PEMIKIRAN AL-GHAZALI DAN KARYANYA
A.
Sejarah Hidup Al-Ghazali
Nama lengkap ialah Abu hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al- Ghazali
ath-Thuni[1].
Ia lahir di sebuah kampung bernama Ghazalah, di Thusia, suatu kota di wilayah khurasan, presia[2],
pada tahun 450 H / 1058 M, di buku lain ada juga yang menyebutkan pada tahun
1059 M[3]. Ia adalah satu pemikir besar Islam yang
dianugerahi gelar Hujjat Al-Islam (bukti
kebenaran agama islam) dan zany ad-din
(perhiasan agama). Al- Ghazali meninggal di kota kelahirannya, thus pada
tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (19 desember 1111 M).
Al-Ghazali belajar ilmu fiqh pada seorang ulama yang
bernama Ahmad Ibn Muhammad Ar- Razakani.
kemudian meneruskan di kota Jurjan, pada imam Abu Nashr Al-Isma’ili.[4]
dan akhirnya di Naisabur pada imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al Juwaini. Di
sini, ia belajar mazhab-mazhab fiqh, retorika, logika dan juga ilmu filsafat.
Dan setelah imam Al-Juwaini meninggal tahun 478 H., Al-Ghazali meninggalkan Naisabur
menuju Mu’askar untuk bertemu dengan Nizhamu’i-Muluk, perdana menteri bani Saljuk.
sampai akhirnya yang terakhir ini wafat
pada tahun 478 H/ 1085 M. Al-Ghazali pergi
ke Bagdad untuk mengajar di madrasah Nidhamiyah itu pada tahun 484 H/1090 M. di
sana, ia melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga banyak penuntut ilmu
memadati halaqahnya. Namanya menjadi terkenal di kawasan itu karena berbagai
fatwa tentang masalah-masalah agama yang dikeluarkannya. Di samping mengajar,
ia juga menulis beberapa buku, diantaranya tentang fiqh dan ilmu kalam, seta
kitab-kitab yang berisi sanggahan terhadap aliran Bathiniyah (salah satu aliran dari sekte syi’ah), aliran syi’ah
isma’illiyah dan falsafah.[5]
Di Baghdad, Al-Ghazali menikmati pangkat,
kehormatan, harta dan kedudukan yang ia dambakan. Pada tahun 1089 M Al-Ghazali pernah
diundang untuk datang ke istana pemerintahan Malik Syah dari bani Saljuk oleh
perdana mentrinya yang gemar ilmu pengetahuan, Nidham al-muluk. Negarawan ini
mengakui keahlian dan kemampuan ilmiah Al-Ghazali, sehingga pada tahun 1090 M,
ia mengangkatnya menjadi guru besar dalam bidang hukum di universitas Nidhamiyah
di Baghdad. Akan tetapi, kemuliaan dan kedudukan yang Al-Ghazali peroleh di
Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah
yang menimpa, baik pemerintah pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani
Saljuk, di antaranya ialah :
1.
Pada
tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan Al-Ghazali dengan permaisuri
raja bani Saljuk, suaminya, raja Malik syah yang terkenal adil dan bijaksana
meninggal dunia.
2.
Pada
tahun yang sama, perdana mentri Nidham al-muluk yang menjadi sahabat karib Al-Ghazali
mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran didaerah dekat Nahawand, Persi.
3.
Dua
tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula khalifah Abbasiah, Muqtadi bin
Amrillah.[6]
Ketiga orang tersebut diatas, bagi Al-Ghazali,
merupakan orang-orang yang selama ini dianggapnya banyak memberi pesan kepada Al-Ghazali,
bahkan sampai menjadikannya sebagai ulama yang terkenal. Dalam hal itu,
mengingat ketiga orang tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pemerintahan bani Abbas-yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah bani
saljuk, meninggalnya ketiga orang tersebut sangat mengguncangkan kestabilan
pemerintahan bergelar mustadhhir billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan
menjadi sangat lemah menangani kemelut yang terjadi dimana-mana terutama dalam
menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan
secara gelap terhadap perdana mentri nidham al-muluk.[7]
Dalam suasana kritis itulah, penguasa tinggi Abbasiyah,
khalifah Mustadhhir Bilah meminta kepada Al-Ghazali untuk terjun dalam bidang
politik. Al-Ghazali memenuhi permintaan khalifah itu.
