Perkembangan Iptek di Dunia
Perkembangan
ilmu dan teknologi didominasi oleh dunia Barat. Sejak abad ke 18
perkembangan itu begitu pesat ditandai dengan
kehadiran revolusi industri, di bawah naungan jiwa dan semangat Zaman Renaissance
dan Aufklarung. Bisa dipahami bahwa kebudayaan Barat pun akhirnya
banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi.
Zaman Renaissance
adalah zaman yang didukung oleh cita-cita untuk melahirkan kembali manusia
yang bebas, yang telah dibelenggu oleh zaman abad tengah yang dikuasai oleh
Gereja atau agama. Manusia bebas ala Renaissance adalah manusia yang
tidak mau lagi terikat oleh orotitas yang manalun (tradisi, sistem gereja, dan
lain sebagainya), kecuali otoritas yang ada pada masingmasing diri pribadi.
Manusia bebas ala Renaissance itu kemudian “didewasakan” oleh zaman Aufklarungh,
yang ternyata telah melahirkan sikap mental menusia yang percaya akan kemampuan
diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai
masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya
dorong yang mempengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi yaitu pandangan untuk
menguasai alam. Tiada hari tanpa hasil kreasi dan inovasi. Semenjak itulah
dunia Barat telah melakukan tinggal landas mengarungi angkasa ilmu pengetahuan
yang tiada bertepi untuk menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan
“kesejahteraan hidupnya”. Hasilnya adalah teknologi supra-modern yang mereka
miliki sebagaimana kita lihat sekarang ini (Wibisono dalam Rusli (ed), 1992: 104).
Menurut
Koentjaraningrat (1994:2) unsur-unsur kebudayaan yang ada di dunia ini adalah;
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan,
sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem
teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur itu yang akan menjadi telaahan
adalah sistem pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dan sistem teknologi.
Ilmu dan
teknologi sebagai kerangka kebudayaan dapat dilihat, pertama sebagai kekuatan
produksi, kedua sebagai ideologi yang didalam termasuk politik, ketiga sebagai
kerangka kebudayaan modern, dan keempat mencari relevansi bagi pembangunan
Indonesia (Wartaya,1987:306). Pada tulisan ini yang akan dibahas adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai ideologi.
. IPTEK
Sebagai Legitimasi Politik
Menurut
Habermas dalam Widyarsono (1991:91) kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini
perlu dilihat dalam kaitannya dengan rasional-bertujuan (Zweckrationales
Handeln) yang menjadi berlaku umum. Hal ini mengakibatkan legitimasi-legitimasi
lama dibongkar, “hilangnya daya pesona” (disenchanment) dunia, serta
munculnya sekuralisasi karena ilmu itu memang sekuler. Hal ini merupakan bagian
negatif perkembangan “rasionalitas” tindakan sosial. Dikatakan bahwa
rasionalisasi sebagai emansipasi, individualisasi, perluasan komunikasi bebas
terhadap dominasi. Ini terjadi tentu saja dalam kerangka
institusional/interaksi simbolik. Sedang rasionalisasi yang didapat dari sistem
rasional-bertujuan adalah pertumbuhan kekuatan, perluasan kontrol teknik
(Marzoeki, 2000:43; Piliang, 1998:29).
Dalam sistem politik, Marcuse dalam Widyarsono
(1991:91) menyatakan bahwa prinsip umum dari ilmu adalah apriori yang
distrukturkan sedemikian rupa sehingga membentuk kerangka operasionalisme
instrumen. Dikatakan bahwa apriori teknologi adalah apriori politik.
Prinsip-prinsip teknologi digunakan untuk melegitimasi kekuasaannya. Menurut
Habermas sistem politik seperti ini terjadi di negara kapitalis. Ini terlihat
dalam teknologi baru dan strategi untuk mencapainya. Dari sini muncul
inovasi-inovasi yang dilembagakan, seperti badan-badan dunia yang berdalih
memberikan bantuan, namun dibalik itu terjadi penetrasi politik yang tidak
disadari.
Selanjutnya
inovasi-inovasi ini menjadi kekuatan produksi, karena “bantuan“ yang diberikan
mengharuskan untuk mengambil komoditi dari negara asal pemberi bantuan.
