BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Selain sebagai
tempat ibadah, dakwah dan media umat berkumpul, surau disinyalir sebagai salah
satu institusi pendidikan Islam pertama di Minangkabau Sumatera Barat. Dari
hasil penelurusan sejarah, surau telah menjadi sarana (institusi) penting dalam
rangka ikut melakukan pencerdasan dan kemajuan masyarakat, khususnya
pembelajaran keagamaan dan penanaman nilai-nilai moral. Bahkan lebih dari itu,
pendidikan surau mempunyai reputasi yang cukup besar terhadap penyebaran agama
Islam ke berbagai daerah dan wilayah sekitar. Sebagai sebuah sarana pendidikan
agama, surau tetap dapat kita jumpai sampai sekarang, walaupun eksistensinya
kemungkinan tidak lagi sebagaimana peran di masa lalu, yakni kembali pada
fungsi semula sebagai tempat shalat, i`tikaf dan dzikir.
Sebutan
surau biasanya dikonotasikan (disama artikan) dengan istilah langgar atau
mushalla. Meskipun secara substantif term tersebut tidak sepenuhnya bisa
disamakan begitu saja. Karena dari segi kelahiran, surau muncul jauh sebelum
langgar atau mushalla berdiri, dan istilah surau itu merupakan warisan dari
agama Hindu-Budha atau para leluhur mereka yang menganut animisme, dinamisme
ataupun politeisme. Penggunaan istilah langgar biasanya digunakan shalat dan
mengaji bagi kaum muslim di Jawa. Setelah melaksanakan ibadah shalat, para
jama’ah melanjutkan dengan membaca Al-Qur’an bersama yang dipimpin imam (guru)
yang ditunjuk sebagai pendidik di surau.
Kerena itu,
mempelajari kapita selekta pendidikan Islam- di sini lebih tepat didefinisikan
sebagai rekonstruksi realitas pada masa lalu, kini dan yang akan datang. Secara
metodologis, penulisan ini mengambil bentuk pendekatan-pendekatan yang bersifat
historis dan sosiologis. Sebab, untuk menghindari kejenuhan dalam mengkaji
spesifikasi topik ini, maka perbincangan dilakukan dengan cara menyelam ke
dasar sejarah dan kembali melihat realitas.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah
Penegertian Surau dalam ruang lingkup pendidikan?
2.
Bagaimankah
asal-usul suraua?
3.
Bagaimanakah
Dan Fungsi Surau?
4.
Bagaimanakah
krisis surau?
5.
Bagaimankah hubungan Surau
Dan Kehidupan Sosial Budaya Minangkabau?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Tujuan penulisan tak lain adalah untuk memenuhi tugas kelompok
dalam mata kuliah kapita selekta pendidikan agama islam dan tak lupa juga agar
kita semua mendapatkan pengetahuan yang lebih tentang pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
SURAU
A.
PENGERTIAN
SURAU
Suatu bangunan kecil tempat shalat yang dipergunakan juga sebagai tempat
mengaji Alquran bagi anak-anak dan tempat belajar agama bagi orang dewasa. Kata
surau berasal dari istilah Melayu Indonesia dan penggunaannya meluas di Asia
Tenggara. Pengertian surau ini dalam penggunaannya hampir sama dengan istilah
langgar atau musala.
Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang terletak di
puncak bukit atau di tempat lebih tinggi dibandingkan lingkungannya,
dipergunakan untuk penyembahan arwah nenek moyang. Dalam sejarah Minangkabau,
diduga bahwa surau itu didirikan pada masa Raja Adityawarman pada tahun 1356 di
kawasan Bukit Gombak. Surau tersebut, di samping berfungsi sebagai tempat
berkumpul anak-anak muda mempelajari berbagai ilmu pengetahuan serta
ketrampilan dan tempat berkumpulnya para lelaki dewasa.
Menurut sidi Gazalba, Merupakan
sebuah peninggalana masyarakt setempat sebelum datangnya islam. Surau dalam
adat minangkabau berarti kaum, suku, ras Indu, yang didirika sebagai pelengkap
rumah gadang disini beberapa keluarga yang saparuik (berasval dari satu keturunan) berkumpul.
Surau yang dimaksudkan berfunsi
sebagai tempat berkumpulnya, bertemu, dan menginapnya kaum laki2 yang telah
akhil baliq, dan pria tua yang telah uzur. Hal ini berkaitan dengan bahwa aak
laki2 tidak mempunyai tempat di rumah gadang atau rumah orang tuaya sendiri,
yag mempunyai kamar dan memiliki rumah gadang adalah anak gadis. Sedangkan anak
laki-laki yang telah cukup umur harus keluar rumah karena anak gadisnya telah
berkeluarrga maka ia akan kembali kekaumnya. Maka ia kembai ke surau.
Dengan datangnya Islam ke Sumatera Barat, surau juga mengalami proses
islamisasi, walaupun sisa-sisa kesakralan surau di sana masih terlihat jelas,
seperti adanya puncak (gonjong) yang merefleksikan kepercayaan mistis dan
sekaligus sebagai simbol adat. Namun fungsi surau di sana tetaplah sama hanya saja
fungsi keagamaannya menjadi semakin penting.
