BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam pembahasan ini saya akan menerangkan secara panjang lebar mengenai masalah-masalah puasa, tetapi dalam spesifikasinya seperti dalam pembahasan tentang masalah-masalah niat puasa yang banyak dikalangan fuqaha yang berbeda pendapat, selain itu juga saya menerangkan tentang persyaratan niat, waktu untuk niat, puasa dalam keadaan junub, musafir yang dalam keadaan berpuasa, dan juga qada’ puasa dan juga masih banyak lain yang kami bahas.
2. Rumusan Masalah
Apa pengertian niat?
Kapan niat tersebut wajib dilaksanakan pada puasa Ramadhan?
Apa saja syarat-syarat niat?
Kapan waktu niat?
Bagaimana hukumnya orang yang berpuasa dalam keadaan junub?
Bagaimana hukum puasa orang yang sedang musafir?
Bagaimana cara mengqada puasa?
3. Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah fiqih.
Untuk lebih memahami masalah-masalah yang ada dalam puasa yang meliputi masalah niat, waktu niat, syarat niat, hukum orang musafir dalam keadaan puasa, tentang qadha puasa dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
PUASA
A. Niat Puasa
Pembicaraan mengenai niat mencakup beberapa persoalan. Antara lain, apakah niat itu merupakan salah satu syarat sahnya ibadah ini (yakni puasa) atau tidak. Jika menjadi syarat lalu bagaimana cara penentuan puasa yang mencukupi? Dan apakah niat ini harus selalu diperbaharui setiap hari selama bulan Ramadhan, ataukah cukup dengan niat yang terjadi pada hari pertama? Jika seorang mukalaf berniat puasa, maka waktu manakah yang apabila niat dilakukan padanya terjadi puasa menjadi sah dan jika tidak dilakukan pada waktu tersebut puasa menjadi batal? Dan apakah meninggalkan ini mengharuskan batalnya puasa atau tidak? Semua persoalan itu diperselisihkan oleh fuqoha.
B. Persyaratan Niat
Pernyataan niat bagi sahnya saum merupakan pendapat jumhur fuqaha. Zufar membeda sendiri pandapatnya dengan mengatakan bahwa puasa Ramadhan tidak memerlukan niat, kecuali jika orang yang mengalami bulan Ramadhan dalam keadaan sakit atau bepergian, sedangkan ia bermaksud puasa.
Silang pandapat ini disebabkan karena adanya kemungkinan yang mengenai puasa. Yakni, apakah puasa itu merupakan ibadah yang dapat dipahami maknanya ataukah tidak.
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa puasa itu tidak bisa dipahami maknanya, maka mereka diwajibkan niat.
Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa puasa itu dapat dipahami maknanya, maka mereka mengatakan bahwa makna puasa telah tercapai apabila orang tersebut itu berpuasa, meski ia tidak berniat.
Akan tetapi pendapat Zufar yang mengkhususkan puasa Ramadhan tidak memerlukan niat dari puasa-puasa lainnya memuat kelemahan. Seolah-olah,
karena ia berpendapat bahwa pada hari-hari bulan Ramadhan itu tidak boleh berbuka (yakni tidak berpuasa), bahwa ia berpendapat bahwa tiap-tiap puasa yang dilakukan pada bulan Ramadhan barulah menjadi puada syar’I (yakni puasa yang telah ditetapkan oleh syara’), dan ini hanya khusus berlaku kepada hari-hari bulan Ramadhan ini.
Mengenai silang pendapat bekenaan dengan cara penentuan niat yang mencukupi, maka Imam Malik berpendapat bahwa dalam hal ini harus ditegaskan niat puasa Ramadhan, dan tidak cukup hanya dengan niat puasa secara mutlak,dan tidak pula niat puasa tertentu yang bukan puasa Ramadhan.
