat hidup Mahmud Yunus
Beliau dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 di Batusangkar, Sumatera Barat. Semenjak kecil beliau sudah mempunyai kecendrungan kepada ilmu pengetahuan agama. Ketika berumur 7 tahun beliau menempuh pendidikan Al-Qur’an dibawah bimbingan kakeknya M. Thahir (Tuangku Gadang). Setelah menamatkan pendidikan tersebut beliau menggantikan sang kakek menjadi seorang guru. 2 tahun kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Desa dan kemudian meneruskan ke Madrasah School. Pada tahun 1923 beliau menunaikan ibadah haji, dan belajar ke Mesir di Al-Azhar (1924), dan Dar El Ulum Ulya (Cairo) hingga tahun 1930.
Pada bidang politik beliau juga ikut mempertahankan kemerdekaan RI dan beliau terpilih sebagai penasehat presiden mewakili Majelis Islam Tinggi.
2. Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Pendidikan Islam
a. Kurikulum
Di bidang kurikulum beliau menawarkan kurikulum pengajaran bahasa arab yang integrated antara satu cabang dengan cabang lainnya dalam bahasa arab yang dipadukan dengan menerapkannya dalam pergaulan sehari-hari
b. Kelembagaan
Beliau merupakan salah seorang yang mempelopori untuk mengubah sistem pendidikan dari yang bercorak individual kepada sistem pendidikan klasikal
c. Metode Pengajaran
Beliau mempunyai perhatian yang sangat besar mengenai hal ini. Beliau memberikan sebuah buku pegangan bagi para guru-guru agama yang berisikan tentang cara mengajarkan agama yang sebaik-baiknya kepada peserta didik sesuai dengan tingkat usia dan pendidikan yang diikutinya. Beliau juga menulis buku yang berjudul “metode khusus pendidikan agama”
Mengetahui metode mengajar itu sangat penting bagi seorang guru. Keberhasilan atau kegagalan guru dalam mengajar sering terletak pada metode pengajaran yang ditempuhnya. Apabila cara (metode) mengajar itu baik dan sesuai dengan kaidah asas-asas mengajar, maka banyak kemungkinan mendapatkan hasil yang baik pula. Guru yang pintar menurut Mahmud yunus, menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, mempunyai banyak sumber bacaan dan sebagainya, tetapi ia mengalami kegagalan, tidak mampu membuat muridnya paham terhadap apa apa yang diajarkannya. Kegagaln ini, menurutnya disebabkan oleh kasalahan dalam memilih metode, atau ia tidak memakai metode yang efektif dan efisien
B. BUYA HAMKA
1. Riwayat hidup Buya Hamka
Buya Hamka lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 16 Februari 1908. Haji Abdul Karim Amarullah (Hamka) pernah menjadi pemimpin pertama MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Semenjak muda beliau banyak aktif di organisasi Muhammadiyah, dan merupakan tokoh yang berpengaruh di organisasi Muhammadiyah.
Beliau hidup dan berkembang dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal. Beliau menerima dasar-dasar agama dari sang ayah. Oleh sang ayah beliau dibawa ke Padang Panjang untuk mengecap pendidikan disana. Pelaksanaan pendidikan di Padang Panjang masih bersifat tradisional, materi yang diberikan berorientasikan pada pengajian kitab-kitab klasik, seperti; nahwu, sharaf, mantiq, bayan, fiqh (Thawalib Parabek).
Ketika berada di Yogyakarta, beliau juga belajar kepada kepada Ki Bagus Hadikusumo (tafsir), RM Suryo Pranoto (Sosiologi). Beliau banyak mengembangkan ide-ide sehingga terbentuklah pemikiran-pemikiran tentang Islam sebagai suatu yang statis dengan Islam sebagai suatu yang dinamis seperti yang hidup di Yogyakarta.
3. Pemikiran Buya Hamka Tentang Pendidikan Islam
a. Urgensi Pendidikan Bagi Manusia
Menurut Buya Hamka, penyebab terjadinya kemunduran umat Islam di Indonesia adalah banyak disebabkan oleh pada pendidikan yang bersifat tradisional. Disamping itu pendidikan yang diajarkan hanya berupa ilmu-ilmu warisan kaum kafir (Kolonial Belanda).