Di samping dipergunakan sebagai tempat ibadah, surau juga menjadi lembaga
pendidikan dan pengajaran serta kegiatan sosial budaya. Dalam perkembangan
selanjutnya fungsi surau di Minangkabau lebih menyerupai pesantren di Pulau
Jawa atau pondok di Malaysia. Perkembangan tersebut dimulai sejak Syekh
Burhanuddin mendirikan surau di Ulakan, Pariaman, pada abad ke-17 setelah dia
kembali dari belajar agama dari Syekh Abdul Rauf Singkel, seorang ulama besar
Aceh.
Pada umumnya, surau dalam pengertian pesantren di Sumatera Barat dimiliki
dan dikelola oleh syekh secara turun temurun. Surau-surau tersebut biasanya
mempunyai banyak bangunan. Bahkan surau besar bisa mempunyai bangunan sampai
dua puluh buah atau lebih. Ada bangunan utama, bangunan untuk tamu, tempat
suluk, tempat tinggal para murid serta tempat tinggal syekh. Sedangkan
penyelenggaraan pendidikannya biasanya tidak mempunyai tingkatan kelas, walau
terkadang ada semacam pembagian kelompok murid. Pengelompokannya biasanya
berdasarkan kelompok ilmu yang dipelajari oleh murid. Metode pengajaran yang
dipakai adalah ceramah, pembacaan dan hafalan yang biasanya dikenal dengan nama
halaqah (belajar secara melingkar sekitar guru). Bahkan ada surau-surau yang
khusus mengajarkan ilmu-ilmu tertentu saja, seperti bahasa Arab, ilmu fikih,
ilmu mantik dan sebagainya.
Pada dasawarsa kedua abad 20, setelah kelompok Muslim modernis mulai
memperkenalkan sistem pendidikan klasikal ala Belanda dan juga bentuk madrasah,
popularitas surau di kalangan masyarakat Sumatera Barat mulai menurun.
Sebenarnya peranan surau sebagai lembaga pendidikan mulai disaingi, sejak
pertengahan abad 19, saat pemerintah Belanda mendirikan sekolah di kota-kota
yang merupakan benteng-benteng. Sejak tahun 1933 jumlah surau di Sumatera Barat
terus menurun. Adapun setelah zaman kemerdekaan, hanya beberapa surau dengan
sistem pesantren saja yang masih bertahan.
B.
ASAL
USUL SURAU
Kata surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan penggunaannya meluas
sampai di Asia Tenggara. Sebutan surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di
Minangkabau. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah
digunakan (warisan) sebagai tempat penyembahan agama Hindu-Budha. Pada masa
awalnya, surau juga digunakan sebagai tempat penyembahan ruh nenek moyang.
Keberadaan surau cenderung mengambil tempat di puncak atau daratan yang tinggi
untuk melakukan kontemplasi (asketis) para warga yang sedang bermunajat kepada
Yang Maha Agung. Sehingga bangunan surau dikesankan sebagai bangunan yang
‘mistis’, karena memiliki ‘keramat’ atau sakral yang dipercayai oleh segenap
warga disekelilingnya.
Surau dalam sejarah
Minangkabau diperkirakan berdiri pada 1356 M. yang dibangun pada masa Raja
Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak. Seperti kita tahu dalam lintasan sejarah
Nusantara, bahwa pada masa ini adalah masa keemasan bagi agama Hindu-Budha,
maka secara tidak langsung dapat dipastikan bahwa eksistensi dan esensi surau
kala itu adalah sebagai tempat ritual bagi pemeluk agama Hindu-Budha.
Setelah keberadaan
agama Hindu-Budha mulai surut dan pengaruh selanjutnya digantikan Islam, surau
akhirnya mengalami akulturasi budaya ke dalam agama Islam. Setelah mengalami
islamisasi, surau akhirnya menjadi pusat kegiatan bagi pemeluk agama Islam dan
sejak itu pula surau tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang mistis atau
sakral. Surau menjadi media aktivitas pendidikan umat Islam dan tempat segala
aktivitas sosial.
Kedatangan Islam ke Sumatera Barat telah memberikan pengaruh dan perubahan
bagi kelangsungan surau sebelumnya. Surau mulai terpengaruh dengan panji-panji
penyiaran agama Islam. Dengan waktu yang tidak lama, surau kemudian mengalami
islamisasi, walaupun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan suasana
kesakralan dan merefleksikan sebagai simbol adat Minangkabau.
Proses islamisasi surau begitu cepat dengan ditandai beberapa aktivitas
keagamaan. Meski tidak harus merubah label namanya, kaum Muslim dapat menerima
(mempertahankan) tanpa mempertanyakan keberadaan asal-usulnya. Karena yang
lebih penting masa itu adalah adanya sarana yang efektif untuk melakukan
menyiarkan agama Islam. Nama atau label bukanlah hal yang prinsip dan yang
lebih esensi adalah semangat dalam menciptakan suasana dan aktivitas di
kalangan umat Islam dalam memperkokoh keimanan dan keislamannya. Nilai-nilai
semangat inilah yang dipegangi umat Islam hingga surau dikenal khalayak luas
sepanjang sejarah.