Imam Abu Hanafi berpendapat bahwa apabila dilakukan niat secara mutlak,maka hal itu sudah mencukupi. Begitu pula apabila diniatkan puasa selain Ramadhan, maka sudah mencukupi, dan puasa tersebut akan berubah menjadi puasa Ramadhan. Kecuali jika seseorang dalam keadaan bepergiaan, maka apabila ia niat berpuasa selain Ramadhan pada hari bulan Ramadhan itu, maka yang terjadi adalah puasa yang diniatkannya itu, karena dalam bepergian itu ia tidak terkena kewajiban tertentu untuk melakukan puasa Ramadhan.
Akan halnya dua orang pengikutnya, maka mereka membeda-bedakan antara bepergiaan dan tidak bepergian. Maka mereka berpendapat bahwa puasa apapun yang diniatkan pada bulan Ramadhan, berubah menjadi puasa Ramadhan.
Silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan, apakah penentuan niat mencukupi pada ibadah (puasa) ini adalah penentuan jenis ibadah (secara mutlak) ataupu penentuan suatu persatuan ibadah ini, oleh karena kedua cara penentuan ini terdapat dalam syara’?
Contohnya, niat pada wudhu’ sudah mencukupi dengan niat menghapuskan hadats untuk jenis ibadah apapun yang untuk sahnya ibadah itu disyaratkan adanya wudhu’ dan tidak dikhususkan utuk tiap-tiap ibadah tersebut wudhu’ tersendiri.
Tidak demikian halnya dalam shalat, karena pada shalat itu harus ada penentuan atau persatunya ibadah. Maka apabila hendak melaksanakan shalat
Ashar, harus ditentukan niat shalat Ashar, dan apabila hendak melaksanakan shalat Zhuhur, maka harus ditentukan niat untuk shalat Zhuhur.
Semua ini adalah persoalan-persoalan yang terkenal dikalangan ulama. Jadi menurut mereka, ketidak pastiaan kedudukan puasa itu berkisar diantara kedua jenis ibadah tersebut (yakni wudhu dan shalat). Bagi fuqaha yang mempersamakannya dengan jenis ibadah yang pertama (wudhu), maka mereka mengatakan bahwa pada puasa Ramadhan itu cukup diniatkan puasa secara mutlak. Sedangkan bagi fuqaha yang mempersamakannya jenis ibadah kedua (shalat), maka mereka mempersyaratkan penentuan niat satu persatunya puasa.
C. Berniat Puasa Lain Pada Hari-hari Bulan Ramadhan
Fuqaha juga berselisih pendapat tentang persoalan, apabila seseorang pada hari-hari bulan Ramadhan, berniat puasa selain Ramadhan, apakah puasanya itu berubah menjadi puasa Ramadhan atau tidak?
Silang pendapat ini, menurut mereka jika disebabkan karena diantara ibadah-ibadah itu ada yang bisa menjadi ibadah lainnya, oleh karena waktu yang dipakai untuk dikerjakannya itu memang dikhususkan untuk ibadah lainnya itu, akan tetapi ada pula diantaranya yang tidak bisa berubah, dan ini adalah yang terbanyak.
Akan halnya ibadah yang bisa berubah, maka berdasarkan kesepakatan pada fuqaha adalah ibadah haji. Demikian itu karena mereka berpendapat bahwa apabila seseorang memulai ibadah hajinya dengan niat haji tathawwu’ (sunat/ sukarela), padahal ia sudah terkena kewajiban haji, maka haji tathawwu’nya itu berubah menjadi haji fardu. Tetapi mereka tidak mengatakan terjadinya perubahan seperti itu pada ibadah shalat atau lainnya.
Bagi fuqaha yang mempersamakan puasa dengan haji, maka mereka mengatakan bahwa puasa lain yang diniatkan pada bulan Ramadhan berubah menjadi puasa Ramadhan.
Sedangkan bagi fuqaha yang mempersamakan puasa dengan ibadah lainnya, maka mereka mengatakan bahwa puasa tersebut tidak berubah menjadi puasa Ramadhan.