Sejalan dengan situasi politik yang sedang
menguntungkan itu, ia mulai mengalami krisis rohani pada tahun 488 H/1098 M ,
yakni krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifah, baik yang
empiris maupun yang rasional. Kritis itu tidak lebih daripada dua bulan.
Setelah itu, ia memperdalam studi tentang sekte-sekte teologi, ilmu kalam, Batiniyyah,
fiqh dan lain-lain.[8]
Pada tahun 488 H. Al-Ghazali meninggalkan Baghdad,
dan pergi ke Syam. Di Syam ia menetap dua tahun untuk berkhalwat melatih batin.
Pada tahun 490 H Al-Ghazali meninggalkan Syam dan ia menuju ke Palestina mengunjungi
kota Hebron dan Jerusalem, tempat di mana para nabi sejak dari nabi Ibrahim
sampai nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah. Di masjid Bayt Al-Muqaddas, Al-Ghazali
berdoa dan memohon kepada Allah agar ia di berikan petunjuk. Dan Al-Ghazali meninggalkan
Palestina karena kota tersebut telah dikuasai oleh tentara Salib, terutama
setelah jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu ia berangkat ke Mesir,
yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran islam sesudah Baghdad.
Dari Mesir ia melanjutkan perjalanan ke Iskandariyah. Setelah kurang lebih
sepuluh tahun Al-Ghazali berpindah-pindah tempat dari Syam, Bayt Al-Muqaddas,
Mesir, dan Hijaz. Pada tahun 499 H/1105 M ia kembali ke Naisabur dan
disana ia mendirikan madrasah fiqh yang
khusus mempelajari ilmu hukum.[9]
Dalam hal ini, Al-Ghazali
menggolongkan aliran-aliran tersebut berdasarkan cara masing-masing dalam
menentukan kebenaran. Berdasarkan penggolongan tersebut, menurut Al-Ghazali,
ada empat aliran yang popular pada masa itu, yaitu ahli kalam, para filusuf,
golongan ta’lim, dan para sufi.[10]
Ahli kalam dan para filusuf dalam mencari kebenaran menggunakan akal, walaupun
antara keduanya terdapat perbedaan yang besar dalap prinsip menggunakan akal
itu. Golongan ta’lim dalam mencari kebenaran menekankan otoritas iman,
sedangkan sufi dalam mencari kebenaran menggunakan dzauq (perasaan atau intuisi).[11]
B.
Karya-Karya Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang ulama dan
pemikir dalam dunia Islam yang sangat produktif dalam menulis. Dalam masa
hidupnya, baik ketika menjadi pembesar Negara di Muaskar maupun ketika sebagai
professor di Baghdad, baik sewaktu skeptic
di Naisabur[12]
maupun setelah berada dalam perjalanannya mencari kebenaran dari apa yang
dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, Al-Ghazali terus berusaha menulis dan
mengarang.
Syekh Abdul Qadir Alaydrus Ba’lawi
dalam Ta’rif Al-Ihya Fifadha’il Al-Ihya
mengatakan bahwa ulama besar Quthbu Al-Yaman,
Isma’il Bin Muhammad Al-Hadrami mengatakan dalam suatu jawabannya tentang nilai
karangan-karangan Al-Ghazali : ”ada tiga
Muhammad dalam islam, yakni Muhammad bin Abdullah, penghulu segala nabi,
Muhammad bin Idris Asy-syafi’i, penghulu segala imam, dan Muhammad Al-Ghazali
penghulu segala pengarang.”[13]
Jumlah kitab yang ditulis Al-Gahzali sampai sekarang belum disepakati secara
definitive oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling
akhir tentang jumlah buku yang dikarang Al-Ghazali adalah yang dilakukan oleh
abdurahman al-badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.
Abdurahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada
hubungannya dengan karya Al-Ghazali dalam tiga kelompok.
1.