Setelah diketahui perannya yang begitu sentral dan vital, pendidikan surau
banyak didirikan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, dan bukan lagi mengambil
tempat terpencil sebagaimana di masa agama Hindu-Budha. Hal ini disinyalir
bahwa jika surau berdiri dekat dengan lingkungan komunitas masyarakat, maka
fungsi surau akan semakin efektif. Mereka sewaktu-waktu bisa melakukan shalat, dzikir
dan i’tikaf dengan tanpa menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan. Dengan
demikian, peran surau semakin tinggi dan dekat di hati masyarakat.
Selepas dari akar kefungsian ritual Hindu-Budha, surau bagi kaum Muslim
difungsikan lebih luas lagi, serta sebagai salah satu ujung tombak keberhasilan
pengajaran agama Islam. Kedudukan surau di kalangan umat Islam lebih kompleks
dibandingkan sebelumnya. Peran surau menjadi multifungsi bagi pembentukan kader
Muslim. Bahkan disinyalir selain sebagai tempat ibadah (shalat, dzikir,
i’tikaf) dan pengajaran Al-Qur’an, surau juga berperan sebagai lembaga sosial
seperti pertemuan atau rembug desa/kampung, upacara-upacara keagamaan, dan
menjadi pusat informasi lainnya.
Tidak seperti sebelumnya, surau yang terkesan “mistis”, di kalangan umat
Muslim surau berubah menjadi tempat yang ramai didatangi orang. Bagi remaja
misalnya, mereka banyak menyempatkan bersinggah sesaat untuk beristirahat atau
bahkan mereka ada yang bermalam di situ. Hal ini akhirnya membawa pengaruh positif
kala itu, karena umumnya kebiasaan adat di sana, bagi usia jejaka (berstatus
belum kawin) atau sebagian ada yang berstatus duda dipandang kurang etis jika
tetap berkumpul dengan keluarga di rumah. Sehingga keberadaan surau semakin
membongkar ‘mitos’ dengan ramai dan padatnya orang berkunjung ke surau.
Dalam perkembangannya, surau pernah mengalami pasang surut. Ketika akhir
abad XVIII, yang ditandai dengan semboyan kembali kepada ‘ajaran syari’at
‘surau pernah dihancurkan oleh pemuda-pemuda yang tidak setuju terhadap
keberadaan surau. Sebab, surau dituduh sebagai lahan subur untuk kegiatan tahayyul,
bid’ah, dan hurafat (TBC). Tekanan dari gerakan tajdid semacam ini
membawa implikasi buruk bagi kelembagaan surau dan pengajaran Islam.
Perlawanan dari kelompok yang cenderung berfikir ‘puritan’ berakhir karena
memperoleh musuh baru yang lebih dahsyat ketimbang hanya seputar kagiatan TBC,
yakni kolonialisme. Mereka yang semula memusuhi surau akhirnya mengalihkan
perhatian untuk membendung dan memerangi para kolonial. Sehingga sedikit demi
sedikit gerakan ‘anak muda’ itu terkuras untuk menghadapi penjajah. Dalam
pandangan mereka musuh yang paling berbahaya adalah missionaris kolonial.
Karena itu, sebagai upaya untuk membendung kolonialisme adalah dengan cara
menyebarkan dan pendalaman agama Islam melalui lembaga-lembaga dakwah. Melalui
lembaga semacam ini, mereka mengobarkan semangat untuk menentang segala bentuk
penindasan. Bahwa umat Islam bukanlah umat yang diperlakukan semena-mena, tetapi
seperti umat lainnya yakni memiliki kebebasan yang sama. Dengan perhatian baru
inilah surau mendapat angin segar untuk hidup kembali dan melakukan
perubahan-perubahan yang mendasar.
Setelah satu abad kemudian, surau berusaha bangkit lagi dengan dikemas melalui
sistem yang baru. Kemasan yang baru ini akibat pengaruh dari modernisasi yang
mulai masuk ke Nusantara. Beberapa dari sistem pendidikan surau diperbaiki dan
pelayanan lebih bersifat efektif. Kegiatan-kegiatan tidak hanya terfokus pada
kegiatan keagamaan tetapi sudah berbicara masalah-masalah yang menyangkut
fenomena kehidupan manusia sehari-hari.
Sebagai sebuah warisan Hindu-Budha, surau telah banyak memberikan ‘barokah’
bagi umat Islam. Hal ini bisa kita saksikan dengan menjamurnya lembaga-lembaga
keagamaan yang hampir sejenis merupakan kelanjutan dari lembaga surau tersebut.
Serta nilai yang sangat berharga adalah banyaknya guru agama (guru ngaji) yang
dihasilkan dari pendidikan surau. Mula-mula penghargaan masyarakat terhadap
pendidikan agama adalah dari surau dan bukan pendidikan agama yang formal.
Di ‘Ranah Minang’, surau adalah kata lain untuk mesjid. Dalam perjalanan sejarah di ranah minang, surau menjadi instrumen utama dalam pengembangan karakter
manusia minang tempo doeloe. Anak lelaki yang sudah akil balig “diperintahkan”
oleh orang tuanya untuk tidur di surau. Sejarah mencatat, cendikiawan minang tempo doeloe memulai “perjalanan” untuk
menemukan kecakapan hidup dalam bentuk eksistensi diri, kecakapan adaptasi
diri, kecakapan komunikasi, kecakapan memilah masalah, memilih masalah, dan
mengambil keputusan berdasar musyawarah yang bersandar pada “buliek aie kano
pambuluah, buliek kato kano mufakat” (bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat), serta bentuk-bentuk kecakapan sosial, dan kecakapan personal pada tahap paling dini di surau yang saat itu
eksis di nagari-nagari di ‘Ranah Minang’.