D. Waktu Untuk Berniat
Fuqaha berselisih pendapat tentang hal ini. Imam Malik berpendapat bahwa puasa tidak mencukupi kecuali dengan niat yang dilakukan sebelum fajar, dan ini berlaku untuk semua jenis puasa.
Imam Syafi;I berpendapat bahwa untuk puasa sunnah niat boleh dilakukan sesudah fajar, tetapi tidak mencukupi untuk puasa fardu.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa niat sesudah fajar mencakupi pada puasa-puasa yang wajibnya puasa itu berkaitan dengan waktu tetentu, seperti puasa Ramadhan dan puasa nazar beberapa hari tertentu, dan begitu pula puasa sunnah. Tetapi tidak mencakupi untuk puasa wajib dalam tanggungan (seperti puasa qadha).
Silang pendapat ini disebabkan karena adanya pertentangan antara hadits-hadits yang bekenaan dengan masalah ini, yaitu:
Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Hafshah, ra: yang artinya:
“Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “barang siapa tidak menetapkan hendak berpuasa sejak malam hari, maka tidak ada puasa untuknya”.
Imam Malik juga meriwayatkan hadits tersebut secara mauquf (hanya sampai kata-kata sahabat). Abu Umar mengatakan bahwa hadits Hafsah terdapat keguncangan (ketidak tepatan) pada sanadnya.
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah ra:
“Aisyah berkata: bersabda Rasulullah kepadaku pada suatu hari, “wahai aisyah adakah engkau mempunyai sesuatu (makanan?) berkata Aisyah, aku berkata: “wahai Rasulullah, kami tidak mempunyai sesuatupun”. Berkatalah Rasulullah “kalau begitu aku akan berpuasa”.
Ketiga, hadits Mu’awiyah berikut ini, yang artinya:
“sesungguhnya Mu’awiyah berkata dari atas mimbar, “wahai penduduk Madinah, mana ulama-ulama kamu, aku mendengar Rasulullah bersabda “hari ini adalah hari asyura dan tidak diwajibkan atas kita memusuhinya, tetapi aku berpuasa. Maka barang siapa diantara kamu mau berpuasa,
hendaklah ia berpuasa, dan barang siapa yang mau berbuka (tidak berpuasa) maka hendaklah ia berbuka”.
Bagi fuqaha menempuh madzhab tarjih, maka mereka akan mengambil hadits hafsah ra.
Sedangkan bagi fuqaha yang menempuh madzhab jami’, maka mereka memisah-misahkan antara puasa sunnah dengan puasa fardu (wajib). Yakni mengartikan hadits hafsah ra. Kepada puasa wajib, dan hadits Aisyah ra. Dan Mu’awiyah ra. Kepada puasa sunnah.
Alasan Imam Abu Hanifah dalam memisah-memisahkan antara puasa wajib tertentu dengan puasa wajib dalam tanggungan (yakni puasa qadha), adalah karena puasa wajib tertentu itu mempunyai waktu tertentu yang dapat menggantikan kedudukan niat dalam penentuan macamnya ibadah. Sedangkan puasa wajib dalam tanggungan tidak mempunyai waktu tertentu, dan oleh karenanya penentuan semacamnya ibadah harus dilakukan dengan niat.
E. Puasa Dalam Keadaan Junub
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa suci dari jinabat bukan merupakan syarat sah puasa, karena adanya hadits sahih dari Aisyah ra dan Ummu Salamah ra, dua orang istri Nabi SAW. Dimana keduanya berkata:
“Rasulullah SAW. Pernah berpagi-pagi dalam keadaan junub karena jima’, bukan karena mimpi mengeluarkan air mani pada bulan Ramadhan, kemudian beliau berpuasa”.
Mereka juga beralasan dengan ijma’ ulama bahwa bermimpi, bahwa mimpi mengeluarkan air mani pada siang hari (pada bulan Ramadhan) tidak membatalkan puasa.