Setiap manusia memiliki fitrah (potensi) yang dinamis, fitrah manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan untuk mengabdi kepada sang Khalik. Menurut beliau pendidikan sangat penting bagi manusia untuk membawa ke arah yang lebih baik, sehingga fitrah yang telah diberikan oleh sang Khalik tersebut tidak terbengkalai atau lepas dari nilai-nilai kebajikan.
b. Terminologi Pendidikan Islam
Buya Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran, menurutnya pendidikan merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk watak, budi pekerti, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk. Sedangkan pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.
Buya Hamka juga berpendapat bahwa: ”berdasarkan akalnya manusia dapat menciptakan peradaban dengan baik”, fenomena ini dapat dilihat dari sejarah manusia di muka bumi. Disamping itu fungsi pendidikan tidak hanya sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian peserta didik saja, akan tetapi proses sosialisasi peserta didik dengan lingkungan dimana tempat ia berada.
c. Tugas Dan Tanggung Jawab Pendidik
Menurut Beliau tugas dan tanggung jawab seorang pendidik adalah memantau, mempersiapkan dan menghantarkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfa’at bagi kehidupan masyarakat. Untuk melaksanakan hal ini ada 3 institusi yang bertugas dan bertanggung jawab :
a. Lembaga Pendidikan Informal (Keluarga)
b. Lembaga Pendidikan Formal (Sekolah)
c. Lembaga Pendidikan Non Formal (Masyarakat)
C. MUHAMMAD NATSIR
1. Riwayat Hidup Muhammad Natsir
Muhammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada tanggal 17 Juli 1908 M. Ibunya bernama Khadijah , ayahnya bernama Muhammad Idris Sutan Saripado. Pendidikan beliau dimulai dari HIS (Holandsch Inlandshe School), dan belajar membaca Al-Qur’an pada malam hari. Pada tahun 1927 beliau bersekolah di AMS (Algemene Middlebare School), Bandung. Selama di Bandung beliau banyak memperdalam dan mengkaji ilmu-ilmu agama dan berguru kepada A Hasan
2. Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Pendidikan Islam
Muhammad Natsir berbicara tentang komponen Pendidikan;
a. Peran dan fungsi Pendidikan
- Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan dapat mencapai pertumbuhan dan pengembangan rohani secara sempurna
- Pendidikan harus diarahkan untuk membentuk anak didik yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlakul karimah
- Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar
- Pendidikan berperan membawa manusia untuk mencapai tujuan hidup
b. Tujuan Pendidikan
“merealisasikan identitas Islam yang pada intinya adalah menghasilkan manusia yang berperilaku Islam, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus dita’ati
c. Dasar Pendidikan
Menurut M. Natsir yang menjadi dasar dari Pendidikan Islam yaitu Tauhid
d. Ideologi dan Pendekatan Dalam Pendidikan Islam
Beliau menggariskan ideologi pendidikan Islam harus bertitik tolak, dan berorientasikan tauhid. Sebagaiman tersimpul dalam Syahadatain.
e. Fungsi Bahasa Asing
Beliau berpendapat bahwa bahasa asing sangat berperan dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa
D. M. RASJIDI
1. Riwayat Hidup M. Rasjidi
Prof. DR. Rasjidi (baca : Rasyidi, ejaan lama) merupakan salah satu tokoh Islam yang memiliki kepedulian dengan urusan kehidupan umat Islam terutama akibat pendangkalan iman akibat pengaruh aliran kebatinan maupun usaha kristenisasi. Prof. Rasjidi, selanjutnya disebut demikian, lahir di Kotagede, Yogyakarta, pada 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H. Wafat 30 Januari 2001. Nama kecilnya adalah Saridi namun setelah menjadi murid Ahmad Syurkati, pimpinan Al-Irsyad, sebelum lulus dari pelajarannya Saridi diberi nama baru oleh Ahmad Syurkati sebagai “Muhammad Rasjidi”. Namun nama baru tersebut secara resmi baru dipakai oleh Saridi pasca menunaikan ibadah haji, beberapa tahun kemudian. Beliau lahir dalam sebuah lingkungan Jawa yang kental dengan nuansa keislaman. Namun demikian praktik-praktik kebatinan masih nampak dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya di masa kecil. Bahkan pada masa selanjutnya beliau mengakui bahwa dirinya berasal dari latar belakang “keluarga abangan” yaitu penganut agama Islam namun tidak melakukan ibadah Islam dalam kesehariannya sebagaimana mestinya. Keluarganya bernaung di rumah Joglo tempat beliau dibesarkan yang pada hari-hari tertentu tidak melewatkan adanya pemasangan sesaji.