Kelompok
kitab yang dapat dipastikan sebagai karya Al-Ghazali yang terdiri atas 75 buah
kitab.
2.
Kelompok
kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 buah kitab.
3.
Kelompok
kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri 31 buah kitab.[14]
Kitab-kitab yang ditulis Al-Ghazali tersebut
meliputi berbagai bidang ilmu yang popular pada zamannya, diantaranya tentang
tafsir al-quran, ilmu kalam, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, falsafah dan
lain-lain.[15]
C.
Filsafat Al-Ghazali
Sering orang memahami filsafat Al-Ghazali dengan
kacamata kuda bahwa Al-Ghazali tabu dengan filsafat, bahkan menentang filsafat.
Kajian ini harus dikaji lebih mendetail supaya mudah mematahkan Al-Ghazali
sebagai filusuf dan sufi juga fuqaha. Kerangka berfikir Al-Ghazali perlu
ditelusuri secara komprehensif. Karena berfilsfat itu menggunakan logika dengan
kejian analisisnya maka apa yang dimaksud dengan akal dan bagaimana posisi
akal.[16]
Menurut Yusuf Qardhawi yang mengutip kitab Ma’arijul Al-Quds, “ketahuilah bahwa akal tidak akan mendapatkan
petunjuk, kecuali dengan syara’, dan syara’ tidak akan jelas, kecuali dengan
akal. Akal bagaikan landasan, sedangkan syara’ sebagai bangunan.” Begitu
pula halnya, mengenai hubungan antara syariat dengan akidah dan hakekat.[17]
Filsafat menurut Al-Ghazali di bagi enam bagian :
“ilmu pasti, ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik dan ilmu
akhlak.” Di samping itu, Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat
tersebut, kecuali filsafat ketuhanan (metafisika), di mana para filsuf sangat
mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama dan syariat. Menurut Juhata S.
Praja, hasil filsafat masih bersifat spekulatif, artinya hasil yang diperoleh
dari penyelidikan filsafat baru dugaan-dugaan belaka, dan bukan kepastian.
Menurut Al-Ghazali, secara teoritis, akal dan syara’
tidak bertentangan secara hakiki, karena semuannya adalah cahaya petunjuk dari
Allah SWT. Demikian juga, ditinjau dari segi praktis, tidak ada hakekat agama
yang bertantangan dengan hakekat ilmiyah. Al-ghazali melihat bahwa satu sama
lainnya saling mendukung dan membenarkan. Hal itu terbukti dari ungkapan Al-Ghazali:
“akal adalah penentu hukum yang tidak dijauhkan ataupun diganti. Akal adalah
saksi syara’. Akal adalah saksi yang secara murni dan adil mengatakan bahwa
dunia adalah kampung tipuan bukan kampung bahagia tempat jual beli, bukan
tempat gedung apartemen. Dunia adalah transaksi yang modalnya adalah ketaatan.
Ketaatan itu ada dua macam; amal dan ilmu. Ilmu adalah ketaatan terbaik dan beruntung.
Ilmu termasuk salah satu amal, yaitu amalan hati yang merupakan anggota tubuh
yang mulia. Ilmu juga merupakan upaya akal yang merupakan benda termulia,
karena akal adalah sendi agama dan memikil amanat.”
Menurut Al-Ghazali, akal merupakan instrument untuk
memahami dalil-dalil syariat. Akan tetapi, akal atau berfilsafat yang tahu akan
batasannya dan tidak menghalangi dirinya untuk mendapat nur yang lebih besar,
yaitu Nur Wahyu Illahi. Dengan kata lain, akal atau berfilsafat membenarkan hukum
secara pasti, atau menurut Juhaya S. Praja, berfilsafat adalah berfikir secara
mendalam tentang sesuatu; mengetahui apa, bagaimana dan nilai-nilai dari
sesuatu tersebut.[18]
1.