Dari Ibrahim an-Nakha’I, Urwah bin Az-Zabir dan Thawus diriwayatkan bahwa apabila seseorang sengaja mengeluarkan air mani, maka batalah puasanya.
Silang pendapat ini disebabkan karena adanya riwayat dari Abu Hurairah r.a bahwa ia berkata:
“Barang siapa berpagi-pagi dalam keadaan junub, maka batalah puasanya”.
Dan riwayatkan pula dari padanya bahwa ia berkata:
“Apa yang ku katakan, Muhammad SAW, telah mengatakannya demi Tuhan ka’bah”.
Ibnu’l-Majasyun salah seorang pengikut Imam Malik, berpendapat bahwa apabila orang yang haidh telah suci sebelum fajar, kemudian menunda mandi (hingga sesudah fajar) maka puasanya pada hari itu tidak sah.
Pendapat-pendapat mereka itu ganjil dan bertolak berdasarkan hadits yang masyhur dan sahih.
F. Berbuka (Tidak Berpuasa) dan Hukum-Hukumnya
Menurut syara’ ada tiga golongan manusia yang diperbolehkan tidak berpuasa. Pertama, golongan yang boleh berbuka dan berpuasa berdasarkan ijma’. Kedua, golongan yang tidak wajib berpuasa, dengan masih diperselisihkan oleh kaum muslimin. Ketiga, golongan yang tidak boleh berbuka. Masing-masing dari ketiga golongan tersebut mempunyai hukum sendiri.
Orang-orang yang boleh berpuasa dan boleh tidak berpuasa adalah orang yang sakit berdasarkan kesepakatan, orang berpergian dengan masih diperselisihkan, wanita hamil, wanita menyusui dan orang lanjut usia. Pembagian ini telah disepakati.
Pembicaraan mengenai orang yang berpergian meliputi beberapa persoalan. Antara lain, apakah jika ia berpuasa, puasanya itu mencukupi atau tidak? Dan jika orang yang bepergian itu mencukupi puasa,maka manakah yang lebih utama, berpuasa ataukah tidak berpuasa, ataukah mereka boleh memilih salah satunya?
Dan apakah kebolehan itu tidak berpuasa itu hanya dalam perjalanan tertentu saja atau pada semua yang disebut perjalanan (bepergian) menurut pengertian bahasa? Dan kapankan orang yang bepergian itu boleh tidak puasa dan kapan pula harus berpuasa? Kemudian apabila telah berlalu beberapa hari dari bulan Ramadhan, apakah ia boleh mengadakan perjalanan atau tidak? Dan jika ia tidak berpuasa, maka bagiamana hukumnya?
Akan halnya orang sakit, maka pembicaraan tentangnya menyangkut sakit yang membolehkan tidak berpuasa dan tentang hukum tidak berpuasa.
G. Orang Sakit Atau Orang Bepergian (Musafir)
Jika orang sakit atau musafir berbuka, maka apakah puasa itu mencukupi wajibnya puasa atau tidak? Masalah ini diperselisihkan oleh para fuqaha.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila ia berpuasa, maka puasanya terjadi dan mencukupi. Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa puasa tidak mencukupi, karena kewajibannya terletak pada hari yang lain (selain Ramadhan). Silang pandapat ini berpangkal kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 184:
Artinya:
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Yakni ketidak jelasan firman Allah tersebut antara harus dibawa kepada arti hakiki, hingga karena dalam firman tersebut tidak perlu ada kata yang dibuang (mahdzuf) atau harus dibawa arti majazi, sehingga berkaitan dengan firman Allah tersebut berbunyi: “….lalu ia berbuka, maka hendaklah ia memperhitungkan pada hari-hari yang lain. Pembuangan kata-kata dalam
kalimat inilah yang menurut pada ahli bahasa dikenal dengan nama lahnu’l-khitab.