Tidak jauh dari rumah Prof. Rasjidi kecil, hanya berjarak beberapa ratus meter, terdapat masjid dan makam Panembahan Senopati dan Ki Ageng Pemanahan serta beberapa sumber air pemandian yang jarang sepi dari praktik-praktik mistik kejawen. Banyak ditemukan rakyat jelata yang mempersembahkan sesaji kepada penunggu tempat-tempat tersebut seraya mengharapkan berkah tertentu seperti kekayaan, keberuntungan, lekas mendapat jodoh, dan lain sebagainya. Meskipun hidup dalam lingkungan yang demikian namun pada akhirnya Rasjidi menyadari bahwa dirinya membutuhkan asupan rohani yang bersifat keagamaan. Kesadarannya akan Islam kemudian terbentuk menjadi pandangan hidupnya.
Umumnya, masyarakat Indonesia mengenal sosok Rasjidi sebagai Menteri Agama pertama di Indonesia. Akan tetapi sebenarnya, Rasjdi sebelumnya pernah menjabat sebagai menteri negara yang mengurusi permasalahan umat Islam pada kabinet Syahrir I (14 Nopember 1945 – 12 Maret 1946). Ia diangkat menggantikan Wahid Hasjim sebagai menteri agama pada kabinet seblumnya, yaitu Kabinet Presidensil I yang berusia cukup singkat (2 September 1945 – 14 Nopember 1945) di bawah pemerintahan Presiden Soekarno. Rasjid pernah diangkat menjadi sekretaris misi Diplomatik RI yang dipimpin oleh KH. Agus Salim ke beberapa negara Arab dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan memperoleh pengakuan dari negara lain sebagai negara merdeka dan berdaulat. Adapun jabatan yang penah diduduki Rasjidi lainnya adalah sebagai berikut :
· Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941)
· Pegawai Departemen P & K di zaman Jepang
· Pegawai RRI Jakarta, siaran luar negeri ; Menteri Agama Kabinet Sjahrir (1946)
· Sekretaris, kemudian ketua delegasi diplomatik RI ke negara- negara Arab (1947-1949)
· Dubes RI di Mesir dan Arab (1950-1951)
· Dubes RI di Pakistan (1956-1958)
· Associate Professor pada Institut Studi Islam, Universitas McGill, Kanada (1959)
· Direktur Islamic Center, Washington, AS
· Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
· Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta
· Anggota PP Muhammadiyah
· Anggota Dewan Dakwah Islamiy
2. Pemikiran M. Rasjidi Tentang Pendidikan Islam
Kurikulum Terpadu dalam Perspektif M. Rasjidi
Kurikulum terpadu antara lain ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Dalam pemikiran M. Rasjidi bahwa setiap manusia itu harus mengembangkan akalnya, khususnya dibidang ilmu pengetahuan. Akan tetapi ilmu pengetahuan yang dikaji Harus dilandaskan dengan pengetahuan agama, agar menjadi kepribadian yang sempurna dan utuh
Baik ilmu pengetahuan dan agama mempunyai dua wajah, yaitu, social dan yang intelektualm ilmu pengetahuan telah berinteraksi dengan agama, sebagaiman ia telah menyerbu kesegenap sendi kehidupan kita. Meskipun kultus-kultus popular tersebut diatas berujung pada kebodohan yang telanjang, namun sebgaimana dikatakan semua itu pada awalnya mengklaim keilmiahannya. Jadi berdasarkan tinjauan itu dengan perkataan lain, ilmu pengetahuan telah mempengaruhi kehidupan beragama. Tetapi tidak pada tingkat intelektualnya melainkan hanya pada taraf berbagai klaim keilmiahan yang masih harus dibuktikan ke validitasannya.