Pada tahun 2000-an, para pakar pendidikan dari negara barat menggulirkan konsep ‘Kecakapan Hidup” (Life Skill) yang
diamini oleh pakar pendidikan di Indonesia (yang umumnya
berpendidikan hingga level strata 3), untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah di Indonesia.
Sejatinya, konsep ‘Kecakapan Hidup’ berisikan sebuah pola atau konsep:
bagaimana seorang peserta didik (murid) didorong untuk menemukan ‘Kecakapan
Hidup’ melalui proses pembelajaran yang dilaluinya di sekolah.
Kecakapan Hidup yang diharapkan dapat dimiliki peserta didik antara lain:
(a) Eksistensi Diri, (b) Kecakapan Adaptasi Diri, (c) Kecakapan Komunikasi, (d)
Kecakapan Memilah Masalah, (e) Kecakapan Memilih Masalah, (f) Kecakapan
Mengambil Keputusan, (e) Kecakapan Sosial, dan (f) Kecakapan Personal, sesuatu yang sudah dilaksanakan oleh para
jenius lokal dari “Ranah Minang’ ratusan tahun yang lampau! (budaya alam minangkabau sungguh penuh dengan ‘ajaran’ etika, estetika, dan ‘ilmu pendidikan’, yang sayangnya dilihat “sebelah mata’, bahkan oleh pakar pendidikan yang berdarah minang dan lahir di minang sekalipun, sehingga saya pernah
berasumsi; Jangan-jangan sebagian para pakar ini sama dengan kebanyakan anak
negeri ini, sudah kehilangan rasa` percaya diri, melihat apa saja yang datang
dari barat itulah yang terbaik, dan patut dicontoh, termasuk barangkali
“valentine day” yang disambut kedatangannya oleh remaja kota dengan meriah).
Sejarah Minangkabau mencatat bahwa negeri ini, sebagaimana wilayah lain di
republik ini pernah mengalami penjajahan fisik dalam bentuk kolonialisme
struktural (pemerintahan di bawah Belanda dan Jepang) maupun kultural
(kolonialisme budaya).
Kolonialisme budaya – yang diistilahkan oleh Bung Karno, sebagai: Neo Kolonialisme dan Neo
Imperialisme (saya mendengar beliau mengatakan hal ini lewat pidato radio
ketika saya masih berusia 10 tahun, di desa Sidodadi-Aceh Timur, saat itu tak
ada satupun orang pergi ke sawah, semuanya mendengar pidato Bung Karno lewat
Radio yang diikat di tiang listrik) masih terus mengakar dalam jiwa bangsa –
walaupun Indonesia telah memproklamirkan
kemerdekaannya pada tahun 1945, dan memberi bekas yang dalam ke dalam jiwa anak
bangsa, termasuk anak bangsa yang lahir dan besar di ranah minang.
Penetrasi budaya melalui kolonialisme budaya ini, perlahan tapi pasti membuat peran surau sebagai pembentuk jati diri
“urang awak” mulai terkikis, hal ini sudah “diperingatkan” oleh budayawan
Minang, almarhum Engku Ali Akbar Navis. Pada tahun 1956, AA Navis – nama pena
beliau – menulis cerpen yang menghebohkan, “Robohnya Surau Kami” sebuah kumpulan cerpen sosio-religi.
Melalui cerpen ini, almarhum secara halus dan sangat berbudaya mengingatkan warga
Minangkabau akan bahaya ‘kolonialisme budaya’ yang dapat menghancurkan (“merobohkan”) peran surau dalam pembentukan
karakter masyarakat minang.
Apa yang disinyalir
oleh Engku Navis puluhan tahun yang lampau, kini menjadi kenyataan. Saat ini
fungsi surau sebagai pembentuk karakter masyarakat minang, telah benar-benar
“roboh”. Kolonialisme budaya, telah berhasil merubah persepsi warga minangkabau terhadap peran dan
fungsi surau. Surau menjadi hanya sekedar tempat salat semata, tidak lebih!
Persepsi seperti ini bahkan merasuki alam pikiran cendikiawan minang dan guru agama Islam yang berasal dari minang, bahkan guru agama Islam di INS Kayutanam yang notabene berada di ranah minang!
Bahaya ‘kolonialisme budaya’ ini jauh sebelumnya juga telah “ditangkap” oleh almarhum Engku Muhammad
Syafei, putra Banjar – Kalimantan Selatan yang besar dan menghabiskan usianya
untuk mengabdi di ranah minang. Pada tahun 31 Oktober 1926 beliau mendirikan
perguruan INS yang mendidik anak bangsa melalui konsep “Tigo Tungku
Sajarangan”, Otak (Akademik), Hati (Akhlak Mulia), dan Tangan (Ketrampilan).
Sepeninggal Engku M
Syafei – ditambah dengan kebijakan pemerintah yang mengadopsi konsep pendidikan barat yang menafikan posisi jiwa (dalam hal ini ‘ruh’) – pamor INS
Kayutanam – bersama perguruan Taman Siswa meredup, bahkan INS Kayutanam kini
hampir benar-benar tenggelam.
