BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Fenomena
agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan
penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak
mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah
mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan
eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan
terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas
agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa
melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik,
ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama
sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya
tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Dan seiring dengan perkembangan
zaman, akhirnya sebagian besar orang dapat meneliti suatu agama dari sisi
manupun dan Kini, penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi, malah
orang berlomba-lomba melakukannya dengan berbagai pendekatan. Terkait dengan
hal tersebut, dalam makalah ini kami mencoba menyajikan dua pendekatan
penelitian dalam studi agama islam, yaitu pendekatan sosiologi dan atropologi
B. RUMUSAN MASALAH
1. bagaimana pendekatan yang digunakan
sosiologi dalam mengkaji islam?
2. bagaimana pendekatan yang digunakan
antropologi dalam mengkaji islam?
C. TUJUAN PENULISAN
Tak jauh dari sebuah harapan yaitu memenuhi tugas
terstruktur dalam mata kuliah Motodelogi
Studi Islam, dan selanjutnya adalah mendapatkan ilmu pengetahuan yang luas
serta kita dapat mengetahui bagaiman mengkaji islam dari segi sosiologi dan
antropolgi
BAB II
PEBAHASAN
METODE STUDI ISLAM PERSPEKTIF
SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
A. SOSIOLOGI
1.
Sosiologi
Secara bahasa, kata
“sosiologi” berasal dari dua buah kata, yakni “socius” yang artinya
teman atau kawan yang selanjutnya diartikan sebagai masyarakat, kata ini
berasal dari bahsa Romawi. Dan kata ke-dua adalah “logos” diambil dari
bahsa Yunani yang artinya ilmu. Jadi, menurut arti yang disimpulkan oleh Aguste
Comte ini adalah sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antar
teman atau antar anggota masyarakat, atau lebih popular dengan sebutan sebagai
ilmu pengetahuan tentang masyarakat. selain itu, perlu kiranya kita menanggapi
pendapaat lain tentang penafsiran dari makna kata “sosiologi” menurut beberapa
tokoh berikut ini:
·
Adam Kuper,
Sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan yang fokusnya mempelajari masyarakat.
·
Pitirin Sorokin,
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik
antara aneka macam gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hokum
dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan sebagainya.
·
Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur
social dan proses-proses social termasuk perubahan-perubahan social.
·
Nursed Sumaatmaja,
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang relasi-relasi social yang
menggambarkan bahwa manusia itu memang makhluk social yang aktif berinteraksi
dan dapat saling mempengaruhi.
Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya
sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Sosiologi
mempelajari masyarakat meliputi gejala-gejala social, struktur sosial, perubahan
sosial dan jaringan hubungan atau interaksi manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial .
2.
Pendekatan
Sosiologi
Sosiologi memiliki
berbagai paradigma untuk mengkaji suatu masalah, sehingga sosiologi merupakan
ilmu sosial yang berparadigma ganda. Adapun struktur paradigma didalam
sosiologi adalah sebagai berikut.
Paradigma sosiologi lahir dari
teori-teori sosiolog dari masa klasik hingga era modern ini. Menurut Thomas
khun mengatakan bahwa paradigma sosiologi berkembang secara revolusi bukan
secara kumulatif seperti pendapat sosiolog sebelumnya. Khun menyekemakan
munculnya paradigm sebagai berikut:
Paradigma I→ Normal
Science→ Anomalies→ Crisis→ Revolusi→ Paradigma II
Sehingga paradigm sosiologi dapat berkembang sesuai dengan fakta sosial. Pradigma ini lah yang akan digunakan sebagai alat untuk mengkaji studi islam, dalam pengkajian studi islam peneliti bebas memilih paradigma yang ada didalam sosiologi untuk mengkaji masyarakat islam. George Ritzer mengetengahkan bahwa paradigma-paradigma dalam sosiologi walaupun hasilnya berbeda namun tidak ada perselisihan diantara paradigm tersebut selama masih sejalan dengan hukum ilmiah. Meskipun begitu umumnya paradigma itu memiliki keunggulan pada masing-masing masalah yang dikajinya .