Manusia
Manusia terdiri dari dua unsur : jasad dan roh atau
jiwa. Dalam hal ini, Al-Ghazali menyatakan ada persamaan manusia dengan tuhan
berdasarkan suatu hadits yang artinya ”sesungguhnya Allah menciptakan adam
sesuai dengan rupa-Nya.”[19]
Persamaan itu meliputi tiga hal : dzat, sifat, dan fi’il (perbuatan). Dari segi
dzat, maka dzat roh adalah berdiri sendiri. Demikian pula halnya dengan dzat
Allah. Berdasarkan penguraian diatas, manusia adalah microcosmos yang
menyerupai macrocosmos. Jika persamaan ini tidak ada, manusia tidak mungkim
mengetahui alam semesta. Jika yang ada dalam diri manusia merupakan tangga
untuk mengenal Allah. Seperti sebda nabi: “barang siapa mengenal diri (jiwa),
maka ia mengenal Tuhannya”. Disini Al-Ghazali menghubungkan Islam sebagai agama
fitrah yang setiap orang dilahirkan sesuai dengannya dan hanya orang tuanyalah
yang menyelewengkannya dari agama
tersebut. Hati seorang bayi yang bersih adalah mutiara yang mahal, bersih dari
lukisan dan bentuk; ia menerima lukisan dan berbagai pengaruh luar.
Manusia adalah terdiri dari dua unsur; unsur Illahi dan
unsur Hewani, dan karenanya ia berada antara alam akherat dan alam hewan,
jiwanya terasing dari tubuh yang gelap pekat ini, rindu selalu ketempat asal
yang hakiki.[20]
2.
Metafisika
a.
Dalil Wujud Tuhan
Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap
neo-platonisme islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf,
karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika.
Untuk itu, Al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh neo-platonisme muslim
(Al-Farabi Dan Ibnu Sina), dan secara tidak langsung kepada Aristoteles.
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dikemukakan dalam buku Tahafut Al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin
menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan
spiritual dengan menganggapnya sebagai hal yang tidak berguna bagi pencapaian
intelektual mereka.[21]
Sebagaimana halnya ulama kalam, Al-Ghazali
mengemukakan sejumlah dalil tentang wujud Allah. Dalil tersebut dapat simpulkan
pada dalil agama dan dalil akal. Yang dimaksud dengan dalil agama ialah yang
berdasarkan pemahaman terhadap kandungan ayat-ayat al-Quran. Tentang hal ini, Al-Ghazali
mengungkapkan: “jelaskan bagi orang-orang yang berakal, apabila ia sedikit saja
berfikir tentang kandungan ayat-ayat ini lalu ia alihkan pandangannya terhadap
keajaiban makhluk Allah di bumi dan di langit serta keindahan penciptaan hewan
dan tumbuhan. Bahwa perkara yang mengagumkan ini serta ketertiban yang rapi ini
mesti ada yang mencipta dan yang mengaturnya, pembuat yang mengendalikan.”[22]
Sebenarnya dalam fitrah manusia dan dalil-dalil al-Quran sudah cukum untuk
membuktikan adanya Allah.
b.
Dzat dan sifat
Menurut Al Ghazali, ilmu yang sangat tinggi
martabatnya ialah mengenal Allah (ma’rifati ‘llah) dengan mengetahui dzat,
sifat dan perbuatan. Oleh karena dzat Allah tidak dapat terjangkau oleh
pengetahuan manusia, maka mereka tidak diwajibkan mengetahuinya. Dalam hal ini,
mereka cukup mengetahui sifat-sifat dan perbuatan-Nya saja. Nabi bersabda : “berpikirlah tentang makhluk ciptaan Allah
dan janganlah kamu berfikir tentang dzat-Nya, sehingga kamu tidak binasa”
Allah adalah wujud yang maha sempurna yang tidak ada
sebab bagi wujud-nya. Ia adalah sebab bagi wujud yang selain-Nya, wujud-Nya
dapat diketahui dengan akal pikiran, karena Ia adalah sebab, tidak mungkin adanya
sesuatu di alam ini tanpa sebab. Rentetan semua sebab itu tidak mungkin berlalu
terus menerus tenpa akhir. Oleh kerena itu, rentetan sebab harus berakhir pada
sebab pertama yakni kepada Allah.
c.