Kekuatan ini memberikan legitimasi sistem politik (lihat kasus-kasus yang
berdalih bantuan dari lembaga–lembaga “donor”internasional kepada lembaga
negara Indonesia). Sistem kapitalis memberikan legitimasi dominasi ilmu dan
teknologi demi tujuan dan kepentingan kelas-kelas tertentu. Dan yang patut
dicatat pula bahwa ideologi diartikan sebagai kesadaran teknokratik (technocratic
conciousness). Kalau ilmu dan teknologi telah menjadi sikap hidupnya,
maka kerangka berfikirnya menjadi didominasi ilmu dan teknologi. Dengan
demikian manusia itu telah diarahkan dan diatur oleh ilmu dan teknologi yang
mereka ciptakan sendiri. Hal ini sangatlah berlawanan dengan “janji pencerahan”
yang akan
membawa manusia kepada kebahagiaan total. Seperti saat
ini alam mulai dipermainkan, mendung ditembak laser, ayam dipaksa untuk bisa
dikonsumsi pada usia enam (6)minggu. Selain itu yang paling spektakuler adalah
dua Perang Dunia sebagai hasil yang paling
bertanggungjawab dari saintisme. Rasio manusia
ternyata telah menunjukkan dirinya sebagai “mitos baru”. Mitos dimana IPTEK
telah dijadikan alat kekuasaan politik, dan sebuah kemestian, berbeda berarti
musuh. ( Anonim, 2003:22 ; Hardiman, 1994:1).
Iptek Sebagai Ideologi
Teknologi
dan ilmu sendiri menjadi ideologi. Demikian tesis Herbert Marcuse (Wartaya,
1987:308). Menurut Marcuse teknologi dan ilmu telah menjadi cara berfikir yang
positif. Ini diartikan sebagai kesadaran teknokratik (technocratic
conciousness). `Kesadaran teknokratik telah mendominasi kehidupan manusia
sehingga manusia diarahkan dan ditentukan oleh dominasi ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ilmu dan teknologi telah menjadi ideologi, karena telah melegitimasi
masyarakat dan keadaannya.
Pendapat
Marcuse menjadi titik tolak pembahasan Habermas sebagai tanggapan. Hadirnya
teknologi dan perkembangan ilmu yang cepat dalam masyarakat telah menimbulkan
perubahan. Perubahan yang sangat mendasar terjadi dalam masyarakat adalah
masalah kepribadian ( Arifin dalam Karim (ed), 1992:115). Perkembangan faktor
teknik dewasa ini sudah besar untuk menggerakkan proses yang melumpuhkan faktor
manusia dan memunculkan sistem “manusia mesin” (Josef, dalam Mangunwijaya (ed),
1983:74). Sedangkan unsur kepribadian terlalu lemah
untuk menghadapi penetrasi itu, yang digambarkan
dengan melemahnya peran manusia dalam keluarga dan pekerjaan. Sebagai
ilustrasi, generasi muda sekarang adalah generasi muda yang dininabobokan oleh
mesin (play station, video, game-game lainnya, makanan siap saji, dan
lain sebagainya) sebagai manifestasi dari Iptek. Oleh karena itu, Russel dalam
Arifin (1992: 116) menyatakan bahwa tanpa memperhatikan aspek kehidupan
manusia, teknologi dan ilmu pengetahuan akan menghadirkan “tirani”.
Tirani-tirani telah mendorong aspek gerak ilmu dan teknologi ke arah
penyimpangan yang cukup mendasar, karena pengembangan ilmu dan teknologi tidak
lagi dibangun atas kemampuannya yang didasarkan oleh kontemplasi (perenungan),
melainkan melalui jalur manipulasi (simulakra) (lihat kasus Super Toy, motor
dan mobil matic).
Karena itu,
sebagai sebuah kekuatan teknologi telah mengembangkan praktek palsu yang tidak
lagi berorientasi pada pragmatisme, melainkan karena dorongan cinta kekuasaan.
Dalam hal yang demikian, manusia modern sudah tidak lagi mengamati keterbatasan
ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari perilaku dalam adopsi, penciptaan,
dan pengembangannya telah merusak hakekat kehidupan, baik yang bersifat alami
maupun yang bersifat sosial. Ketimpanganketimpangan ekonomi, politik, keamanan,
sosial, serta moral telah menghadapkan manusia dengan masa depan yang tidak
jelas. Tekanan-tekanan moral telah menyudutkan manusia dalam split personality
dan frustasi, kegelisahan sosial, serta lahirnya krisis-krisis dalam
pelbagai kehidupan
manusia. Dan menurut Habermas dalam Widyarsono
(1991:103) sejak akhir abad ke-19 semakin kuat arah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menandai kapitalisme lanjut, yakni pengilmuan
teknologi dan hubungan timbal balik yang erat antara perkembangan teknologi dan
kemajuan sains.
0 komentar:
Posting Komentar