Bagi fuqaha yang mengartikan firman tersebut kepada makna hakiki, dan tidak mengartikan kepada makna majazi, maka mereka mengatakan bahwa wjibnya puasa bagi musafir adalah menunggu sampai hari-hari yang lain.
Sedangkan bagi fuqaha yang memperkirakan adanya kata-kata “lalu ia berbuka”, maka mereka mengatakan bahwa wajibnya puasa bagi musafir adalah menunggu sampai datangnya hari-hari yang lain, jika ia berbuka (tidak berpuasa).
Masing-masing golongan menguatkan penafsirannya dengan atsar-atsar yang membenarkan pemahamannya sendiri, meski pada dasarnya harus mengartikan suatu kepada makna hakiki, kecuali ketika terdapat dalil yang mengharuskan diartikannya sesuatu itu kepada makna majazi.
Jumhur fuqaha menguatkan pendapatnya dengan hadits sahih yang diriwayatkan dari Anas ra, dimana ia berkata:
“Kami pernah berpergian bersama Rasulullah SAW. Pada bulan Ramadhan, maka orang yang berpuasa (diantara kami) tidak mencela orang yang tidak berpuasa, dan orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa”.
Dan beralasan kepada hadits sahih yang diriwayatkan oleh Anas ra juga berkata, yang artinya:
“Para sahabat Rasulullah SAW, pernah bepergian bersama, maka sebagian mereka puasa dan sebagian lainnya tidak berpuasa”.
Sedangkan fuqaha Zhahiri beralasan dengan hadits sahih dari Ibnu Abbas ra, yaitu yang artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW, keluar ke Mekah pada bulan Ramadhan pada tahun kemenangan, maka beliau berpuasa hingga sampai ke al-Kadid. Kemudian beliau berbuka dan berbuka pula orang banyak. Dan mereka mengambil yang terbaru, dan yang terbaru adalah perintah dari Rasulullah SAW”.
Mereka mengatakan: ini menunjukan atas hapusnya puasa bagi orang yang sedang bepergian. Abu Umar berkata: pendapat fuqaha Zhahiri ini justru menjadi lemah dengan adanya kesepakatan mereka bahwa orang sakit apabila ia berpuasa maka puasanya itu mencukupi.
H. Mana Yang Lebih Utama, Puasa Atau Berbuka
Jika kita katakana bahwa musafir itu termasuk orang yang tidak boleh berbuka berdasarkan pendapat jumhur fuqaha maka mereka berselisih pendapat dalam tiga golongan.
Golongan pertama berpendapat bahwa puasa itu lebih utama. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah.
Golongan kedua berpendapat bahwa buka itu lebih utama. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ahmad dan segolongan fuqaha.
Golongan ketiga berpendapat bahwa hal itu diserahkan kepada pilihan orang yang bersangkutan, dan salah satunya tidak lebih utama ketimbang lainnya.
Silang pendapat ini disebabkan karena adanya pertentangan antara mafhum hadits dengan lahir sebagai riwayat, dan pertentangan antara riwayat-riwayat itu sendiri satu dengan yang lainnya.
Demikian itu karena pengertian yang dapat dipahami oleh akal dari kebolehan bagi orang yang dasarnya wajib berpuasa, adalah pemberian rukshah (kemurahan) untuknya dan pengahapusan kesulitan-kesulitan dari padanya. Terhadap perkataan yang merupakan rukhshah, maka yang lebih utama adalah meninggalkan rukhshah tersebut. Hal ini disebabkan oleh hadits Hamzah bin Amr al-Aslami yang diriwayatkan oleh Muslim berikut ini yang artinya:
“Bahwasanya Hamzah berkata, “ya Rasulullah, ku dapatkan dalam diriku kesanggupan untuk berpuasa dalam perjalanan, maka apakah ada dosa atasku? Maka berkatalah Rasulullah “ia (tidak berpuasa) adalah suatu rukshah dari Allah. Barang siapa yang mengambilnya, maka itu baik baginya, dan barang siapa suka berpuasa, maka tidak ada dosa baginya”.