Sehingga paradigm sosiologi dapat berkembang sesuai dengan fakta sosial. Pradigma ini lah yang akan digunakan sebagai alat untuk mengkaji studi islam, dalam pengkajian studi islam peneliti bebas memilih paradigma yang ada didalam sosiologi untuk mengkaji masyarakat islam. George Ritzer mengetengahkan bahwa paradigma-paradigma dalam sosiologi walaupun hasilnya berbeda namun tidak ada perselisihan diantara paradigm tersebut selama masih sejalan dengan hukum ilmiah. Meskipun begitu umumnya paradigma itu memiliki keunggulan pada masing-masing masalah yang dikajinya .
Dalam sosiologi ada pranata sosial,
pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan mengenai aktivitas masyarakat,
sementara sosial secara sederhana adalah masyarakat. Jadi dapat disimpulkan
pranata sosial adalah himpunan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang dipahami,
dihargai, dan ditaati oleh warga masyarakat dan bertujuan untuk mengatur
kehidupan masyarakat . Pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam tatanan atau urutan secara bertingkat atau hierarki. Dalam
islam sendiri terdapat pelapisan masyarakat hal itu dapat dipelajari melalui
wujud pelapisan masyarakat seperti:
1.
Tingggi-rendah
2.
Bangsawan-rakyat
biasa
3.
Superior-inferior
4.
Unggul-biasa
5.
Priyayi-wong
cilik dan semacamnya
Munculnya pelapisan sosial karena adanya
sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, yakni harta benda, ilmu pengetahuan,
kekuasaan, keturunan keluarga terhormat, kesalehan dalam agama, dan semacamnya.
Ada beberapa teori tentang munculnya lapisan-lapisan dalam masyarakat, yakni:
-
Terjadi
dengan sendirinya (otomatis), misalnya lapisan berburu karena kepandaian
berburu hewan, atau misalnya seorang dermawan yang dihormati oleh masyarakat.
-
Sengaja
disusun untuk mencapai tujuan tertentu, yang sering disebut pembagian kerja,
tanggung jawab, dan sebagainya. Misalnya dalam organisasi. Organisasi dalam
berbisnis, politik, pendidikan, pemerintahan, dan lainnya.
Sifat
sistem lapisan dalam masyarakat ada dua, yakni:
1.
Tetutup,
yakni tidak memberikan kesempatan atau kemungkinan pindahnya seseorang dari
satu lapisan ke lapisan yang lain. contohnya adalah kasta dalam masyarakat
Hindu, keturunan bangsawan atau darah biru, dan semacamnya.
2.
Terbuka,
yakni memungkinkan seseorang untuk berpindah dari satu lapisan ke lapisan yang
lain.
Adapun
faktor yang dapat dijadikan titi tolak mencapai kesamaan derajat adalah adanya
pengakuan terhadap hak asasi manusia. Sementara faktor-faktor yang membedakan
elit dan massa adalah, kekayaan, kedudukan, ilmu penegtahuan, kekuasaan,
kehormatan, dan sebagainya. Sedangkan kelas menurut Karl Marx adalah ditentukan
oleh faktor ekonomi. Kelas pemilik tanah atau alat-alat produksi dinamakan kaum
borjuis. Sedangkan pemilik tenaga untuk disumbangkan disebut kaum buruh atau
kaum proletar.
Stereotip
adalah gambaran tertentu mengenai sifat seseorang atau sekelompok orang yang
bersifat negatif, yang pembentukannya didasarkan pada generalisasi sehingga
sifatnya subjektif. Lebih jau lagi stereotif adalah produk dari proses
interaksi antar kelompok etnis atau yang terdapat dalam masyarakat yang di
dalamnya ada kelompok mayoritas dan minoritas. Faktor-faktor yang memengaruhi
stereotif dan prasangka adalah:
Kepribadian.
Contohnya orang yang mempunyai kepribadian otoriter mudah mempunyai prasangka.ØPengaruh
pendidikan orang tua terhadap anak.ØStatus, pada
umumnya semakin tinggi dan baik tingkat pendidikan seserang, maka semakin
sedikit prasangka dan stereotip.ØPeranan sarana
komunikasi, seperti, filem, radio, surat kabar, dll.ØPeranan
hubunganØ
Kaitannya dengan
pendekatan sosiologi. Minimal ada tiga teori yang bisa digunakan dalam
peneitian, yaitu: teori fungsional, teori interaksional, dan teori konflik.