Allah yang Maha Pemurah agaknya tidak berkenan melihat INS Kayutanam
tenggelam. Melalui kiprah pengurus Yayasan, pada tahun 2008, konsep Engku M. Syafei digali kembali, dan
ditemukanlah ‘Kurikulum Berbasis Talenta’ yang digali dari konsep “Tungku Tigo Sajarangan” ala
Engku M Syafe’i (Otak, Hati, dan Tangan) serta konsep “Tungku Tigo Sajarangan”
yang berasal dari ‘Alam Budaya Minangkabau’ (“Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah).
Kurkulum Berbasis Talenta sendiri terdiri dari “Tungku Tigo Sajarangan, yaitu: (a) Tungku 1: ‘Aspek Akademik’ (Ilmu-ilmu sains dan Bahasa), (b) Tungku 2: ‘Aspek Ketrampilan’
(Ketrampilan Teknik, Ketrampilan Tangan), dan Tungku 3: ‘Aspek Akhlak Mulia’
yang berisikan ajaran tentang; (a) hubungan manusia dengan Tuhan, (b) hubungan
manusia dengan manusia, (c) hubungan manusia dengan dirinya sendiri, (d) hubungan manusia dengan lingkungan, (e) keteladanan Rasulullah dan
Sahabat, (f) baca tulis Al Qur’an, (g) pemahaman terhadap Al Qur’an, (h) budaya minang, (i) etika-estetika, dan (j) budi pekerti.
Kuri”kulum Berbasis Talenta, memiliki “Tigo Tungku”. “Tungku” yang pertama
Suatu karya yang
dihasilkan oleh leluhur ratusan tahun yang lampau, serta orang-orang terdahulu
bukanlah sesuatu yang serta merta dapat dimasukkan ke dalam kategori
“ketinggalan zaman”. Konsep pendidikan berbasis talenta (bakat bawaan) yang digulirkan oleh Engku M. Syafei
puluhan tahun yang lampau, bahkan pada akhirnya diakui oleh pemerintah.
Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah (PP) No.19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Sebagaimana berikut;
1) UU No.20 Tahun 2003,
tentang pendidikan, (Pasal 12 ayat 1
butir b; Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya), dan,
2) PP No.19/2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (Bab IV pasal 19; ‘Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berparti-sipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
ke-mandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik’.
Undang-undang pendidikan juga dengan tegas mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, dan
berakhlak mulia!
Akhlak mulia tidak akan diperoleh dari ‘Pengetahuan Agama’ yang hanya diberikan di depan kelas selama 2 jam/minggu. Kolonialisme Budaya telah “menjatuhkan” agama dari posisinya menjadi setara dengan pengetahuan sains, ilmu sosial, dan bahasa! Setara dengan budaya (sementara agama dalam hal ini Islam bukanlah produk budaya) Penilaian terhadap pemahaman dan penerapan agama peserta didik setara dengan penilaian terhadap kemampuan peserta didik memahami fisika, matematika, bahasa, biologi dan pelajaran lain yang merupakan produk budaya.
Akhlak mulia tidak akan diperoleh dari ‘Pengetahuan Agama’ yang hanya diberikan di depan kelas selama 2 jam/minggu. Kolonialisme Budaya telah “menjatuhkan” agama dari posisinya menjadi setara dengan pengetahuan sains, ilmu sosial, dan bahasa! Setara dengan budaya (sementara agama dalam hal ini Islam bukanlah produk budaya) Penilaian terhadap pemahaman dan penerapan agama peserta didik setara dengan penilaian terhadap kemampuan peserta didik memahami fisika, matematika, bahasa, biologi dan pelajaran lain yang merupakan produk budaya.
Menyadari hal ini, INS Kayutanam melancarkan gerakan ‘Kembali ke Surau’,
agama (Islam) diajarkan di surau atau mesjid, karena itulah yayasan
berketetapan menggalakkan “Gerakan Kembali ke Surau” (GKS). Agama yang penuh
dengan nilai-nilai akhlak mulia diajarkan di surau atau mesjid, dengan tetap
menyisipkan aspek akhlak mulia pada aspek akademik dan ketrampilan melalui ‘Pembelajaran Berbasis Fitrah’.Melalui Gerakan
Kembali ke Surau, peran dan fungsi surau coba akan dikembalikan sebagaimana
peran dan fungsi surau ketika alam minangkabau masih terbebas dari ‘kolonialime
budaya’
“Memerangi” kolonialisme budaya bukanlah perkara mudah, penuh dengan rintangan dan tantangan, karena
kolonialisme budaya adalah pengawal kepentingan kolonialisme dan imperialisme gaya baru dalam
hal penguasaan aset ekonomi dan sumber daya di negara berkembang, termasuk ranah minang yang merupakan
bagian dari negara berkembang yang bernama Indonesia.Maka jika Indonesia ingin terbebas dari kolonialisme budaya diperlukan sumber daya manusia yang berkarakter yang hanya dapat diperoleh
melalui pendidikan yang berkarakter. INS
Kayutanam adalah salah satunya!
Tangerang, 18 Februari
2009. Pkl. 02:01
Catatan: Pandawa Lima
adalah julukan yang diberikan oleh Bapak Farid Anfasa Moeloek kepada lima orang
relawan revitalisasi INS Kayutanam, dari daerah yang berbeda.