Karena dorongan kebutuhan rohani yang mendesak itu, maka kebanyakan orang masih mendapati doktrin-doktrin keagamaan lebih bisa meyakinkan dirinya ketimbang argument-argumen ilmiyah. Tapi tidak ada agama yang bisa diharapakan akan bertahan lama jika berdasarkan kepercayaan kepada asumsi-asumsi yang secara ilmiah jelas salah” adalah kebangkrutan ilmiah suatu system kepercayaan itu yang akan menjadi sumber pemukulan balik kerohaniyahannya kepada para pemeluknya
Maka dari itu tidak bisa dihindari adanya keperluan kegiatan telaah atas nuktah-nuktah ajaran keagamaan, tapi ini bukanlah merupaka hujjah untuk superioritas intelek atau rasio dalam menghadi wahyu yang sikap menerima kebenaranya disebut marshall hodgson sebagai “Creatife Action” itu berada pada dataran persepsi yang lebih tinggi dari pada rasio, sebagaiman persepsi rasional yang baik memerlukan atau mempermudah oleh adanya persepsi rasional yang baik. Dengan kata lain keimanan didukung oelh intelektulisme al-iman menjadi kukuh karena al-ilm atau al-aql. Jika kita perhatikan dorongan langsung dalam al-qur’aan kepada manusia untuk menggunakan rasionya, maka tujuan dan harapannya adalah bahwa dengna menggunaklan persepsi rasional yang baik itu akamn sampai kepada persepsi religious yang baik pula, lepas dari keontetikan sumber pengucapannya, ungkapan bahwa “ agama adalah akal dan tidak ada agama bagi mereka yang tidak berakal” mengandung makna kebenaran yang asasi
Perpaduan itu mestilah terjadi sebagai proses pelarutan dan bukan sekedar percampuran biasa. Perbedaan antar proses pelarutan dengan proses percampuran barngkali secara sederhana
Pemikiran ini mengandaikan penemuana suatu bentuk perpaduan antara materi-materi pendidikan agama dengan umum yang barangkali akan merupakan suatu konsep islami. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam persoalan hakekat pendidkan islam adalah karakteristiknya yang khas.
E. HARUN NASUTION
1. Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 23 September 1919. Beliau adalah putera keempat dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama serta pedagang, menjadi qadhi dan penghulu di Pematang Siantar. Ibunya adalah keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan.
Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar, Holland-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1934, ia melanjutkan studi Islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis, Moderne Islamietiesche Kweekcshool (MIK) di Bukittinggi dan tamat pada tahun 1937. Kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir dan memperoleh Ahliyah, pada tahun 1940 dan Candidat dari Fakultas Ushuluddin pada tahun 1942. Di Mesir ia juga memasuki Universitas Amerika, Kairo dan memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) dalam Studi Sosial pada tahun 1952.
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1953, Harun Nasution bertugas di Departemen Luar Negeri Bagian Timur Tengah. Selama tiga tahun, sejak tahun 1955 bertugas di Kedutaan Republik Indonesia di Brussel dan banyak mewakili berbagai per-temuan, terutama karena kemampuannya berbahasa Belanda, Perancis serta Inggris. Harun Nasution ke Mesir melanjutkan studinya di al-Dirasah al-Islamiyyah namun terhambat biaya, maka studinya tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya ia menerima beasiswa dari Institut of Islamic Studies McGill di Montreal Kanada. Sehing-ga pada tahun 1962 ia melanjutkan studi di Universitas McGill, Montreal Kanada. Pada tahun 1965, Harun Nasution memperoleh gelar Magister of Art (MA) dalam Studi Islam dengan judul tesisnya The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Move-ment for Its Creation and The Theory of The Masjumi pada tahun 1965. Tiga tahun kemudian, tahun 1968, ia meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang dan almamater yang sama dengan disertasi yang berjudul The Place of Reason in Abduh’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.
Pada tahun 1969, Harun Nasution kembali ke tanah air serta berkiprah dalam bidang akademis sebagai dosen pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Di samping itu Harun Nasution menjadi dosen luar biasa di IKIP Jakarta (sejak 1970), Universitas Nasional Jakarta (sejak 1970) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta (sejak 1975). Kegiatan akademis ini dirangkapnya dengan jabatan rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11 tahun (1973-1984), menjadi Ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan Agama IKIP Jakarta dan terakhir menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 1982.