Tapi ada juga yang menambahkan dua teori lainnya, yaitu teori peranan dan teori
kepentingan.
1.
Teori
Fungsional
Teori fungsional adalah teori yang
mengasumsikan masyarakat sebagai organisme ekologi mengalai pertumbuhan.
Semakin besar pertumbuhan terjadi semakin kompleks pula masalah-masalah yang
akan dihadapi. Yang pada gilirannya akan membentuk kelompok-kelompok atau
bagian-bagian tertentu yang mempunyai fungsi sendiri, yang mana bagian yang
satu dengan bagian yang lain memiliki fungsi yang berbeda. Karena perbedaan
pada bagian-bagian tadi maka perubahan fungsi pada bagian tertentu bisa juga
memengaruhi fungsi kelompok lain. meskipun demikian masing-masing kelompok
dapat dipelajari sendiri-sendiri. Maka yang menjadi kajian penelitian agama
dengan pendekatan sosiologi dengan teori fungsional adalah dengan melihat atau
meneliti fenomena masyarakat dari sisi fungsinya.
Adapun teori yang berhubungan dengan teori fungsi adalah teori peran. Peran disini maksudnya adalah, seperangkat tindakan yang diharapkan yang akan dimiliki seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berperan berarti bertindak atau bermain sebagai. Sedangkan peranan adalah tindakan yang dilakukan sesorang dalam suatu peristiwa . Hubungan peran dan status, baahwa peran tidak dapat dipisahkan dari status. Adapun pengertian status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut . Ada dua jenis status atau kedudukan:
Adapun teori yang berhubungan dengan teori fungsi adalah teori peran. Peran disini maksudnya adalah, seperangkat tindakan yang diharapkan yang akan dimiliki seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berperan berarti bertindak atau bermain sebagai. Sedangkan peranan adalah tindakan yang dilakukan sesorang dalam suatu peristiwa . Hubungan peran dan status, baahwa peran tidak dapat dipisahkan dari status. Adapun pengertian status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut . Ada dua jenis status atau kedudukan:
a.
Ascribe
status, status
yang didapat seseorang secara otomatis, tanpa usaha atau tanpa memerhatikan
kemampuan. Misalnya status bangsawan, atau kasta yang diperoleh sejak lahir
dari orang tua.
b.
Achieve
status, status
yang diperoleh seseorang dengan usaha yang disengaja sesuai dengan
kemampuannya.
Adapun langkah-langkah yang
diperlukan dalam menggunakan teori fungsional. Yaitu, membuat identifikasi
tingkah laku sosial yang problematik, mengidentifikasi konteks terjadinya
tingkah laku yang menjadi objek penelitian, serta mengidentifikasi konsekuensi
dari satu tingkah laku sosial.
2.
Teori
Interaksional
Teori interaksionisme mengasumsikan,
dalam masyarakat pasti ada hubungan antara masyarakat dengan individu, individu
dengan individu lain. Teori ini sering diidentifikasikan sebagai deskripsi yang
interpretatif, yaitu suatu sebab yang menawarkan suatu analisis yang menarik perhatian
besar pada pembekuan sebab yang senyatanya ada. Prinsip dasar yang
dikembangkaan oleh teori interaksionisme adalah; bagaimana individu menyikapi
sesuatu atau apa saja myang ada di lingkungan sekitarnya, memberikan makna pada
fenomena tersebut berdasarkan interaksi sisoal yang dijalankan dengan individub
yang lain, makna tersebut difahami dan dimodifikasi oleh individu melalui
proses interpretasi atau penafsiran yang berhubungan dengan hal-hal yang
dijumpainya.
3.
Teori
Konflik
Teori konflik adalah teori yang
percaya bahwa manusia memilki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang
merupakan pusat dari segala hubungan manusia. Menurut pemegang teori ini nilai
dan gagasan-gagasan selau digunakan untuk melegitimasi kekuasaan.
Perubahan Sosial dalam Islam dapat
dikaji menggunakan pendekatan sosiologi. Dengan menggunakan teori ini islam
dapat diketahui perkembangan dan kemajuannya dari masa kemasa, sehingga
nantinya dapat digunakan untuk mengembangkan masyarakat islam.