Dan bahwa akhir dari perbuatan Nabi SAW, adalah tidak puasa, maka menimbulkan dugaan bahwa tidak berpuasa itu lebih utama. Akan tetapi, karena berbuka (tidak puasa) itu bukan merupakan suatu hukum, melainkan termasuk perbuatan mubah itu lebih utama dari pada hukum (berpuasa).
Fuqaha yang memberikan pilihan dalam hal ini,beralasan dengan hadits’aisyah ra:
“Ia (aisyah )berkata :hamzah bin’amr al-aslami bertanya kepada Rasulullah saw.tentang puasa dalam perjalanan,maka beliau berkata,jika engkau mau,puasalah,dan jika engkau mau,berbukalah.”
I. Jenis Perjanan
Fuqaha berselisih pendapat mengenai jenis perjalanan yang membolehkan berbuka bagi musafir,apakah perjanan tertentu saja ataukah semua perjalanan.
Jumhuhur fukaha berpendapat bahwa musafir boleh berbuka pada perjalanan jauh yang diperbolehkan padanya mengqashar shalat,berdasarkan silang pendapat mereka dalam masalah ini.
Segolongan fuqaha,yakni fuqaha Zhahiriberpendapat bahwa perkebolehan berbuka bagi musafir itu berlaku pada semua yang bisa disebut perjalanan.
Silang pendapat ini disebabkan karena adanya pertentangan antara lahir kata-kata dengan pengertian. Demikian itu karena menurut lahir kata-kata menghendaki bahwa setiap orang yang dapat disebut musafir boleh berbuka puasa, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 184:
Artinya:
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)
J. Sifat Sakit
Fuqaha juga berselisih pendapat tentang sifat sakit yang menyebabkan dibolehkannya berbuka. Segolongan fuqaha berpendapat bahwa hal ini berlaku pada semua sakit yang mendatangkan kesulitan-kesulitan dalam berpuasa. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik.
Fuqaha yang lain berpendapat bahwa hal itu berlaku pada sakit yang berat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ahmad.
Fuqaha lainnya lagi berpendapat bahwa apabila telah dapat disebut sebagai orang yang sakit, maka boleh berbuka. Silang pendapat ini berpangkal pada sebab yang sama mengenai batas perjalanan.
K. Kapan Berbuka dan Kapan Berpuasa Bagi Musafir
Mengenai hal ini segolongan fuqaha, berpendapat bahwa berbuka sejak hari keberangkatan perjalannya. Pendapat ini dikemukan oleh asy-Sya’bi, al-Hasan dan Ahmad.
Golongan fuqaha lainnya, berpendapat bahwa ia tidak boleh berbuka pada hari tersebut, pendapat ini dikemukan oleh fuqaha amshar (negeri-negeri besar).
Fuqaha lain yang berpendapat bahwa bagi orang yang mengetahui hendak memasuki sebuah kota, dianjurkan agar berpuasa pada hari pertama masuknya ke kota tersebut.
Fuqaha lainya lagi lebih keras pendapatnya ketimbang lainya.akan tetapi, mereka semua tidak mewajibkan kifarat bagi seorang yang memasuki sebuah kota, dalam keadaan berbuka.
Fuqaha juga berselisih pendapat mengenai seorang yang memasuki sebuah kota, sementara sebagin siang telah berlalu (yakni kesiangan).
Sedang imam abu hafifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa ia harus menahan makan (yakni berpuasa). Begitu pula pendapat mengenai perempuan yang sedang haidh-apabila telah suci maka ia harus menahan makan.
Silang pendapat fuqaha mengenai waktu dimana seorang musafir boleh berbuka, disebabkan oleh adanya pertentangan antara hadits (atsar) dengan pikiran. Karena dalam hadits shahih dari ibnu abbas ra. Diriwyatkan sebagai berikut:
Sesungguhnya Rasulullah saw. Berpuasa hingga sampai di alkadid, kemudian beliau berbuka, dan berbuka pula orang banyak bersamanya.