Harun Nasution dikenal sebagai seorang intelektual muslim yang banyak memperhatikan pembaruan Islam dalam arti yang seluas-luasnya, tidak hanya terbatas pada bidang pemikiran saja seperti teologi, mistisisme (tasawuf) dan hukum (fiqh), akan tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan kaum muslimin. Harun Nasution berpendapat bahwa keterbelakangan umat Islam tak ter-kecuali di Indonesia adalah disebabkan oleh lambatnya mengambil bagian dalam proses modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional, khususnya teologi Asy’ariyah. Hal itu menurut-nya harus diubah dengan pandangan rasional, yang sebenarnya telah dikembangkan teologi Mu’tazilah. Karena itu reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus dilakukan, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.
2. Pemikiran Harun Nasutin Tentang Pendidikan Islam
Konsep pendidikan menurut Harun Nasution harus disesuaikan dengan konsep manusia menurut Al-Qur’an dan hadis. Konsep manusia menurut ajaran Islam, bukan hanya terdiri dari tubuh, seperti yang terdapat dalam filsafat materialisme, tetapi tersusun dari unsur jasmani dan ruhani. Dalam pada itu unsur ruhani bukan pula terdiri hanya dari daya intelek seperti yang terdapat dalam filsafat Barat, tetapi daya berpikir yang disebut akal dan daya merasa yang disebut kalbu.
Dengan demikian manusia tersusun dari dua unsur, unsur materi (jasmani atau tubuh) dan unsur immateri (ruh). Tubuh manusia berasal dari tanah di bumi, sedangkan ruh manusia berasal dari substansi immateri di alam gaib. Tubuh mempunyai daya-daya fisik atau jasmani, seperti mendengar, melihat, merasa, mencium, dan daya gerak seperti menggerakkan tangan, kaki, kepala, dan lain-lain. Sedangkan ruh yang juga disebut al-nafs mempunyai dua daya, yakni daya berpikir yang disebut akal yang berpusat di kepala dan daya rasa yang disebut kalbu yang berpusat di dada.
Akal dikembangkan melalui pendidikan sains dan daya rasa melalui pendidikan agama. Dalam sistem pendidikan semacam ini pendidikan agama mempunyai kedudukan yang pentingnya sama dengan pendidikan sains. Keduanya merupakan bagian yang esen-sial dan integral dari sistem pendidikan umat. Tidak tepat jika di dalam pendidikan agama menomorduakan pendidikan sains dan tidak tepat pula jika pendidikan sains dianakemaskan dan pendidi-kan agama dianaktirikan. Keduanya harus dipandang sebagai anak emas. Pandangan ini mirip dengan pandangan Fazlur Rahman tentang sistem pendidikan. Karena memang pendidikan dalam pandangan Islam adalah mencetak manusia yang saleh.
Khusus mengenai pendidikan agama, baik di lembaga pen-didikan umum maupun agama, Harun Nasution menjelaskan bahwa yang dibutuhkan adalah pendidikan agama dan bukan pengajaran agama. Yang dipraktekkan pada umumnya di perguruan-perguruan kita, baik umum maupun agama selama ini adalah “pengajaran agama” dan bukan “pendidikan agama.” Yang dimaksud dengan “pengajaran agama” ialah pengajaran tentang pengetahuan keaga-maan kepada siswa dan mahasiswa kita, seperti pengetahuan ten-tang tauhid atau ketuhanan, pengetahuan tentang fiqh, tafsir, hadis dan sebagainya. Di antara pengetahuan-pengetahuan yang biasanya dipentingkan adalah fiqh dan itu pun pada umumnya hanya ber-kisar di sekitar ibadah terutama shalat, puasa, zakat dan haji.
Dengan demikian apa yang disebut pendidikan agama dalam sistem pendidikan di perguruan kita, bukan bertujuan menghasilkan siswa dan mahasiswa yang berjiwa agama, tetapi mahasiswa yang berpengetahuan agama. Padahal berbeda antara yang berpengetahuan agama dengan orang yang berjiwa agama. Kelihatannya di sinilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kemerosotan akhlak yang terjadi sekarang ini dalam masyarakat kita.