B. Antropologi
1. Pengertian
Antropologi
Secara etimologi,
istilah antrologi berasal dari dua buah kata, yakni kata “anthropos”
artinya manusia (bahasa Romawi), dan kata “logos” artinya ilmu (bahasa
Yunani). Jadi, singkatnya antropologi bermakna ilmu tentang manusia. Selain
itu, secara istilah terdapat beberapa perbedaan penafsiran, salah satunya
menyimpulkan bahwa antropologi adalah salah satu cabang ilmu social yang
mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Sedangkan pendapat
lain, diantaranya:
- Ruth
Benedict, Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari umat manusia sebagai makhluk masyarakat.
- Koentjanraningrat,
antropologi ialah ilmu yang mempelajari makhluk antropos/manusia dan merupakan
paduan dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari masalah-masalah khusus
mengenai makhluk manusia.
- Willian
A. Havilland, antropologi ialah suatu studi tentang
manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfa’at tentang manusia
dan perilakunya, serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang
keanekaragaman manusia.
- Ariyono
Suyono, antropologi adalah suatu ilmu yang berusaha
mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna
bentuk fisik, kepribadian, masyarakat dan kebudayaannya.
Jika kita coba
simpulkan, maka dapat diambil ibrah bahwa Antropologi adalah sebuah ilmu
pengetahuan yang mempelajari makhluk manusia, baik dari segi fisik/biologis
maupun segi sosio budaya.
2. Pendekatan
Antropologi
Antropologi,
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku
mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan
pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang
manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk
mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish
Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk
memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di
bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi
penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama
yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah
pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam
kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common
sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense
mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan
rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah
kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun
teknologi.
Penjelasan
lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai
penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting
agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan
betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari
pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan
juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk
memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa
kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan
demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak
akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya
adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari
itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan
pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami
Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang
telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya
dari keberagamaan manusia.
Jika
kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat
relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi
sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian
agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi
agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu
manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk
dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan
kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan
agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami
manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian
sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan
masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting.
Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan
perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan
dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang
terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka
budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian
kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara
historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian
berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis
tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya
menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif
untuk mencari makna (meaning).
Dipandang
dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna
yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang
diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz
mengartikan ethos sebagai "tone, karakter dan kualitas dari kehidupan
manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz
agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian
mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan
gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada
pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi
manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan
(worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian
antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat
keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam
sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian
agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang
hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang
ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil
memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai
"international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.
Jika budaya
tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama
sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi
tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti
kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral, wilayah antropologi
hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar,
ada lima fenomena agama yang dapat dikaji, yaitu:
1. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan
simbol agama.
2. Para penganut atau pemimpin atau
pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
3. Ritus, lembaga dan ibadat, seperti
shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4. Alat-alat seperti masjid, gereja,
lonceng, peci dan semacamnya.
5. Organisasi keagamaan tempat para
penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis,
Gereja Protestan, Syiah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan
antropologi, karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil
pikiran dan kreasi manusia.
BAB III
KESIMPULAN
Sosiologi mempelajari masyarakat meliputi gejala-gejala
social, struktur sosial, perubahan sosial dan jaringan hubungan atau interaksi
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Dalam
pendekatan sosiologi menggunakan tiga teori yang pertama teori fungsional,
kedua teori interaksional dan yang ketiga teori konflik
Sedangkan
antropolgi sendiri mempunyai pengertian bahwa Antropologi adalah
sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari makhluk manusia, baik dari segi
fisik/biologis maupun segi sosio budaya. Kaitannya pendektan antropolgi melalui
dua pendekatan pertama empiris dan yang kedua
antropologi budaya
DAFTAR PUSTKA
Abdullah
Ali, Sosiologi Islam, IPB Press, 2005 cirebon
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi
islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustka Pelajar, 1998
H. Mahmud dan Ija Suntana, Antropologi Pendidikan, CV.
Pustaka Setia Bandung, 2012
0 komentar:
Posting Komentar