Af’alu ‘illah
Yang dimaksud dengan Af’alu ‘ilah adalah perbuatan
Allah yang berwujud penciptaan segala sesuatu di alam ini. Karena itu Allah disebut
Al-Khaliq.
Akan tetapi,
apakah perbuatan Allah itu hanya terbatas pada penciptaan alam dan segala
isinya, ataupun juga menjangkau perbuatan dan ikhtiar manusia, serta kewajiban
keagamaannya. Al-Ghazali menyimpulkan : segala sesuatu yang baru adalah
ciptaan, Allah, tidak ada penciptanya selain-Nya. Dalam hal ini, termasuk semua
makhluk pada perbuatannya. Ia yang
menciptakan kemampuan dan gerakannya oleh karena itu, semua perbuatan manusia
adalah ciptaan Tuhan seperti firman-Nya : Allah adalah pencipta segala sesuatu
(Al-Quran, 13 :18).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-Ghazali lahir
Ghazalah, Thusia, tahun 450 H / 1058 M. Ia adalah pemikir besar yang bergelar
Hujjat Al-Islam dan Zany Ad-din.
Filsafat menurut
Al-Ghazali terbagi menjadi 6 bagian, yaitu :
-
Ilmu
Pasti - Ilmu Logika - Ilmu Alam
-
Ilmu
Ketuhanan - Ilmu Politik - Ilmu Akhlak
Beberapa
pemikiran Al-Ghazali :
·
Tentang
manusia
Manusia terdiri dari
unsur jasad dan roh, Manusia juga terdiri dari unsur Illahi dan Hewani
·
Metafisika
-
Dalil
Wujud Tuhan
Dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah, ia mengecam
pemikiran Ibnu Sina dan Al-Farabi tentang wujud Allah.
-
Dzat
dan Sifat
Ilmu yang sangat tinggi
martabatnya ialah mengenal Allah (ma’rifati ‘llah) dengan mengetahui dzat,
sifat dan perbuatan.
·
Af’alu
‘illah
Perbuatan Allah yang
berwujud penciptaan segala sesuatu di alam ini, segala sesuatu yang baru adalah
ciptaan Allah, tidak ada penciptanya selain-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Zainuddin, Seluk-Beluk
Pendidikan Dari Al-Ghazali, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.
Harun Nasution, Filsafat
Dan Mistisisme, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung.
Muhammad
Yasir Nasution, Manusia Menurut
Al-Ghazali, Rajawali Pers, Jakarta, 1988.
[1] Ahmad daudy, kuliah filsafat islam, bulun bintang,Jakarta, 1992,
hal 97
[2] Zainuddin, seluk-beluk pendidikan dari al-ghazali, bumi aksara,
Jakarta, 1991, hal 7
[3] Harun Nasution, Filsafat dan mistisisme, Bulan Bintang, Jakarta,
1973 hal 41
[4] Ahmad daudy, kuliah filsafat islam, bulun bintang,Jakarta, 1992,
hal 97
[5] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 146
[6] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 147
[7] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 148
[8] Ahmad daudy, kuliah filsafat islam, bulun bintang,Jakarta, 1992,
hal 98
[9] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 150
[10] Muhammad yasir nasution, manusia menurut al-ghazali, rajawali pers,
Jakarta, 1988, hal 17-19
[11] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 151
[12] Sebagai diketahui alghazali pernah mengalami masa skeptic di tempat
ini, ketika ia sangat meragukan semua ilmu pengetahuan yang diterimanya, tetapi
masa ini hanya berjalan sekitar dua bulan saja.
[13] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 152
[14] Ahmad daudy, kuliah filsafat islam, bulan bintang, Jakarta,1986,
hal 99
[15] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 152
[16] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 154
[17] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 155
[18] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,
hal 158
[19] Ahmad daudy, kuliah filsafat islam, bulan bintang, Jakarta,1986,
hal 115
[20] Ahmad daudy, kuliah filsafat islam, bulan bintang, Jakarta,1986,
hal 116
[21] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat islam, pustaka setia, bandung,2009,
hal 173
[22] Ahmad Daudy, kuliah filsafat islam, bulan bintang, Jakarta,1986,
hal 107
0 komentar:
Posting Komentar