Padahal inti ajaran Islam adalah moral atau akhlak yang mulia. Ibadah-ibadah mahdah yang diajarkan Islam pun pada dasarnya merupakan pendidikan akhlak yang mulia pula. Bahkan Muhammad saw diutus ke dunia dalam rangka memperbaiki akhlak yang mulia ini.
Dengan demikian, bahan pendidikan agama di sekolah umum sebaiknya didasarkan pada tujuan moral, spiritual, dan intelektual. Sebaliknya tujuan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan agama seharusnya bukan lagi hanya menghasilkan aga-mawan dan ulama tanpa predikat tertentu, tetapi ulama yang berpikiran luas, rasional, filosofis, dan ilmiah, serta teologi rasionalnya, sebagai ganti dari ulama yang berpikiran tradisional yang pada umumnya dihasilkan lembaga-lembaga pendidikan Islam selama ini. Untuk menghasilkan ulama yang berpengetahuan luas, rasional, filosofis dan ilmiah itu, maka kurikulum mulai madrasah ibtidaiyah hingga perguruan tinggi agama, harus disusuri atas mata pelajaran yang dapat mencapai tujuan itu.
Dalam kaitan ini menurut Harun Nasution, pendidikan tradisional harus diubah, dengan memasukkan mata pelajaran-mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern (sains) ke dalam kuri-kulum madrasah. Juga mendirikan sekolah-sekolah modern di samping madrasah-madrasah yang telah ada, sehingga dapat memproduk ahli-ahli Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk mewujudkan gagasannya itu, pada tahun 70-an dan 80-an, Harun Nasution mengadakan reformasi fundamental ter-hadap IAIN. Menurutnya, sesuai dengan hakekat penciptaan manu-sia, maka sarjana muslim atau ulama yang harus dihasilkan oleh IAIN adalah sarjana muslim atau ulama yang berkembang akal dan daya pikirnya serta halus kalbu dan daya batinnya. Dengan kata lain, sarjana atau ulama yang dihasilkan IAIN harus-lah sarjana muslim dan ulama pengetahuannya bukan hanya terbatas pada pengetahuan agama saja, tetapi juga mencakup apa yang lazim disebut pengetahuan umum, serta akhlak dan budi pekerti yang luhur.
Karena itulah dosen-dosen IAIN tidak dikirim ke Mesir me-lainkan ke dunia Barat untuk mempelajari Islam dari segi metodologinya serta cara berpikir rasional, sehingga mereka akan dapat menjadi ulama yang berpikir rasional.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pemikiran Harun Nasution tentang pendidikan merupakan usaha beliau me-wujudkan tujuan pendidikan Islam agar dapat mewarnai keber-agamaan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula pandangannya tentang ajaran dasar dan non dasar, bukanlah untuk membingungkan umat Islam Indonesia, namun justru mengantar-kan umat kepada pemahaman terhadap ajaran Islam secara utuh serta mengeleminir terjadinya konflik akibat klaim kebenaran setiap kelompok dalam masyarakat Islam. Paham rasional Harun Nasution tidak identik dengan rasionalisme dalam filsafat Barat, namun beliau ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ajaran Islam itu rasional dan sekali lagi beliau tidak bermaksud merasionalisme-kan ajaran Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa tokoh diatas telah menyumbangkan pemikiranya untuk dunia pendidikan khususnya pendidikan islam seperti Mahmud Yunus yang berpusat pada metode pengajaran bahasa arab, Buya Hamka dengan pemikiranya pengajaran dan pendidikan anak, M. Rasjidi dengan pendapatnya kurikulum terpadu dan haru nasution dengan pemikiranya anlisa baru pendidikan moral serta Muhammad Natsir tenteng komponen pendidikan. Pemikirannya sangat bermanfaat sehingga tokoh tersebut dikenal oleh masyarakat umum
DAFTAR PUSTAKA
Muslim, Ramdani.2005. 72 Tokoh Muslim Indonesia. Jakarta : Restu Illahi
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada
UIN Jakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Bandung, Angkasa, 2003
Dr. H. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2003, hal.195-210
http://mujabgs56.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
http://susiyanto.wordpress.com/2009/03/17/prof-dr-h-m-rasjidi-garda-depan-muslim-indonesia/
http://davitandriansyah90.wordpress.com/2011/04/28/pemikiran-pendidikan-harun-nasution/
0 komentar:
Posting Komentar