1. Achjar Chalil (lahir
di Aceh Timur)
2. Hudaya Latuconsina
(lahir di Ambon
3. Soleh Dimyathie
(lahir di Pati-Jateng)
Fungsi
surau
Surau yang dimaksudkan berfunsi sebagai tempat
berkumpulnya, bertemu, dan menginapnya kaum laki2 yang telah akhil baliq, dan
pria tua yang telah uzur. Hal ini berkaitan dengan bahwa aak laki2 tidak
mempunyai tempat di rumah gadang atau rumah orang tuaya sendiri, yag mempunyai
kamar dan memiliki rumah gadang adalah anak gadis. Sedangkan anak laki-laki
yang telah cukup umur harus keluar rumah karena anak gadisnya telah
berkeluarrga maka ia akan kembali kekaumnya. Maka ia kembai ke surau.
Seiring dengan masuknya islam maka fungsi surau
tidak dihilangkan tetapi malah ditambah selain tempat berkumpul, dan tempat
tinggal maka fungsi surau juga digunakan sebagai tempat sholat, mengaji, dan
lain-lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya fungsi surau dan
mesjid juga dipisahkan. Fungsi mesjid hanya digunakan untuk kegiatan ibadah
dalam artian sempit, seperti shlat lima waktu, sholat jum’at. Sedangkan fungsi
surau digunakan untuk kepentingan yang lebih luas seperti tempat belajar
mngaji, tempat belajar agama, berkumpul, dan berapat, tempat suluk’ tempat
penginapan para musafir, tempat berkasidah atau gambus, disamping tempat
menginap para lelaki.
Surau yang sebenarnya fungsinya adalah mesjid dalam ukuran yang kecil,
merupakan sesuatu yang khas dari islam di Indonesia. Surau atau langgar ini
berdiri mendahului mesjid, karena mesjid mempunyai syarat-syarat tertentu.
Kendatipun demikian, mesjid dan surau, merupakan wadah atau tempat khusus yang
berlangsung ganda sejak pertama kali keberadaannya.
Secara garis besar fungsi surau dan mesjid tersebut dapat dibedakan sebagai
tempat ibadah, dan sebagai tempat pendidikan serta pembudayaan, dan tempat
penyelanggaraan urusan ummat. Namun demikian, bentuk sifat fungsi mesjid dan
surau tersebut sangat beragam dan bervariasi serta mengalami perkembangan dar
waktu kewaktu.
Fungsi mesjid sebagai tempat atau pusat kegiatan dalam menyelanggarakan
urusan umat, mulai tampak setelah timbulnya kerajaan- kerajaan islam, dan
dibangunnya mesjid-mesjid dengan penguasa diberbagai wilayah dengan tujuan
tersebut.
Meskipun demikian surau dan mesjid tetap mempunyai peranan dan fungsi yang sangat penting, tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sekarang sebagai kegiatan lain dalam rangka memanfaatkan mesjid sebagai “Islamic Centre” telah diupayakan dan dilaksanakan.
Meskipun demikian surau dan mesjid tetap mempunyai peranan dan fungsi yang sangat penting, tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sekarang sebagai kegiatan lain dalam rangka memanfaatkan mesjid sebagai “Islamic Centre” telah diupayakan dan dilaksanakan.
D.
KRISIS
SURAU
Sementara itu kehidupan di
Minangkabau terus berkembang dan semakin panyak perantau dar kampong kampong
sekitarnya. Kemudian perantau iu bermukim di perkotaan bersama anak dan isri
mereka dalam suatu keluarga nuklir. Perlahan namun pasti system keluarga batih
yang selama ini dianut mulai tersisihkan oleh system keluarga nuklir.
Dimana peran mamak dalam mendidik
anak mulai digantikan oleh ayah mereka sendiri. Sehingga peran ayah mulai
meggantikan peran mamak dalam mendidik anaknya yang selama ini dianut dalam
adat. Didalam keluarga nuklir anak laki laki tidak lagi disuruh tinggal disurau
mereka mulai mendapat kamar dalam rumah orangtuannya. Karena control pendidikan
anak langsung berada dibawah pengawasan ayahnya. Kalaupun mereka disuruh
kesurau itupun hanya untuk mengaji atau belajar, mereka tidak lagi bermukim
atau bermalam disana.
Belanda mulai mendirikan HIS (hollandsch-Inlandsche
School) di bukittinggi pada tahun 1850. dan mulailah orang tua mulai
menyerahkan pendidikan anaknya pada sekolah sekolah belanda dan tidak lagi pada surau.
Pada mulanya HIS adalah semacam
sekolah dasar yang diperuntukan untuk keluarga belanda dan keluarga pribumi dar
kaum bangsawan. Sehngga dikenal dengan sekolah Raja. Kemenangan kaum liberl
dalam parlemen belanda membuat belanda harus menjalankan “ethische politiek”,
sehingga menyebabkan belanda harus mebuat lebih banyak sekolah sekolah untuk
pribumi maka mulailah didirikan ”volks school”. Pada tahun 1913 jumahnya
mencapai 111 dan meningkat menjadi 358 pada tahu 1915.