L. Mengadakan Perjalanan Pada Bulan Ramdhan
Apakah orang yang berpuasa itu boleh mengadakan perjalanan di bulan ramadhan, kemudian tidak berpuasa?
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa yang demikian itu dibolehkan untuknya. Tetapi riwayat dari fuqaha yaitu Ubai dan as-Salmani, Suwaid bin Ghaflan dan Ibnu Mujlaz. Bahwa apabila ia mengadakan perjalanan pada bulan Ramadhan maka ia harus berpuasa dan tidak boleh berbuka.
Silang pandapat ini berpangkal pada silang pendapat mereka mengenai mafhum firman Allah adalam Surat al-Baqarah ayat 185
Artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
M. Qadha Puasa Berturut-Turut
Segolongan fuqaha mewajibkan qadha’ puasa dilakukan secara berturut-turut, berdasarkan sifat ada’ pelaksaan puasa Ramadhan pada bulannya, sedangkan golongan lainnya tidak mewajibkan demikian. Dan golongan terakhir ini ada yang mensunnahkan demikian.
Diantara fuqaha yang tidak mewajibkan puasa atas orang lain, ada yang berpendapat yakni Imam Syafi’I bahwa wali harus mengeluarkan makanan atas namanya.
Adapula yang berpendapat bahwasanya tidak ada puasa atau pemberian makanan, kecuali apabila diwasiatkan demikian sebelum meninggalnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik.
Imam Abu Hurairah bahwa wali harus berpuasa, dan jika tidak sanggup, maka harus mengeluarkan makanan.
Dan ada pula yang memisah-misahkan antara puasa nazar dengan puasa wajib, untuk puasa nazar, walinya harus berpuasa atas nama yang meninggal itu. Sedangkan untuk puasa wajib, maka tidak ada puasa atas nama orang tersebut.
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa hadits-hadits tersebut bertentangan dengan aturan-aturan pokok, karena sebagaimana seseorang tidak mengerjakan shalat orang lain, dan tidak pula seseorang berwudlu’ orang lain, maka demikian pula seseorang berpuasa atas nama orang lain. Berdasarkan ini, maka mereka mengatakan maka wali tidak wajib berpuasa.
Bagi fuqaha yang mengambil nash dalam masalah ini, maka mereka mengatakan bahwa atas wali wajib puasa. Sedangkan bagi fuqaha yang mengambil nash dalam masalah ini, maka mereka membataskan kewajiban puasa atas puasa nazar saja. Dan bagi fuqaha yang mengqiyaskan puasa Ramadhan atas puasa nazar, maka mereka wajib puasa Ramadhan atas wali. Akan halnya fuqaha yang mewajibkan pemberian makanan, maka mereka mendasarkan kepada firman Allah, yaitu:
Artinya:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
BAB III
KESIMPULAN
Puasa merupakan salah satu rukun islam yang ketentuan penilaiannya adalah urusan Allah, dengan demikian puasa merupakan ibadah yang sangat istimewa, untuk mencapai kesempurnaan puasa hendaknya mengetahui apa saja faktor yang mendukung kesempurnaanya. Misalnya memperhatikan faktor niat, syarat niat, dan lain sebagainya yang merupakan salah satu ketentuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata atau disepelekan.
Perlu kita ketahui bahwa banyak masalah yang harus kita bahas dalam masalah niat dan lain sebagainya, dan semua itu sudah kami terangkan secara mendetail pada pembahasan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Ridha, Muhamad a. Latar Belakang Masalah 1990. Bidayatu’l-Mujtahid (Ibnu Rusyid). Semarang: CV. Asy Syifa.
Kamis, 28 Februari 2013
Puasa (Niat)
Kamis, Februari 28, 2013
No comments
0 komentar:
Posting Komentar