Dengan mulai banyaknya orang yang bersekolah di
sekolah belanda raja, mereka juga mulai terpengaruh dengan system pendidikan
belanda. Para guru yang menjadi penulis dalam jurnal2 kelompok aristocrat dan
pegawai ini mengatakan, cara untuk mencapai kemajuan ialah dengan cara merombak
system pendidikan menjadi suatu pendidikan modern ala barat. Karena itu,
sekolah sekolah agama menurut mereka sedah ketinggalan zaman dan harus
digantikan dengan sekolah sekolah baru yang ebih modern. Untuk itu ulama ulama
yang berpengaruh hendaknya tidak lagi mengajar di lembaga lembaga pendidikan.
Hal ini tentu mendapa perlawanan
dari kaum ulama dan kaum adat mereka mencemaskan apabila peikira itu terus berkembang maka dikhawatirkan maka adat
akan semakin tergerus dan akhlak dan moral juga ikut hilang.Tetapi sekembalinya
empat serangkai yaitu, syeikh jamil jambek dari bukittinggi. H. Abbdullah Ahmad
di padang da padang pajang, syeikh Abdul karim Amrullah (haji rasul) dari
maninjau dan padang panjang H. Muhammad Thaib Umar dari batusangkar. Kemudian
mereka disebut kaum muda. Mereka mulai melancarkan serangan terhadap kaum ulama
tradisional dan kaum adapt yang terlalu mebesar besarkan adat.
Memasuki periode kedua abad 20 kaum
muda menyerukan agar kembali kepada ajaran al’quran dan hadist dengan
menghilangkan sikap taqlid kepada ulama dan ajaran mazhab tertentu.
E. SURAU DAN KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MINANGKABAU
Minangkabau merupakan salah satu suku yang terdapat di Indonesia yang
memiliki kehidupan sosial dan budaya yang khas. Kebudayaan Minangkabau atau
Minang tersebar di daerah Sumatra barat, sebagian daratan Riau, Bengkulu bagian
utara dan bagian barat Jambi serta negeri sembilan di Malaysia (Wikipidia,
2011).
Menurut A.A. Navis dalam Wikipidia, menerangkan Minangkabau lebih kepada
kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem
monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem
kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga
sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam.
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau berkembang di surau
karena sisi religiusitas masyarakat Minangkabau tidak dapat kita pisahkan dari
kesehariannya. Surau atau musalla/mesjid ini di masyarakat luas, hanya di
gunakan untuk tempat beribadah, tapi di masyarakat Minangkabau surau memiliki
peran yang cukup banyak seperti belajar mengenai agama, akhlak, pantun, randai
dan adat budaya Minangkabau lainnya bahkan di surau jugalah tempat pembentukan
pribadi penerus generasi Minang yang siap menanggung bebean dan amanah
dikemudian harinya.
Bila membaca sejarah Minangkabau, maka akan ditemukan Kearifan adat dan
budaya Minangkabau yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman telah menjadi
ciri khas masyarakat Minangkabau. Maka salah satu falsafah yang dikenal dari
masyarakat Minangkabau adalah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah (ABS SBK), Syara’ mangato, Adat mamakai.
Falsafah ini seolah-olah telah mengukuhkan eksistensi agama Islam dalam
kehidupan sosial masyarakat Minangkabau dan menjadi hal yang tak terpisahkan
dalam keseharian masyarakat Minangkabau.
Tidah heran kalau dulunya masyarakat Minangkabau banyak melahirkan
tokoh-tokoh nasional yang berkiprah sampai ke tingkat internasional, itu semua
di sebabkan oleh peran surau yang sangat strategis sehingga terbentuklah
kepribadian yang tangguh dalam diri masyarakat minangkabau.
Peranan surau dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau
hampirlah hilang. Padahal surau memiliki posisi yang strategis dalam
pembentukan karakter masyarakat Minangkabau.
Terkait dengan fungsi surau pada masa lalu di Minangkabau yang ternyata
tidak hanya sebatas tempat ibadah saja, tetapi juga memainkan peranan yang
cukup banyak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka tak salah kiranya
apabila dikatakan surau sebagai salah satu pranata sosial di masyarakat
Minangkabau. Pranata yang dikenal sebagai salah satu padanan kata untuk
institusi, didefenisikan oleh Koendjaraningrat sebagai sistem norma khusus yang
menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan
khusus dari manusia dalam masyarakat (Tomi Wardana,2010).
Surau menyangkut fungsinya sebagai salah satu atau bagian dari pranata
penting dalam masyarakat Minangkabau, telah memainkan peranannya untuk memenuhi
berbagai keperluan masyarakat dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Sebut saja
fungsi surau sebagai institusi pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak remaja
di Minangkabau, selain itu surau juga memainkan fungsinya dalam sosialisasi
berbagai informasi yang harus di ketahui masyarakat (Tomi Wardana,2010).
Pengarui globalisasi yang diikuti dengan kemajuan teknologi yang sangat
berkembang pesat hingga modernisasi terjadi dimana-mana tidak hanya di
kota-kota besar saja, tapi juga sampai ke kota-kota kecil. Dulu masyarakat
Minangkabau terlebih generasi mudanya lebih senang meramaikan surau, menghabiskan
waktu di surau, tapi sekarang dunia modern telah merubah segalanya.
Kecanggihan teknologi telah mengalihkan dunia mereka, barang-barang itu
lebih mengasikkan ketimbang ke surau. Banyak masyrakat luar yang kecewa
sekarang ini, dulu mereka beranggapan masyarakat minang orang yang taat dan
patuh adat, sehingga mereka menyekolahkan anaknya ke daerah Minang dengan
tujuan anaknya kelak dapat pelajaran tambahan dari segi agamanya karana bergaul
dengan masyarakat Minangkabau, tapi sekarang faktanya malah masyarakat
Minangkabaulah yang banyak merubah semuanya
Kalau kita tanya, masih adakah kepribadian yang tangguh itu dalam diri
masyarakat Minangkabau? Masihkah pemikiran-pemikiran orang minangkabau itu
dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat? Jawabanya tidak, buktinya tidak ada
lagi masyarakat minangkabau yang menjadi tokoh nasional, kalaupun ada pasti
dulunya beliau sempat merasakan kehidupan surau.
Mana masyarakat minang yang dulu, yang memegang teguh adat dan agama, yang
memiliki pepatah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah†bukankah
telah luntur di makan zaman baik dari segi agama maupun dari segi adat pun
begitu.
Tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau pun telah bergeser dari adat
istiadat yang di bentuk pemuka-pemuka adat terdahulu. Masyarakat Minangkabau
tidak lagi menjadikan niniak mamak atau penghulu sebagai panutan dalam
kehidupan sosial, alim ulama tidak lagi menjadi tempat bertanya, dan kemenakan
pun tidak lagi menjadikan mamaknya sebagai tempat bermusyawarah dalam
kehidupan.
Kita tidak bisa menyalahkan itu semuanya, zaman telah berubah memanglah
dulu dan sekarang berbeda, akan tetapi penyesuaian terhadap kondisi dan situasi
saat ini yang penting dilakukan oleh masyarakat Minangkabau serta mengarahkan
kembali generasi muda Minangkabau kembali ke surau.
Sekarang bukanya tidak mungkin untuk membentuk kepribadian islami itu dalam
diri masyarakat Minangkabau apalagi generasi mudanya, hanya saja peran surau
tidak akan mungkin sestrategis dulu lagi. Salah satu upayanya dengan membentuk
organisasi yang kegiatannya berlangsung di surau, seperti wirid remaja. Melalui
gerakan wirid remaja diharapkan generasi muda Minangkabau akan lebih sering
berada di surau, dan akan memakmurkan surau seperti dulu lagi.
BAB III
KESIMPULAN
Di samping menjadi tempat untuk
beribadah, berdakwah serta berkumpulnya umat, sejak awal surau berfungsi
menjadi tempat pengajaran agama dan penerapannya dalam kehidupan. Surau-Surau
yang berdiri bukan semata-mata hanya dijadikan tempat ibadah saja, namun lebih
dari itu telah menjadi sentral peradaban umat Islam. Jejek-jejak sejarah telah
menyebutkan bahwa betapa besar peranan surau dalam menumbuh-kembangkan pola
pikir umat Islam.
Surau merupakan istilah yang lahir
dari sisa-sisa leluhur (nenek moyang) dan secara khusus merupakan salah satu
warisan dari tempat sesembahan agama Hindu-Budha. Surau mengalami akulturasi
dengan Islam Minangkabau pada masa Raja Adityawarman di Kawasan bukit Gonbak
pada tahun 1356 M.
Ada dua Jenjang pendidikan surau
yaitu tingkat rendah dan tingkat atas. Kalau tingkat rendah, murid diajari baca
tulis huruf hijaiyyah, sedangkan pada tingkat atas, murid diajari baca kitab.
Dengan menggunakan metode sorogan dan halaqah. Kedua metode ini sampai sekarang
tetap menjadi ciri khas bagi pendidikan tradisional.
Literatur keagamaan yang berkembang
pada pendidikan surau terbatas pada pendidikan Al-Qur’an dan praktek keagamaan.
Namun paruh perjalanan akhir baru mengalami perubahan dengan adaya karya-karya
yang didatangkan dari di Timur Tengah. Karya-karya seperti ini sangat
menekankan pada kajian literalis atau paling tinggi memberikan komentar (syarh)
atau catatan pinggir (khawamis).
Dengan demikian, sejak awal
penyebaran Islam ke Indonesia dengan saluran pendidikan Islam, surau telah
menyumbangkan sebuah corak atau karakteristik sistem pendidikan tersendiri.
Apapun yang di ditemui sekarang, sesungguhnya tidak serta merta melupakan sama
sekali sejarah masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Piliang,Indra.2010.Dari Surau ke Palanta Lapau,dimuat di
Majalah Panji Masyarakat.
Sumber : http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=198363&kat_id=105&kat_id1=147
Hasbullah, Sejarah
pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo persada, 2001
Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : perpustakaan nasional (KTD) ,1999
Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : perpustakaan nasional (KTD) ,1999
Langgulung, Hasan.
1988. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna
Peranan Surau dalam Pembentukan Karakter Masyarakat
Minangkabau | Agupena Jawa Tengah http://agupenajateng.net/2009/02/17/peranan-surau-dalam-pembentukan-karakter-masyarakat-minangkabau/#ixzz26SEzJhRX
Bagi anda yang punya masalah ekonomi,silahkan KLIK http://mbahsugem.blogspot.com atau Hub:_085_213_703_444 trm ksh.
BalasHapus